Bab 7

16 0 0
                                    

Aku sedang di kamar saat ini. Bibi bilang, Paman Adi akan pulang untuk makan malam bersama keluarga teman kuliahnya.

Tok.. tok.. tok..

"Azhira," terdengar suara Bibi Anel di luar.

"Iya, Bi." Aku membukakan pintu.

Bibi Anel menelisik penampilanku. Apa yang salah?  Aku hanya memakai make up natural seperti biasa.

"Tidak, Sayang. Kau terlihat cantik dengan gaun ini." Itu membuat kami berdua tersenyum.

Aku membeli baju ini sudah lumayan lama, tapi jarang di pakai. Ku fikir, aku harus terlihat elegan di depan tamu Paman Adi.

Saat tiba di bawah, sudah ada Paman Adi dan keluarga temannya. Sesekali terdengar tawa kecil di sela-sela candaan mereka.

"Metha?" Aku kaget setengah mati mendengar kedua anak teman Paman mengetahui namaku.

"Rebecca? Justin? Kalian..." jadi ternyata mereka.

"Kalian sudah saling kenal?" Paman Adi bingung melihat kami bertiga.

"Sudah." Ucap kami bersamaan.

"Kalian bisa berbahasa Indonesia? Kenapa tadi tidak ngobrol pakai bahasa indonesia saja?" Aku lumayan kaget.

"Hehehe... sengaja. Takutnya nanti kamu kaget." Jawab Rebecca sambil cengengesan. Sementara Justin hanya tersenyum kikuk sambil menggaruk lehernya.

"Kalian fikir sekarang aku tidak kaget? Kalian ini ada-ada saja."

"Maaf." Mereka menunduk. Aku sedikit merasa bersalah. Tapi benar-benar lucu melihat mereka seperti ini karna aku pura-pura kesal.

"Ini Azhira, Adi? Wah cantik yah. Perkenalkan, Namaku Joseph Wilson. Ini istriku Emma dan seperti yang sudah kau tau, anak-anak kami, Justin dan adiknya Rebecca." Aku tersenyum.

"Saya Azhira Amethari."

"Saya ini teman kuliah Adi waktu di Manchester. Dan soal kami bisa berbahasa Indonesia itu, karna Adi sering ku minta mengajariku bahasa Indonesia. Dan Emma, istriku ini blasteran Indonesia-Jerman." Dia tersenyum ke arahku.

"Dan kau tau, Azhira? Emma ini teman SMA Pamanmu. Kami bertemu saat aku liburan ke Indonesia, Pamanmu juga yang mengenalkannya denganku. Dan Bibimu? Dia adalah pemilik toko souvenir yang kami datangi. Waktu itu Pamanmu tidak sengaja menyenggol figura, tapi berpura-pura tidak bersalah. Pamanmu tidak mau minta maaf sehingga harus berdebat dengan Bibimu. Sekarang mereka berjodoh." Kami semua tertawa. Ternyata kisah cinta mereka berdua rumit juga.

Sebenarnya aku beberapa kali menangkap basah Justin memandangiku. Saat aku memandanginya balik, dia malah memalingkan muka. Ada apa dengannya?

Makan malam saat ini sangat menyenangkan bagiku. Kami sesekali tertawa saat para orang tua nenceritakan masa lalu mereka. Ini pertama kalinya rumah ini terasa ramai.

"Kami pulang dulu yah, Adi, Anel." Ucap Aunty Emma.

"Terima kasih untuk makan malamnya. Sangat menyenangkan. Lain kali, kalian yang harus berkunjung." Uncle Joseph memegang bahu Paman.

"Pasti." Paman menepuk pundak Uncle Joseph.

"Dah, Metha." Rebecca melambaikan tangannya sebelum memasuki mobil. Aku membalasnya.

"Metha.." Justin memanggilku.

"Iya.." jawabku polos

"Mmm.. See you Metha." Aku tersenyum.

"See you, Justin." Mereka semua sudah masuki mobil. Tidak lama terdengar bunyi mesin dan mobil itu pun meninggalkan rumah ini.

"Justin itu. Ganteng yah?" Aku tau Bibi mengejekku karna juga melihat Justin curi-curi pandang padaku saat makan malam tadi.

"Justin memang ganteng, Dadynya saja ganteng apalagi anaknya." Untuk Paman tidak mengerti.

"Ihh, malas ah. Mas nggak ngerti." Aku terkekeh mendengar tanggapan Bibi.

"Nggak ngerti bagaimana? Kita sedang membahas Justin, kan?" Pamanku ini benar-benar tidak mengerti.

"Tau ah." Sepertinya Bibi ngambek.

"Aku kekamar dulu yah, Paman, Bibi." Mereka hanya mengangguk.

Samar-samar ku dengar Paman bertanya dimana letak salahnya dan Bibi hanya menjawab seadanya dan makin membuat Paman bingung. Aku tersenyum menggeleng-gekengkan kepala menaiki tangga menuju kamarku.

Justin memang tampan. Tapi aku tidak tertarik kepadanya. Aku hanya ingin kita menjadi teman dan tidak lebih dari itu. Ku harap mereka tidak berharap lebih padaku dan Justin.

Aku membuka kamarku.  Setelah aku menutup pintu, tiba-tiba lampu mati. Aku mulai ketakutan. Aku mencari-cari saklar tapi tak kunjung ku temukan.

Terdengar suara bernyanyi lirih dengan lirik yang tidak aku ketahui. Aku melirik ke atas lemariku. Dan benar saja, dia di sana menatap benci kearahku sambil memeluk boneka seramnya. Rambutnya berantakan, gaun putih selututnya lusuh. Dia menyerigai.

"Azhira," oh Tuhan, dia tau namaku. Aku memutar kenop pintu, menggepraknya dengan keras berusaha meminta tolong. Sepertinya percuma, tidak ada yang mendengarku.

Dia mendekat dan mulai mencekram leherku lumayan kuat. Aku meringis, ini sakit.

"Si.. siapa ka.. kau?" Aku terbata-bata. Cengkramannya membuatku sulit bernafas. Apalagi kuku hitam panjangnya seperti mengiris kulit leherku.

"Hahaha. Kau tidak perlu tau namaku. Yang harus kau ketahui adalah.. Lelaki yang makan malam bersamamu tadi milikku." Tawanya membuat telingaku sakit.

"Si.. siapa? Ju.. Justin?" Ini sungguh menyakitkan.

"Hahaha.. Itu kau tau? Sepertinya dia menyukaimu. Maka dari itu kau harus kulenyapkan agar..." perkataannya terputus.

"Sebelum kau melakukannya, aku yang akan meleyapkanmu terlebih dahulu." Suara itu? Aku mengenalnya.

Bugh...

Sosok menyeramkan itu terhempas keras kedinding. Aku sekarang bisa bernafas lega.

"Andreano..." ucapku dengan nafas tersengal-sengal.

Sekarang Andreano berkelahi dengan sosok itu hingga dia menancapkan sesuatu pada mahluk itu. Darah membasahi lantai dan dinding bersama dengan geraman nyaring. Aku menangis, ini benar-benar menakutkan.

"Andreano..." dia menghampiriku dengan raut wajah khawatir.

"Kau terluka.. pasti sakit. Sekarang istirahatlah." Aku menggeleng pelan. Aku masih ketakutan, bagaimana kalau hantu itu kembali?

"Istirahatlah.." dia mengusap pelah kepalaku, entah mengapa aku langsung merasa tenang dan tertidur.

Andreano menggendongku ke tempat tidur tanpa aku ketahui. Dia mengecup pelan dahiku lalu memilih duduk di sofa dekat jendela.

"Aku akan menjadi pelindungmu, mulai saat ini."



My (Dear) GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang