APAKAH INI YANG DINAMAKAN TAKDIR CINTA?

186 8 0
                                    

Cinta merupakan suatu perasaan yang Tuhan berikan kepada setiap insan manusia untuk saling menyayangi, mengasihi dan saling pengertian. Cinta itu hadir dari hati lewat rasa dengan sendirinya tanpa sebuah keterpaksaan hati. Namun, sejauh apapun kita pergi, jika kita ditakdirkan bersama, pasti akan bertemu juga. Itulah takdir cinta.


Hasan tersontak melihat sahabatnya tergolek tak berdaya. Cak Id tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah dengan terus menggenggam tangan Fahri, sambil menahan agar danau bening dimatanya tidak ambyar mengalir.

Nada mendekat.

“Maaf, anda teman-teman pasien?”

Cak Id seperti mengenal suara itu.

“Iya kami teman-teman pasien, apakah anda yang menelpon saya tadi?”

“Sekarang anda percaya?”

“Maaf, kejadian ini sungguh diluar dugaan kami.”

“Tidak apa, itu reaksi wajar. Semua pasti menolak jika temannya mengalami musibah. Tetapi, setelah melihat, ia akan menerima. Sebaiknya kita duduk. Pasien belum sadarkan diri. “Mari" ajak Nada.

Oh ya, kita belum kenalan. Perkenalkan “Nama saya Hasan, dan ini Cak Id.” Sambil mengulurkan tangan.

Disambut dengan uluran tangan juga “Nada.”

“Bagaimana keadaanya?” suara Cak Id terdengar tertahan dan pedih.

“Seperti yang anda lihat.”

“Apakah ada luka yang cukup parah?” Hasan memperjelas.

“Mungkin gagar otak ringan. Mudah-mudahan tidak terlalu parah.”

“Amiin. Masih bisa sembuh seperti sedia kala kan?”

“Semua berharap dia sembuh. Tapi, butuh proses dan waktu. Mungkin beberapa hari.”

Cak Id dan Hasan sedikit lega. Selalu masih ada harapan dalam setiap musibah.

Setelah berunding dengan Hasan, malam ini Hasan yang menjaga Fahri hingga pagi nanti. Cak Id pulang. Selain karena capek, ia juga harus memberitahu Pak Subhan mengenai perihal Fahri. Pak subhan juga pasti bingung sekali. Dugaan Cak Id, pasti Fahri korban tabrak lari.

Cak Id mengucapkan terimakasih kepada Nada dan meminta maaf. Nada pun juga meminta maaf dan mengatakan kalo dirinya bukan dokter, tapi calon dokter yang sedang koas.

“Sebaiknya kamu tidur saja, kelihatannya kamu capek sekali. Biar aku yang menjaganya" ujar Nada kepada Hasan.

“Seharusnya ini tidak terjadi jika aku menemaninya tadi. Tapi, kamu memang bandel Fah. Kamu pikir, semua dapat kamu selesaikan sendiri. Aku temanmu, aku sahabatmu. Aku juga salah, membiarkanmu jalan sendiri malam-malam. Amanah itu memang ditujukan kepadamu, tetapi aku tidak akan membiarkanmu menanggungnya sendirian. Perjuangan masih panjang kawan. Apakah menulis novel harus dibayar dengan menginap di rumah sakit?” Hasan bermonolog disisi Fahri.

Nada yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa menahan kepedihan hati Hasan.

“Sudahlah, tidak perlu terus-menerus meratapi hal yang sudah terjadi. Saya yakin sebelum shubuh nanti Fahri sudah siuman. Menurut saya, kamu bisa istirahat dulu atau gantian, saya jaga, kamu tidur. Begitu kamu bangun, saya yang istirahat.”

“Fahri? Jadi, kamu kenal dengan Fahri?”

Pertanyaan Hasan menyadarkan keteledoran Nada, ia menyebut nama Fahri. Sudah kepalang tanggung, Nada mengaku jujur. “Saya salah satu penggemar novelnya.”

“Dan kamu juga yang membawa Fahri kesini?”

“Ah, sudahlah itu tidak penting. Siapapun yang membawanya berarti ia coba menolong seorang pemuda cerdas yang novelnya bisa mencerahkan orang banyak. Oh ya, bagaimana dengan tawaran saya tadi. Jadi siapa yang akan tidur dulu?”

Pintar sekali gadis ini mengalihkan pembicaraan. Hasan memilih tidur dahulu. Ia tak kuasa menahan kantuk. Begitu ia rabah dikasur khusus pengunjung, nafasnya langsung naik turun seperti orang yang mengayu becak naik ke tanjakan. Nada pun akhirnya juga rebah di sofa. Meski demikian, insting dokternya tetap masih tajam. Begitu ada gerak atau suara yang berasal dari pasien, ia dengan mudah terbangun. Aneh juga, begitu Nada terpejam, ia bermimpi bertemu dengan ibunya. Sang ibu bahagia tersenyum bahagia melihat Nada yang sedang menyiram tanaman di sebuah taman. Ibunya melambaikan tangan, Nada mencoba mengejar ibunya yang sudah jauh berjalan.

“Oh, aku bermimpi. Sudah lama sekali aku tidak bermimpi ketemu ibu. Aneh. Mengapa ibu justru datang ketika aku merawat dia? Apakah karena aku selalu mengkhawatirkannya?” Nada melirik jam tangan di tangan kirinya. Peninggalan sang ibu. Jam menunjukkan pukul tiga. Entah dari mana datangnya dorongan itu. Mendadak Nada ingin melakukan shalat tahajjud. Aneh juga keinginan tersebut. Jangankan shalat tahajjud, shalat yang lima waktu saja kadang masih bolong-bolong. Nada tidak menyangkal kalo dirinya belum seratus persen menjalankan agama yang ia anut, meskipun di kala puasa ramadhan ia tidak pernah absen sama sekali, kecuali kalo kedatangan tamu.

Setelah mengamati Fahri sekilas, Nada keluar menuju mushala yang termasuk salah satu fasilitas Kamar Mawar 3 ini.

Adzan shubuh membangunkan Hasan. Hasan seperti tersadar kalo ia sedang di rumah sakit. Cepat-cepat ia bangun dan menengok Fahri yang masih terlelap. Nada muncul dengan wajah segar dan pakaian yang baru. Celana casual biru muda dipadu dengan kaos lengan panjang warna yang sama. Tak lupa, jas dokter putih bersih. Rambut dibiarkan tergerai. Meski wajahnya tanpa riasan, kharismanya masih memancarkan kecantikan yang memabukkan.

“Kenapa aku baru sadar sekarang, semalam kayaknya biasa saja. Padahal, kebanyakan perempuan kan sebaliknya. Malam cantik, begitu siang menakutkan. Tapi, ia tidak. Sayang Fah, coba kalo kamu sadar, aku jamin kamu akan cepat sembuh. Atau tukeran, aku yang sakit.. hehehe" gumam Hasan.

“Sorry, aku terlelap pulas. Harusnya kamu bangunin aku, biar gantian jaganya" Hasan meminta maaf.

“Sebentar lagi kamu juga yang akan berjaga, shalat?”

Hasan mengerti maksud Nada. Segera ia menuju mushala. Tapi sayang, Hasan tidak tahu kalo disebelah ruangan ini ada mushala juga. Hasan pergi ke mushala rumah sakit yang letaknya cukup jauh.

Nada menuangkan teh ke dalam gelas, ketika telinganya yang peka mendengar bunyi rintihan. Mata Fahri mulai membuka. Nada meletakkan teko. Lalu menghampiri Fahri.

Melihat wajah asing, secara reflek, Fahri bangun.

“Ahhhh, sakit" jerit Fahri sambil memegang kepalanya. “Aku dimana? Apa yang terjadi?”

“Anda jatuh dari motor dan sekarang anda di rumah sakit. Hampir tujuh jam anda tidak sadarkan diri.”

“Seperti orang tidur saja.”

“Anda pikir anda tertidur?” Nada tersenyum mendengar ocehan Fahri yang seolah tidak sedang sakit.

“Perkenalkan nama saya Nada, saya sedang koas disini. Koas itu megang untuk meraih gelar kedokteran. Anda Fahri kan?”

“Anda tahu siapa saya?”

“Semalam temanmu menjagamu. Namanya Hasan. Sekarang ia sedang shalat. Nah, itu dia datang.”

Haris tertawa gembira. “Syukur Fah, kamu sudah sadar. Kami semalam cemas sekali. Pagi ini Cak Id mau kesini.”

“Cak Id sudah tahu?”

“Dokter Nada yang menelpon Cak Id, mengabarkan kalo kamu disini" kata Hasan sambil melirik Nada.

Fahri memandang Nada yang tersenyum kecil. Sangat manis.

“Terimakasih.”

“Sama-sama. Saya senang, anda sudah sadar. Sekitar jam delapan nanti, Dokter Malik akan memeriksa" kata Nada. “Saya pulang dulu, sampai nanti siang.”

Sekali lagi Fahri mengucapkan terimakasih. Hasan mengantar Nada sampai depan pintu.

“San, Bagaimana dengan...”

Hasan memotong bicara Fahri. “Jangan pikirkan Yasmin untuk saat ini. Pikirkan dirimu, kesembuhanmu. Baru setelah itu kita cari Yasmin. Lagian aku tak habis pikir, kenapa kamu merasa yang paling bertanggungjawab akan Yasmin?”

“San, ini amanah. Dan amanah adalah janji.”

“Oke. Aku tahu, tapi kita kan bisa memikulnya sama-sama.”

Jawaban Hasan tegas. Fahri diam.

“Eh btw, bagaimana ceritanya sampai kamu dapat perawat sebaik san secantik Nada sih.”

“Aku tidak tahu. Aku hanya ingat, ada mobil yang melaju sangat cepat dari arah barat, lalu aku jatuh, tidak ingat apa-apa. Seperti tertidur saja. Begitu bangun kepalaku pening sekali, sudah berada disini saja, dan wajahnya yang pertama kali kulihat. Memangnya kenapa?”

“Ah, tidak. Cuma kalo waktunya datang, siapa yang bisa menolak.”

“Aku nggak ngerti, San.”

“Takdir cinta, maksudku.”

Fahri memang tidak atau belum mengerti apa maksud omongan Hasan. Tapi, apakah itu berarti selamanya Fahri tidak tahu? Kelak ia akan memahami apa yang disebut Hasan sebagai takdir cinta.
                                    ***

TASBIH CINTA FAHRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang