aku bergegas meletakkan sisir dari tanganku, dan beranjak meninggalkan kamar. kakiku bergerak cepat menuruni tangga yang memutari menara. di ujung tangga, bisa kulihat sosok sahabatku yang sedang memasang wajah sebalnya. aku berhenti melangkah saat sudah sampai di sampingnya.
"lama! dari mana, sih!?" dia menyahut jengkel.
aku mengangkat bahu, "jadi sarapan gak, nih?"
dia hanya membuang muka, lantas ikut berjalan disebelahku. mungkin aku memang membuatnya menunggu terlalu lama, hingga membuatnya menutup mulut selama perjalanan menuju ruang makan. bahkan, sesampainya kami di ruang makan pun, sahabatku itu hanya berjalan didepanku. padahal biasanya, dia yang selalu membuka pembicaraan.
setelah mengambil jatah sarapan, aku segera menyusul sahabatku yang sebelumnya sudah mendahuluiku memilih meja. kuletakkan nampan milikku di meja dan duduk perlahan di seberang sahabatku.
"ng... boleh, aku duduk disini?" aku bertanya ragu.
dia mengangguk pelan dan kembali menyuap makanannya. aku tersenyum simpul setelah melihatnya merespon. sahabatku ini, dia memang tak pernah tega mendiamkan temannya, semarah apapun dirinya.
aku mulai memasukkan sesuap demi sesuap sarapanku. sebenarnya, menu yang disediakan panti pagi ini kurang menggugah selera. itu cukup untuk menjadi alasanku agar bisa melewati kegiatan sarapan hari ini. tapi, demi melihat sahabatku menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk sarapan dengannya.
"Amayu,"
aku mengangkat kepalaku, "ya?"
"aku marah, lho..." ucapnya pelan.
aku nyaris tertawa mendengarnya. kalaupun ia tidak mengatakannya, aku tetap tahu kalau sahabatku ini sedang marah.
"aku tahu," susah payah aku mengendalikan nada bicaraku.
"lalu, kenapa kamu tidak minta maaf?"
perasaan geli yang tadi muncul, menghilang. ternyata dia menungguku meminta maaf padanya. aku meletakkan sendok yang tadi masih kugenggam.
"'kan, aku hanya terlambat," aku berucap pelan, membela diri.
"tapi hari kemarin kamu sudah berjanji tidak akan telat sarapan lagi."
"janji itu tidak boleh diingkari, Amayu. kamu tahu?hanya dengan menepati setiap janjimu, orang-orang dengan mudah akan memercayaimu. itu lebih dari cukup." lanjutnya — dia kembali menjadi Michi yang cerewet.
"tapi, para petugas negara itu, mereka sudah berjanji berkali-kali untuk memperbaiki semua kerusakan fasilitas panti. bahkan pajak sudah mereka ambil dari kita, dengan jumlah yang tak terhitung jari. dan pada akhirnya, mereka tetap mengingkari janji mereka dengan kita!" aku menyanggahnya.
"jadi, kamu mau disamakan dengan para pencuri itu?" Michi balik bertanya.
aku tertunduk. sekilas kulihat senyuman terpasang diwajah sahabatku. aku jadi merasa bersalah melihatnya.
"Michi, aku minta maaf karena sudah terlambat dan mengingkari janjiku." akhirnya aku melontarkan permintaan maafku padanya.
"aku maafkan. walaupun sebenarnya, aku sudah memaafkanmu sedari-tadi.." dia berkata pelan sambil tersenyum kecil.
yah, aku juga tahu itu. karena itu aku berpikir kalau aku tak perlu meminta maaf! batinku.
"oh iya, tadi malam aku 'bermimpi', lho.." Michi berbisik padaku. wajahnya terlihat cerah kembali.
aku segera merapatkan posisi dudukku, bersiap mendengarkannya.
● ● ●
kembali ke saat ini, malam gelap berlapis hujan, berada di celah antara dua bangunan besar.
aku mematung. dua orang ini terlihat begitu santai, seakan tidak sedang mencari seseorang. aku juga baru menyadari, pakaian mereka begitu bersih. padahal sebelum bertemu denganku, mereka sudah melawan selusin petugas negara yang bersenjata lengkap.
"kamu tahu nama itu, 'kan?" orang berambut pirang kembali bersuara. akhirnya dia berhenti mendekat.
aku refleks kembali memasang kuda-kudaku. satu tanganku teracung kedepan, sisanya menggenggam kantong lusuh erat-erat. kutatap sinis dua orang didepanku. hujan deras yang sedari-tadi menerpa sudah mulai mereda.
padahal, aku sangat membutuhkan hujan itu saat ini..
aku berpikir cepat, menghitung situasi. mereka bukan orang lemah, yang bisa tumbang dengan mudah hanya karena beberapa seranganku.
"hm... ternyata dia tidak mau berbicara lagi, Shiki," gumam si rambut pirang.
"salahmu, membicarakannya terlalu cepat. sudah kubilang untuk menyerahkannya padaku saja. dan kau justru bertindak ikut campur." komentar orang dibelakangnya—yang barusan dipanggil Shiki.
aku mengatupkan rahang. selagi mereka ribut, kukumpulkan konsentrasiku dengan cepat dan mengangkat sebelah tanganku tinggi-tinggi. tetesan air hujan yang mulai mereda disekitarku merespon, membentuk bola air yang melayang tepat diatas telapak tanganku yang terangkat sebelum meluncur jatuh ke tanah.
keributan didepanku segera menghilang. dua orang itu menoleh kearahku dengan tatapan tak percaya.
orang yang berambut pirang maju beberapa langkah, dan kembali berhenti, "tak kusangka, ternyata gadis kecil ini punya rahasia kecil yang selama ini disimpannya sendiri, ya?"
aku tersentak. suara orang berambut pirang itu berubah. suasana disekitarnya jadi terasa lebih mencekam, membuat bulu kuduk berdiri. bola air milikku nyaris hancur karena konsentrasiku yang terganggu.
"Ryo, kamu tak perlu sampai sejauh ini," orang yang dipanggil Shiki itu juga terlihat cukup terkejut.
bola air ditanganku sudah lebih dari cukup. aku segera meremas tanganku, dan bola air itu terpecah dan mengalir pelan membuat tabir yang menutup diriku dengan sekitarku. begitu tabir air ini terbentuk sempurna, tubuhku segera menghilang bersamaan dengan pecahnya gelembung tabir.
karena sekarang tubuhku tak kasat mata, aku melompat tinggi dan mendarat perlahan diatas pipa air pada salah satu sisi tembok yang mengeliling kami, mengamati mereka berdua yang tampak waspada terhadap sekeliling mereka—karena aku menghilang. aku berusaha menjaga agar aku tetap bergerak tanpa suara sedikitpun.
"he-hei, Ryo," kali ini, orang dibelakangnya terlihat khawatir.
"biarlah! mana mungkin kita tidak menanggapinya dengan serius?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Ther(na)lity
Fantasyaku adalah seorang gadis kecil tak berdaya. aku hanya memiliki seorang sahabat yang selalu setia menemaniku, dan sebuah rahasia kecil yang kusimpan sendiri. sebuah rahasia yang bahkan aku sendiri tak tahu asal-usulnya. hingga saat itu tiba. saat di...