Bab 9

15 0 0
                                    

Cahaya matahari yang menembus tirai jendela mengusik rasa nyamannya tidur. Aku berulang kali mengerjap-ngerjapkan mataku.

"Andreano? Kapan datangnya? Kalau di fikir-fikir dia ganteng juga yah. Eh kok aku malah muji dia sih. Aku kan lagi sebel sama dia." Ku ambil bantal dan ku lemparkan dan...

Tap.

Mendarat tepat pada kepalanya. Dia langsung terbangun dengan wajah kesal.

"Kau ini... kenapa tidak bisa bersikap manis sih?" Dia terlihat sangat kesal. Sementara aku hanya tertawa.

"Salah sendiri. Aku kan sudah bilang jangan masuk kamarku sembarangan." Kataku pura-pura sebal. Padahal dalam hati senang sekali mengerjainya.

"Kau harus terbiasa mulai sekarang, Nona Azhira. Karna aku akan menjadi orang pertama yang kau lihat saat kau membuka mata." Azhira tercengang. Dia menetralkan ekspresinya.

"Jangan memanggilku Azhira, aku tidak suka!"

"Kenapa? Paman dan Bibi mu juga memanggilmu Azhira. Kenapa aku tidak boleh?" Jawabnya dengan nada polos. Anak ini.

"Pokoknya tidak boleh!" Aku benar-benar kesal. Dia bangkit dan mulai mendekat padaku

"Aku maunya memanggilmu Azhira." Kini wajahnya dan wajah hanya berjarak beberapa senti saja. Iris itu menatapku dalam.

"Aku mandi. Pergilah dari sini. Kita ketemu di perpustakaan. Perpustakaan kota." Aku mendorong tubuhnya dan melangkah menuju kamar mandi.

"Siap, Honey!" Aku ingin berbalik memarahinya tapi aku hanya mendapatkan asap putih tipis.

"Dasar Hantu menyebalkan!" Aku menghentakkan kaki ku sebal.

Sesampaiku di perpustakaan kota aku menelusuri rak untuk menemukan buku yang ku cari. Sampai pada rak pojok yang agak minim cahaya karna terhalangi rak disebelahnya, aku melihat seorang gadis, sepertinya seusiaku. Hawa disini sedikit bebeda. Aku mundur beberapa langkah saat dia berbalik ke arahku, sepertinya dia menyadari keberadaanku.

"Ya Tuhan, dia bukan manusia." Kataku dalam hati saat melihat wajahnya yang sangat pucat.

Aku berusaha berpura-pura tidak melihat apapun, berpura-pura mencari-cari buku di rak itu. Sampai satu buku terjatuh karna tangan ku gemetaran memegangnya.

"Aku tau kau bisa melihatku." Aku menetralkan ekspresiku.

"Andreano, kau dimana?" Aku ketakutan sampai hanya memikirkan Andreano.

"Jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu." Aku mengalah, berbalik kearahnya.

"Aku Ara." Dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

"Aku Metha. Kau benar-benar tidak akan menyakitiku, kan?" Aku menerima uluran tangannya.

"Apa Aku terlihat jahat, Metha?" Bukannya menjawab, dia bertanya balik.

"Aku sudah banyak kali bertemu hantu yang cantik, tapi mereka semua menyakitiku." Aku menelisiknya.

"Jinjja? Kasihan sekali kau. Itu berarti aku hantu cantik dan baik pertama yang kau temui." Dia berlompat-lompat di sampingku. Sepertinya dia memang baik.

"Apa kau berasal dari luar negri?" Tanyaku saat mendengar dialeg dan hangul yang dia ucapkan.

"Oh, Aniyo." Dia tersenyum. "Ayahku memang orang Korea, tapi ibuku asli Indonesia. Aku lahir di Korea, saat umurku 12 kami memutuskan pindah ke Indonesia." Sepertinya dia murung terdengar dari nada bicaranya.

"Aku juga meninggal di Indonesia, Metha. Tiga tahun yang lalu karna Leukimia." Dia menunduk.

"Oh maaf kan aku, aku bermaksud..." aku benar-benar merasa bersalah sekarang.

"Gwenchana, Metha. Oh iya, buku apa yang sedang kau cari? Aku bisa menunjukkannya." Aku menyebutkan buku yang ku cari.

"Oh buku itu.., ini." Dia memberiku satu buku, dan benar. Ini buku yang dari tadi ku cari.

"Khamsahamnida." Aku tersenyum.

"Wah. Kau bisa berbahasa Korea?" Dia mungkin terkejut karna aku tiba-tiba berbahasa Korea.

"Hanya sedikit. Aku juga bisa berbahasa Inggris, sedikit bahasa Jepang dan sedikit bahasa Mandarin."

"Jinjja? Daebak? Apa kau kusus bahasa asing?" Kami berbicara sambil berjalan menuju bsngku paling pojok yang jarang di duduki dan terhalang.

"Ani. Aku lebih suka belajar secara otodidak. Dengan bantuan buku-buku, kamus dan youtube."

"Ohh" di ber'oh ria. Sementara aku mulai membaca buku.

"Woah!" Tiba-tiba dia berteriak. Untung hanya aku yang dapat mendengarnya. Kalau tidak, seluruh perpus akan memusatkan perhatian pada kami.

"Kau kenapa?" Aku menoleh padanya.

"Namja itu..." dia tersenyum melirik ke salah satu arah tanpa berkedip. Aku mulai berfikir, apakah hantu tidak befkedip?

"Namja?" Aku mengikuti arah pandangnya. Tenyata yang di pandangnya adalah Andreano. Aku tersenyum.

"Sstt.. Andreano! Andreano! Ssttt! Andreano, sini!" Dia melirik ke arahku dan menuju ke arah kami. Sementara Ara memperbaiki penampilannya.

"Kau.. aku mencarimu dari tadi. Bahkan hampir satu perpus ini ke periksa tapi kamu.." aku menutup buku ku keras lalu menghadap kearahnya.

"Kau yang terlambat. Kau juga yang banyak bicara. Aku mengajakmu kesini untuk menemaniku bukan untuk berdebat Andreano." Dia hanya terdiam dan Ara terperangah mendengar ucapanku.

"A.. aku.. ada urusan. Aku pergi dulu yah." Ara meninggalkan kami berdua. Sepertinya dia mengerti suasanya memburuk.

"Ku tunggu kau di tempat biasa. Sekarang." Jawabnya datar.

"Andreano, aku.." belum sempat aku melanjutkan dia sudah berubah jadi asap putih.

Aku menghela nafas kasar, mengambil buku itu untuk ku pinjam ke rumah. Sepertinya Andreano marah dengan perkataanku tadi.

"Apa dia mara? Kurasa aku terlalu kasar padanya, tadi. Aku jadi tidak enak." Kataku dalam hati. Aku menyetop taksi.

"Ke Taman yah, Pak." Supir taksi itu hanya mengangguk.

My (Dear) GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang