Berawal dari sini

165 31 28
                                    

"Tujuh tahun itu telah berlalu tapi semua terasa masih sama, tujuh tahun pula aku telah mengenalmu, telah menyimpan setumpuk rasa yang terasa membelenggu, terasa sesak di ulu hati dan tak henti menyiksa batinku. Saat usia 11 tahun pertama kali terukir sebuah kisah yang akhirnya menimbulkan sebuah perasaan yang terangkai menjadi kita, rasa itu yang akhirnya membuat jiwa ini tak sanggup berpaling dari satu makhluk Tuhan yang teramat indah saat di pandang" Hanya bisa tersenyum melihat coretan dalam lembaran kertas putih itu, teringat kembali semua tentang kisah itu.

"Nay!" Teriak bunda yang sedari tadi menyuruhku untuk sarapan.

Akhirnya akupun turun dan menghampiri bunda "pagi, Bun," sapaku pada wanita parubaya itu, kemudian langsung mendapat balasan berupa senyuman manis.

"Kenapa ko lama banget, bunda udah panggil dari tadi kamu gapapa kan sayang?" Pertanyaan bunda yang selalu melayang di kala anaknya telat turun untuk sarapan.

"Gapapa kok bun, aku tadi cuma ada urusan bentar aja, emang sedikit repot," Akhirnya aku berbohong pada bunda, untuk jalan keluar agar bunda tidak terus bertanya nantinya. "Maaf yah Bun," batinku berkata demikian

"Yasudah, bunda takutnya kamu kenapa-napa," Sambil mengelus pucuk kepalaku yang terhalang oleh jilbab.

"Enggak ko Bun, lagi pula aku pasti cerita sama bunda kalo ada apa-apa," Berusaha menenangkan bunda yang terlihat masih khawatir pada diriku, sekarang aku merasa bersalah sama bunda karena telah membuatnya khawatir.

"Yasudah habiskan sarapannya lalu berangkat takut kamu kesiangan lagi," Pinta bunda

"Iya Bun," Jawabanku sebari mengangkat jempol ku yang ku perlihatkan pada bunda.

Selesai sarapan aku bergegas kembali ke kamarku mencari kunci mobilku yang entah dimana. "Gini banget sih nasib si pelupa, aduhhhh ... dimana ya" Ku menoleh nakas yang tak jauh dari tempat tidurku dan tampak kunci itu di sana berbarengan dengan ponselku. "Ini dia, akhirnya aku menemukanmu juga".

Aku turun, ketika ku lihat bunda sudah Tak ada, pikirku kemana bunda, satu pesan baru muncul di ponselku dan langsung ku lihat ternyata wanita yang tengah ku cari telah berangkat ke pengajian, ku tahu bunda pergi dari pesan yang baru saja masuk. Batinku berkata pasti ini karena aku yang terlalu lama di kamar "gara-gara pelupa nih gini kan, haduhhh ... sudahlah berangkat saja".

Laju mobil menyapu dedaunan kering yang terjatuh tertiup hembusan angin, mobilku melaju dengan kecepatan sedang, berharap waktu cukup untuk menempuh perjalanan dan tidak ada kata terlambat. Kelas ku di mulai jam sembilan setidaknya masih ada waktu lima belas menit lagi untuk ku tepat waktu sampai di kampus.

Setelah ku parkir kan mobil, aku turun dan bergegas mengambil langkah seribu menuju kelas karena waktu yang teramat sempit tidak bisa untuk berleha-leha. Tanpa sadar ada seorang yang tersenyum ke arahku tapi ku abaikan.

Hushhh .... hushhh ... hushhh, suara nafasku kini terasa lebih berat, terlalu jauh diriku berlari sehingga rasanya ini terlalu melelahkan.

"Nay, kamu kenapa?, pagi-pagi gini udah lesu aja, abis ngapain payah gini, keringetan banget," tukas Jihan sahabatku dari orok.

"aku barusan abis lari Han, sekarang cape banget, aku gak telat kan?" tanyaku pada Jihan, berharap mendapatkan jawaban yang akan melegakan.

"ya ampun Nay!, pak Hans gak jadi masuk juga, emang kamu gak cek pesan di group, dosen kita itu udah ngasih tahu juga," Jawab Jihan.

Aku terbelalak, mulutku terbuka lebar. Jadi, percuma perjuangan ku pagi ini, sia-sia saja aku berlari sampai tak memperhatikan situasi. Aku menepuk jidatku dengan tangan kananku merasa benar-benar payah. "Kenapa gak telpon Han!, aku mana pernah peduli sama pesan di group," omelku pada sahabatku yang sebenarnya semua ini terjadi atas salahku sendiri, yang tak pernah mau membuka pesan di group, hanya saja aku kesal juga pada Jihan, kenapa dia tidak berusaha memberitahuku.

Sebatas waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang