DUA KECELAKAAN

124 9 3
                                    

Happy reading

Tidak ada yang tahu menahu tentang sebuah rahasia tuhan yang berhubungan dengan kecelakaan. Namun, efek dari kecelakaan tidak akan pernah pulih. Meninggalkan jejak luka yang terlalu dalam dan takkan bisa dihapus. Bahkan oleh waktu yang konon memiliki kesaktian untuk itu.

***

D

i waktu yang bersamaan pula, Milla dan Rasya, dua pengikut Nada, sempat bingung dengan keanehan ratunya itu. Belum genap tiga bulan menikmati empuknya kursi si Jazzy, keduanya harus rela berpanas-panas dengan naik sepeda motor masing-masing. Semakin jarang Nida mengajak mereka hunting makanan enak. Nonton dan nongkrong di kafe sudah berhenti total. Ibarat mobil yang direm mendadak, Rasya terantuk-antuk, kepalanya pusing tujuh putaran.


“Kenapa sih Nad, Jazzy nggak boleh keluar?”

“BBM lagi naik.”

“Tapi, Jazzy kan irit, ya kan Mill?” Rasya mencari dukungan.

“Kali aja si Jazzy sakit" celetuk Milla. “Eh, filmnya lagi bagus, Nad. Milea : Suara dari Dilan.”

“Enakan baca novelnya. Bisa berimajinasi sendiri tanpa dibatasi sutradara.”

“Katanya mau nyobain  steak yang di Carnivor Steak & Grill" sambung Rasya.

“Kalian ini pada bicara apa sih” semprot Nida. “Gara-gara kalian, aku Cuma dapat satu paragraf" Nida melototi layar laptopnya. “Rasya, carikan buku yang berjudul Panduan Pemeriksaan Kesehatan karangan Patricia Gonce Morton di rak nomor satu.”

“Giliran nyari buku, aku.”

“Entar sore kita jalan-jalan.”

“Benar, Nad?” wajah Rasya sumringah.

Nada menggangguk malas, “Mana bukunya?”

“Eh, apa tadi judulnya?”

“Panduan Pemeriksaan Kesehatan” sahut Milla.

Rasya bergegas menyusuri lorong-lorong perpustakaan fakultas kedokteran. Milla sibuk membolak-balik setumpuk buku-buku tebal. Nada konsentrasi di depan laptop.

Sore harinya, ketiganya berkumpul di rumah Nada. Inilah kegiatan yang paling disukai Rasya.

“Hallo, Jazzy, ketemu lagi nih" Rasya membelai kap depan Jazzy yang berwarna silver tersebut.

“Kamu depan, Mill” Nada menyerahkan kunci kontak kepada Milla.

Semenit kemudian mobil Honda Jazz itu meluncur keluar perumahan ke selatan ke keramaian kota menjelang malam minggu.

“Kita kemana dulu nih?”

“Gramed.”

“Masa malam minggu ke toko buku. Nggak asyik, Nad" protes Rasya.

“Habis mau kemana. Hugos juga belum buka. Kecuali kamu mau nunggu sampe buka.”

“Satpam kali?” sahut Milla.

Rasya manut. Milla memarkir mobil.

“Sya, kalau kamu nggak mau naik, kamu tunggu di loop cafe. Mill, ikut Rasya atau naik?”

“Aku mau lihat-lihat. Siapa tahu ada buku yang bagus.”

“Ada kok" kata Nada penuh semangat. Lidahnya hampir mengucapkan Tasbih Rachel, tapi tertahan dikerongkongan. Milla sampai heran melihat sikap Nada yang tidak biasa.

“Apa, Nad? Memangnya kamu udah baca?”

“Maksudku.. banyak buku bagus. Gramed kan tempatnya buku bagus" Nada cepat-cepat ganti topik. Ia tidak mau dikejar pertanyaan Milla. “Gimana, Sya ikut nggak?”

Dengan hati berat Rasya mengikuti langkah Nada dan Milla. Nada langsung menuju deretan buku agama. Psikologi Agama, Wawasan Al-Qur'an, La Tahzan dalam genggaman Nada.

“Banyak banget, Nad?” komentar Milla dari belakang. “Memangnya untuk apa?”

“Ya... untuk dibaca. Masa untuk dipajang.”

“Aku tahu. Maksudku apa ada hubungannya dengan kuliahmu?”

“Ku rasa tidak ada masalah seorang dokter menguasai pengetahuan lain" pungkas Nada. Terbukti Milla langsung diam.

“Kamu tunggu disini, aku mau ke lantai dua sebentar.”

Sepuluh menit kemudian Nada naik lagi sambil membawa bungkusan kecil dalam plastik. Selesai membayar di kasir, Nada menghampiri Rasya yang berdiri cemberut.

“Nih, buat Reno. Besok kan dia ulang tahun.”

Rasya seperti tersiram darah segar. Wajahnya seketika ceria. Ia baru sadar kalau besok reno, pacarnya berulang tahun. Segera ia teringat rencana reno empat hari yang lalu.

“Terimakasih, Nad. Kamu memang sahabat yang penuh perhatian. Aku saja hampir lupa. Untung kamu ingatkan dan langsung ngasih hadiah lagi.”

Udah deh, Sya. Nggak usah nyindir segala. Besok juga aku kasih hadiahnya" kata Milla ketus.

“Siapa juga yang nyindir?” balas Rasya. “Oh ya, aku baru ingat sekarang. Boleh nggak aku pinjam Jazzy. Reno ingin ngajak kita makan-makan di restoran platter, dekat kampus UNAIR. Katanya tempatnya enak, Nad.”

“Boleh. Kenapa tidak? Kapan?

“Besok malam. Kamu ikut kan, Nad? Milla sama Ryan ikut. Masa kamu nggak ada di saat kita bahagia.”

“Aku tugas malam. Anggap saja Jazzy mewakili aku. Beres kan?”

Meski kecewa, Rasya tetap senang, sebab ia tetap bisa bersenang-senang dengan Jazzy. Sisa malam itu, mereka habiskan dengan makan steak di tempat yang disebutkan Rasya siang tadi.

Esok harinya bersamaan dengan keluarnya si Jazzy dari garasi rumah Nada, Fahri terlihat berjalan menuju ndalem. Wajahnya lesu. Tubuhnya layu. Dipikirkannya segera mandi dan istirahat. Begitu melintasi ruang belakang ndalem, tampak Pak Subhan dan Ibu Zaenab sedang termangu. Saling mendiamkan. Setelah uluk salam dan bersalaman dengan Pak Subhan. Fahri duduk.

“Piye? Sukses to?” Pak Subhan membuka percakapan.

“Alhamdulillah, berkat do'a Pak Subhan dan Ibu.” Fahri teringat Yasmin dan langsung menanyakan kepada Pak Subhan. “Yasmin bagaimana, Pak? Baik-baik saja kan? Saya kepikiran dia terus.”

“Lebih baik kamu mandi dulu, biar seger. Habis itu makan. Baru kita bicara" tukas Ibu Zaenab.

Pak Subhan mendukung pendapat istrinya.

Fahri naik dan mandi. Meski ia lapar dan masakan Ibu Zaenab lezat sekali, Fahri tidak bisa menikmatinya. Ia merasakan gelagat yang tidak baik. Apa itu? Sebentar lagi ia akan mengetahuinya.

Setelah Fahri mandi, Pak Subhan mempersilahkan istrinya yang bicara.

“Barangkali ini Cuma kekhawatiran dari orang tua saja, Fah. Sudah dua hari ini kami tidak melihat Yasmin. Kamarnya selalu terkunci rapat. HP nya tidak bisa dihubungi. Kami khawatir terjadi apa-apa dengan dia.”

“Ibu sudah mencari ke teman-temannya. Mungkin Yasmin kesepian di rumah dan menginap di tempat temannya.”

“Itu bisa terjadi. Tapi, pikiran kami kok nggak enak. Mestinya kalo nginap kan bilang atau telepon. Biar kami tidak bingung.”

“Saya tahu beberapa teman dekat Yasmin. Habis Isya' nanti saya coba mencari informasi ke teman-temannya. Siapa tahu benar Yasmin bersama mereka.”

“Kamu kan baru datang. Masih capek. Besok saja.”

“Habis mandi capeknya sudah hilang. Lagi pula, rumah teman-teman Yasmin dekat-dekat sini" Fahri bersih keras.

Pak Subhan dan istrinya tak bisa berbuat apa-apa.

Selepas jamaah isya' Fahri bersiap. Tadi, ia sempat tertidur sebentar setelah sholat maghrib. Tetapi, pikirannya tentang Yasmin mengalahkan rasa letihnya yang menggigit tulang. Fahri meminjam motor Hasan. Hasan menawarkan diri untuk menemani. Namun, ditolak Fahri. Tujuan pertama Fahri adalah tempat Nayla, bukan jawaban dimana Yasmin yang Fahri terima. Tetapi, pertanyaan yang sama dari Nayla.

“Kami juga bingung mencarinya" kata Nayla.

“Kalo boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Entalah, Fah. Aku juga tidak tahu. Tapi, sepertinya bermula dari Grenjengan.”

“Grenjengan?” Fahri kaget.

“Sebenarnya, waktu itu kami tidak pergi ke rumah teman, melainkan diakak Yasmin ke Grenjengan. Sejak itu, kami melihat Yasmin bersikap aneh.”

“Aneh Bagaimana?”

“Bagi kami yang selalu bersama sejak awal kuliah, sedikit saja perubahan sikap diantara kami akan kelihatan, walaupun secara lisan kami sulit menyebutkan. Kalo masalah ini Isa lebih bisa menjelaskan.”

Fahri pun menembus malam mencari tempat kost Isa. Ia berharap Isa mengetahui Yasmin berada. Fahri tak menggubris jeritan tubuhnya yang semakin menipis simpanan energinya. Ada sedikit sesal mengapa tadi ia menolak tawaran Hasan. Tapi, sudahlah, hanya orang yang tak bertanggung jawab yang menyesali apa yang telah terjadi. Yasmin itu tanggung jawabku. Aku yang diberi amanah abah. Aku juga yang harus menemukannya atau setidaknya tahu dimana Yasmin sekarang berada.

Setelah berputar-putar, Fahri sampai juga di kost Isa. Fahri langsung pada pokok persoalan.

“Adakah yang aneh pada diri Yasmin beberapa hari terakhir ini?”

“Setahuku, ia sering menerima telepon dari seseorang. Katanya sih teman. Beberapa kali, ia tidak mengerjakan tugas bersama-sama. Alasannya ada acara di luar. Acara apa kami juga tidak tahu. Aku sudah puluhan kali menghubunginya, tetapi selalu tidak bisa. HP nya sepertinya dimatikan.”

“Kata Nayla, ada kaitannya dengan pada saat kalian di Grenjengan. Mungkin nggak Yasmin berkenalan dengan seseorang disana?”

“Kenalan?” Isa mengingat-ingat ingatannya. “Setahuku, Yasmin memang pernah berkenalan dengan seorang guide disana. Tapi, apa mungkin Yasmin berhubungan dengan orang itu?”

“Jika seseorang sedang labil, apapun bisa ia lakukan untuk menguatkan dirinya. Bukankah Yasmin hari-hari terakhir ini terlihat ceria?”

“Iya sih, terutama ketika sedang menerima telepon. Sebentar, Fah. Aku ingat, kalo tidak salah nama guide itu Hendra. Ia membawa rombongan turis asing.”

“Berarti Hendra yang sering menelpon Yasmin?”

“Aku tidak tahu. Sebab Yasmin tidak pernah menyebutkan namanya.”

“Buntu. Fahru pamit pulang. Tetapi belum plong, tetapi setidaknya ia bisa sedikit melacak jejak Yasmin.

Gerimis turun bak jarum-jarum kecil menembus kulit. Kabut seperti kipas tipis yang melayang-layang di udara. Fahri memaksa matanya bekerja lebih keras sambil memutar gas pelan-pelan menghindari jalan yang licin. Ia tidak tahu lagi harus kemana mencari. Sudah lima kantor tour dan travel ia datangi. Tak satu pun yang memiliki guide yang bernama Hendra.

Siapa yang bisa menguasai ritme alam. Termasuk tubuh manusia. Desakan pikiran ditambah merosotnya kekuatan tubuh bisa menjadi bahaya jika di jalan raya.

Gerimis semakin padat. Menahan diri untuk terus bertahan. Mengapa ia tidak sempat memeriksa jas hujan. Perempatan di depan nampak sepi. Beberapa mobil melaju meski lampu menyala merah. Beberapa tukang becak duduk berhimpitan di emper toko, menunggu rezeki. Lampu hijau menyala. Fahri berjalan pelan. Namun, dari sebelah jalan kanan sebuah mobil Honda Jazz silver melaju kencang dan brakkkk.... sebuah benturan keras mengagetkan para tukang becak yang kedinginan.
                                                 
***

Setitik darah menodai putihnya sprei di atas kasur empuk itu. Ada tangis tertahan dari seorang gadis di ujung pembaringan. Kakinya ditekuk. Rambutnya kusut. Pakaiannya tak beraturan. Wajahnya disembunyikan dari cahaya remang kamar di sebuah hotel berbintang. Namun, tak ada bintang dipelupuk mata sang gadis. Yang ada adalah kegelapan. Hitam. Perih. Sakit.

Lelaki itu menghampirinya. Membelai rambutnya dan dengan kalimat yang sangat manis ia berbisik ditelinga sang gadis, “I Love You, Yasmin.”

***

TASBIH CINTA FAHRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang