Bab 3

20 2 0
                                    

"Zhira, kau dari mana saja, Nak?" Wajah Paman sangat khawatir, sementara Bibi memelukku.

"Maaf. Bi, Paman. Alisyah datang terlambat. Jadi kami kemalaman. Ponselku habis baterai jadi tidak bisa menghubungi Paman dan Bibi. Maaf telah membuat kalian khawatir." Aku tidak enak. Paman dan Bibi pasti sangat mengkhawarkanku.

"Lain kali jangan di ulangi lagi yah, sayang. Apa kau sudah makan?" Bibi melonggarkan pelukannya. Aku mengangguk.

"Kalau begitu naiklah kemarmu. Langsung istirahat yah, Nak." Paman menatapku lembut.

"Selamat malam," Bibi tersenyum dan mengecup keningku singkat sedangkan Paman hanya tersenyum.

Tentu saja mereka mengkhawatirkanku. Aku tidak pernah pulang malam. Dan mereka tau aku sering melihat mahluk tak kasat mata. Mereka pernah membawaku ke psikiater karna menganggapku mengalami gangguan jiwa bahkan pernah ke dokter untuk memeriksakan otakku karna mereka pikir ini akibat dari kecelakaan waktu itu. Tapi semuanya tidak membuktikan apapun. Awalnya aku mengira aku hanya berhalusinasi atau sedang bermimpi tapi ini terlalu nyata. Bertahun-tahun, akhirnya aku terbiasa dengan semua ini.

Aku membuka kamarku. Menuju meja belajar dan menarikan jariku di keyboard laptop. Baru jam sembilan kurang tiga puluh menit. Terlalu cepat untuk beranjak tidur. Aku membuka-buka laman wikipedia. Terdengar suara ketukan di jendela  kamarku.

"Mungkin hanya hantu iseng" pikirku

Ketukan itu berhenti. Metha mulai merasa lelah dan terlelap di meja belajar dengan layar laptop yang masih menyala.

Jendela itu terbuka, sosok berjubah hitam itu berada di samping Metha.

"Kau, sangat cantik ketika tertidur. Tapi ketika bangun seperti es." Sosok itu terkekeh.

Dia mengangkat tubuh Metha perlahan ala bridal style. Dan membaringkannya hati-hati di kasur kemudian menyelimutinya. Senyum manis itu terbit lagi di wajahnya. Dia kecup lama kening Metha kemudian menghilang.

Esok harinya Metha terbangun dengan ke bingungan. "Loh, aku berada di kasur? Bukannya aku tertidur di meja? Siapa yang memindahkanku? Pintu ku kunci." Metha melirik meja belajarnya, barang-barangnya tertata rapi. Laptopnya bahkan tertutup. Jendela masih tertutup, tapi tirainya tersingkap.

Tok..Tok..Tok..

"Zhira, sayang. Kamu sudah bangun?" Tenyata Bibi Anel yang mengetuknya.

"Sudah Bibi," aku menyahut.

"Ya sudah. Mandi yah, sayang. Habis itu turun sarapan."

"Iya, Bi." Aku bergegas ke kamar mandi.

Hanya ada Aku, Bibi dan Paman yang ada di ruang makan ini. Bibi dan Paman tidak mempunyai anak, makanya mereka sangat menyayangiku. Kami termasuk keluarga berada. Almarhum Ibuku pemegang saham lima puluh persen di perusahaan yang Paman kelola.
Saat aku berumur dua puluh empat nanti, Paman akan memberikan perusahaan cabang untuk ku kelola. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi aku kasihan dengan Paman. Pasti dia sangat lelah mengurus dua perusahaan sekaligus.

Rumah ini di huni kami bertiga, tiga ART, dua supir dan empat body guard. Mereka telah mengabdi pada keluarga ini sejak lama. Paman dan Bibi bahkan telah menganggap mereka sebagai keluarga.

***
Hari ini, Paman dan Bibi akan keluar kota untuk urusan bisnis. Meski di rumah ini aku tidak sendirian, tetap saja aku merasa kesepian. Apalagi Paman dan Bibi akan berada di luar kota sampai bulan depan. Aliysah bisa saja menemaniku, tapi tidak setiap saat. Tugas kuliahnya menumpuk.

Aku memilih masuk ke perpustakaan yang ada di samping kamarku. Rumah ini memang punya perpustakaan pribadi. Aku dan Paman sama-sama suka membaca.

Di dalam ruangan ini hanya ada satu meja dan beberapa kursi. Sementara rak serta buku memenuhi dinding-dindingnya. Aku membuka jendela. Udara pagi lebih segar daripada AC. Aku duduk di kursi melanjutkan membaca novel yang kemarin belum tuntas. Suasana di ruangan ini memang sepi, Paman sengaja merancang ruangan ini kedap suara agar kita tidak terusik ketika sedang membaca.

Aku sengaja tidak menyalakan lampu karna cahaya matahari sudah cukup terang.

Bukk...!
Suara itu lansung mengalihkan perhatianku. Sebuah buku sepertinya terjatuh.

'Awemitis'  begitulah judulnya. Buku ini terlihat kusam dan kuno, sepertinya buku lama yang tak tersentuh. Aku meniup debu yang ada di buku itu.

"Sepertinya menarik." Fikirku. Aku kembali ke meja dan mulai membaca buku itu lembar demi lembar.

Saat tiba di halaman tujuh puluh tujuh, aku berhenti.

"Teruntuk cucu ku dari generasi ke-tujuh. Aku menulis buku ini untukmu. Takdirmu akan sedikit rumit. Jangan bersedih karna kepergian ayah dan ibumu. Dan jangan menganggap keistimewaanmu itu suatu kutukan. Itu takdir. Banyak hal yang tak terduga akan terjadi. Jadi teguhkanlah hati mu agar bisa menjalani kenyataan ini. Aku tau, kau pasti jenuh dengan semua ini. Tapi diakhir nanti kau akan bahagia. Tetaplah jadi gadis yang baik, Azhira Amethari. "

Mata ku membola, di buku ini tertulis namaku dengan lengkap. Bahkan kepergian Ayah dan Ibu telah terprediksi dalam buku kuno ini. Bagaimana bisa? Kenapa hidupku harus seperti ini? Kenapa harus serumit ini? Aku menangis tersedu-sedu menutup wajahku dengan tangan.

Sebuah buku terangkat di sampingku. Ternyata si Jubah Hitam itu lagi. Aku menghapus air mata ku.

"Kenapa kau bisa disini? Sudah ku bilang, jangan menggangguku. Kenapa kau mengikutiku sampai disini?" Dia hanya membuka jubahnya dan tersenyum lagi padaku.

Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Tiba-tiba ada yang menggenggam tanganku. Aku menatapnya sinis, sedangkan dia menatap tangannya yang menggengam tanganku dengan raut tak percaya.

"Ada apa dengan hantu aneh ini?" Kataku dalam hati.

"Lepaskan!" Kataku dingin.

Dia tidak merespon, dan masih menggenggam tanganku lebih erat. Aku mencoba melepaskannya dengan menarik tangannya. Di malah menatapku lekat. Tatapan yang sangat dalam. Aku terpaku menatap manik coklatnya. Tiba-tiba dia menarikku ke dekapannya. Dia memelukku sangat erat. Dan bodohnya aku hanya diam mematung.


My (Dear) GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang