BAGIAN 1

636 21 0
                                    

Gunung Rinjani yang gagah dan angker, di waktu pagi tampak berselimut kabut tebal. Di bawah puncaknya yang tinggi dan lancip, terdapat beberapa anak gunung yang mengelilingnya. Daerah ini, memang indah dengan segala jenis tanaman dan bebatuan. Namun pada salah satu anak gunung yang disebut Bukit Api, tanahnya gersang dan kering. Tak ada tumbuhan yang bisa hidup di tempat itu. Semuanya kering dan mati. Yang tampak hanya bebatuan berwarna kemerahan, terpanggang hawa panas yang keluar dari perut bumi.
Namun bila terus berjalan ke atas, ada suatu tempat yang cukup luas dan datar. Di situ, hidup tumbuhan dan binatang-binatang yang amat langka dan mengandung racun ganas. Salah satunya yang paling mengerikan dan beracun adalah kalajengking api. Sedikit saja tubuh seseorang terkena sengatannya, maka dalam waktu yang tak lama akan tewas seketika dan tubuhnya berubah merah seperti kepiting direbus.
Sementara di salah satu sisi dindingnya terdapat sebuah goa yang memiliki ruangan cukup luas. Dan goa itu berhubungan dengan perut gunung, tumpahan lahar digodok di dalamnya. Dan di sebuah ruangan goa itu, tinggallah seorang laki-laki tua yang rambutnya tinggal sedikit, dan telah memutih di dekat tengkuknya. Dia tengah duduk bersila di atas sebuah batu berbentuk segi empat, setinggi satu jengkal dari tanah.
Wajahnya yang penuh kerut-kerut kaku bagaikan patung, dihiasi sepasang alis yang tinggi kulitnya kemerahan bercampur hitam. Tubuhnya kurus, sehingga tulang rusuknya yang bertonjolan terlihat di balik baju yang compang-camping. Pada jarak dua langkah di hadapan laki-laki tua itu, bersimpuh seorang pemuda bertubuh tegap. Raut wajahnya keras dan kedua rahangnya menonjol. Kulit tubuhnya merah kecoklatan. Baju yang dikenakannya terlihat lusuh, dengan sobekan-sobekan di beberapa bagian.
"Mintarja.... Kurasa telah tiba waktunya bagimu untuk turun ke dunia ramai. Pelajaran yang kau peroleh dariku telah selesai," kata laki-laki tua itu, pada pemuda yang rupanya murid satu-satunya.
"Eyang Sara Geni, berat hatiku untuk meninggalkanmu seorang diri di sini. Kau telah kuanggap sebagai pengganti kedua orang tuaku yang telah tiada. Tapi aku tahu, kau akan membenciku kalau aku bersikap cengeng dan lemah. Maka apa pun perintahmu akan kulakukan," sahut pemuda yang dipanggil Mintarja, tenang.
"Hm... sebelum kau pergi, ada dua pesanku yang harus kau kerjakan," gumam laki-laki tua berkepala hampir botak, yang ternyata bernama Eyang Sara Geni itu.
"Apakah itu, Eyang?" tanya muridnya dengan kening berkerut.
"Pertama, kau harus menemui calon istrimu. Kau ingat, bukan?"
"Maksud Eyang, Kaniawati?" Mintarja ingin memastikan.
"Ya, kawan mainmu ketika kecil. Aku telah berjanji pada kedua orang tua kalian, untuk menjodohkanmu dengannya. Selain mengangkatmu sebagai muridku. Seperti kau ketahui, Kaniawati telah diangkat murid oleh saudara seperguruanku, yaitu Nyi Lengser di puncak Gunung Rinjani," jelas Eyang Sara Geni.
"Aku akan melaksanakannya, Eyang!" jawab Mintarja, mengangguk hormat.
Sebentar suasana jadi hening. Tampak mata Eyang Sara Geni menerawang jauh, seperti mengenang sesuatu. Sedangkan Mintarja tetap tertunduk menekuri tanah.
"Yang kedua, kau harus balaskan sakit hati dan dendam orang tuamu yang tewas dibantai oleh tokoh-tokoh yang kusebutkan padamu," ujar Eyang Sara Geni.
"Aku pasti akan melaksanakannya, Eyang!" sahut pemuda itu mantap.
"Bagus! Karena untuk itulah kau kubawa ke sini. Orang tuamu dan orang tua Kaniawati adalah kawan-kawan baikku. Semula aku ingin membalas kematian mereka dengan tanganku sendiri. Tapi melihatmu dan Kaniawati timbul pikiran lain. Kalian lebih pantas untuk membalaskannya. Maka, untuk itulah kalian kami didik." jelas Eyang Sara Geni lagi.
Kembali suasana jadi hening. Sementara muridnya mencoba mengangkat kepalanya. Ditatapnya mata tua itu di depannya sebentar.
"Eyang... Kalau boleh kutahu, kenapa kami dididik secara terpisah?" tanya Mintarja pelan, seraya kembali menunduk.
Eyang Sara Geni tidak langsung menjawab. Ditatapnya Mintarja yang menunduk. "Mintarja, perlu kau ketahui. Meskipun bibi gurumu adalah saudara seperguruanku, tapi ilmu kami memiliki aliran berbeda. Seperti yang kau ke tahui, aliran ilmu yang kuajarkan padamu mengandung unsur api. Sedangkan bibi gurumu mengandung unsur air. Sehingga apabila kedua aliran itu dipadukan, maka akan tercipta suatu paduan yang hebat dan sulit terkalahkan. Karena kedua aliran itu tak bisa dituntut satu orang, maka itu sebabnya kalian dipisahkan," jelas Ki Sara Geni.
Mintarja mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu.
"Kemudian ada hal yang perlu disadari bahwa ilmu pukulan 'Racun Api' yang kau miliki masih belum sempurna. Jadi hal itu tak bisa dianggap enteng. Dan ilmu itu tak bisa kuberikan seluruhnya, karena kau harus melatihnya sendiri di dekat kawah di bawah sana selama puluhan tahun. Dan hal ini akan menghabiskan umurmu. Aku khawatir jika menyuruhmu untuk menyempurnakannya, maka musuh-musuhmu keburu mati tanpa merasakan pembalasan darimu. Kau mengerti, Mintarja?" lanjut Eyang Sara Geni.
"Aku mengerti, Eyang," kata Mintarja mantap.
"Nah kuharap kau tak kecewa. Karena apa yang kau miliki sama dengan yang dimiliki Kaniawati. Dia pun tak memiliki pukulan sempurna yang diajarkan gurunya, karena akan memakan waktu yang lama sekali. Kalau memang kau telah mengerti, maka bawalah ini sebagai senjatamu," tambah Eyang Sara Geni seraya menyerahkan dua pucuk tongkat runcing sepanjang kira-kira empat jengkal.
"Eyang...' pemuda itu mendongak, memandang wajah gurunya dengan rasa tak percaya bercampur takjub.
Eyang Sara Geni tersenyum sambil mengangguk pelan. Dan Mintarja ragu-ragu menerimanya. Memang pemberian ini adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi dirinya. Sebab dia tahu, bagaimana dahsyat kedua tongkat yang dinamakan Sepasang Tongkat Api itu. Apabila dipukulkan satu sama lain, maka akan menyemburkan lidah api yang panjang dan mampu menyerang lawan. Dan bila beradu dengan benda keras lain, akan memercikkan bunga api yang diiringi ledakan menggelegar laksana sambaran geledek.
Mintarja tahu bahwa senjata itu ada dua pasang. Dan sebelumnya, memang sudah diduga kalau yang sepasang akan diberikan kepadanya. Karena Eyang Sara Geni memang amat menyayanginya. Diakui, Mintarja belum pernah menggunakannya. Tapi dia merasa yakin, mampu menggunakan sepasang senjata itu. Karena, gurunya pernah menjelaskan secara seksama.
"Nah, sekarang pergilah. Doaku menyertaimu," ujar Eyang Sara Geni.
"Baiklah, Eyang Aku mohon doa restu," desah Mintarja, seraya menyelipkan sepasang Tongkat Api ke pinggangnya. Kemudian dia memberi hormat, lalu bangkit berdiri.
"Aku merestuimu, anakku." kata Eyang Sara Geni, lalu bangkit berdiri.
Orang tua itu sendiri tak menunjukkan raut wajah sedih ataupun gembira. Malah dia tetap berada dalam goa. Dan ketika Mintarja telah keluar goa, laki-laki tua itu bangkit. Lalu, kakinya terus melangkah ke bagian dalam yang menjorok ke bawah. Di sana terdapat sebuah kolam lahar yang berwarna kemerahan dan selalu bergejolak. Di tengah-tengah, terdapat sebuah batu hitam yang agak tinggi yang bagian bawahnya membara kemerahan. Ke atas batu itulah Eyang Sara Geni melompat dan terus duduk bersila. Dia langsung melanjutkan tapanya, tanpa menghiraukan hawa panas yang menyengat seperti dalam ruang pembakaran!
Dengan melompat-lompat ringan menuruni tebing curam dan terkadang licin, Mintarja terus berlari cepat. Sehingga dalam waktu singkat, pemuda itu telah berada di bawah Gunung Rinjani. Dipandanginya untuk beberapa saat Gunung Rinjani yang berdiri gagah perkasa. Berkali-kali dihirupnya udara sebanyak-banyaknya hingga dadanya terangkat tinggi. Tempat itu memang membawa banyak kenangan, namun Mintarja tak mau terhanyut lebih lama. Pemuda itu menghela napas panjang sesaat, kemudian segera melangkah tanpa menoleh lagi, meninggalkan gunung yang berdiri di belakangnya.
Sudah lebih dari setengah harian berjalan, Mintarja terus melanjutkan perjalanannya ke arah barat yang memang tujuannya. Dan menjelang sore ini, pemuda itu tiba di suatu tempat yang pemandangannya menakjubkan. Di tempat itu, berjejer perbukitan kecil yang memiliki lubang kawah berisi air yang memiliki warna berbeda. Tiga buah lubang kawah tampak berbentuk segitiga. Yang kiri mempunvai air berwarna biru, sedangkan yang kanan berwarna hijau. Sementara yang berada agak ke atas, sedikit berwarna bening kemerah-merahan.
Saat itu Mintarja memang tengah di atas sebuah bukit yang agak tinggi, sehingga matanya leluasa sekali menikmati keindahan alam yang menakjubkan itu. Dalam keadaan itu, mendadak pendengarannya yang tajam mendengar suara pertarungan tak jauh dari tempat ini.
Maka seketika matanya merayapi sekitar tempat itu. Dan sebentar kemudian, ringan sekali tubuhnya melompat ke satu arah. Mintarja melesat cepat menuju sebuah bukit yang agak rendah di bawah. Memang teletak tidak jauh, maka sebentar saja dia sudah tiba. Dan di suatu tempat yang agak datar dan ditumbuhi rerumputan Mintarja melihat dua orang laki-laki berwajah seram dengan tubuh besar tengah bertarung. Lawan mereka adalah seorang gadis cantik berpakaian ungu. Rambutnya panjang, dan bagian belakangnya diikat pita merah. Mulanya Mintarja bermaksud turun tangan untuk membela gadis itu. Namun setelah mengamati rupanya sedikit pun gadis itu tak terdesak.
"Hmm... Siapa gadis itu? Ilmu olah kanuragannya cukup hebat. Bahkan kedua lawannya dibuatnya seperti bulan-bulanan" gumam Mintarja dalam hati dengan wajah kagum.
Apa yang dilihat Mintarja memang tak salah. Gerakan gadis itu demikian gesit dan cepat. Dia mampu melayang ringan seperti kapas. Tampak kedua lawannya dibuat jatuh bangun tak berdaya. Namun dia seperti tak memberi kesempatan sedikit pun bagi lawan-lawannya untuk balas menyerang.
"Yaaa ! Keparat-keparat busuk! Kalian akan mampus di tanganku!" geram gadis itu langsung menendang kedua lawannya. Tubuh gadis itu berputaran di udara dengan kedua kaki saling menyilang. Dan seketika dihajarnya langsung kedua lawan dengan telak.
Duk!
Dess!
"Aaaakh!"
Kedua laki-laki itu memekik kesakitan begitu wajah masing-masing terhajar tendangan gadis itu. Darah tampak mengucur dari hidung mereka yang pecah. Dan agaknya gadis berpakaian ungu tak melepaskan mereka begitu saja. Tubuhnya langsung melesat ke arah lawan-lawannya sebelun sempat bersiap-siap lagi. Begitu cepat tendangan gadis itu sehingga tak seorang pun yang bisa mengelak. Maka...
"Hiyaaa!"
Des!
Krek!
"Mampuslah kalian!" dengus gadis itu, ketika kedua kakinya menghantam dada lawan-lawannya.
"Aaa...!"
Kedua laki-laki itu kontan menjerit kesakitan begitu dadanya terasa remuk. Mereka langsung ambruk ke tanah, dan mati dalam keadaan mata melotot lebar.
"Hebat! Kepandaianmu sungguh hebat, Nisanak. Persoalan apa hingga sampai membunuh mereka?" tanya Mintarja, ketika keluar dari persembunyiannya. Dan pemuda itu kini melangkah mendekati gadis yang sorot matanya tajam.
"Siapa kau?! Apakah kau kawan kedua orang ini?!" bentak gadis itu galak.
"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan sedang menunggu seorang kawan di tempat seperti ini," sahut Mintarja tenang.
"Huh! Kau pikir aku bisa percaya omonganmu itu!"
"Apa maksudmu?"
"Kau sama saja dengan kedua laki-laki ini, hendak berbuat kurang ajar terhadapku!" dengus gadis itu geram.
"Nisanak! Jangan sembarangan kalau bicara! Apa kau kira setelah membunuh kedua laki-laki itu, kau bisa menggertakku begitu?" sahut Mintarja, jadi tak senang.
"Kalau betul, kau mau apa?" tantang gadis itu sambil berkacak pinggang.
Melihat sikap gadis itu, amarah Mintarja jadi tak terbendung lagi. Ditatapnya gadis itu dalam dalam dengan sorot mata tajam. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat sambil menggeram pelan.
"Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu sehingga bisa membuatmu besar kepala!"
"Huh! Majulah kalau kau ingin mampus!"
"Hup, yeaaa!"
Dengan sekali melompat, tubuh Mintarja bergerak cepat mengirim pukulan keras sambil berputaran. Namun gadis yang agaknya telah menduga hal itu cepat melenting tinggi ke atas menghindarinya. Kemudian tubuhnya menukik tajam laksana rajawali hendak menyambar mangsanya, ke arah Mintarja yang sudah menunggunya. Mintarja langsung saja menangkis dengan kedua tangannya ketika gadis itu hendak menghantam batok kepalanya.
"Hih!"
Plak!
"Uhh...!"
Dan ketika kedua tangan mereka beradu, terlihat wajah masing-masing berkerut menahan sakit. Agaknya, mulai disadari kalau kemampuan masing-masing setara. Namun itu bukan berarti salah satu ada yang mau mengalah. Bahkan gadis itu semakin bernafsu saja menyerang dan bermaksud menghabisi pemuda itu secepatnya. Sebaliknya, Mintarja merasa penasaran, karena gadis yang dianggapnya mudah ditundukkan temyata memberi perlawanan sengit dan hebat.
"Hiyaaa!"
"Uts..."
Kaki kanan gadis itu cepat menghantam ke arah dada Mintarja. Namun pemuda itu telah melenting ke belakang dengan gerakan bersalto. Dan begitu mendarat, kakinya seketika melepaskan tendangan saat gadis itu mencoba mengikuti gerakannya. Dan pada saat yang bersamaan gadis itu juga telah melepaskan satu sodokan yang keras ke dada. Maka....
Plak!
Kali ini terlihat paras gadis itu berkerut, menahan rasa sakit ketika kepalan tangannya beradu dengan kaki Mintarja. Dan seketika hawa panas terasa mengalir di tangannya, sehingga membuatnya tersentak. Buru-buru tangannya ditarik. Masih untung, dia cepat membuang diri ke samping ketika pemuda itu menyapu mukanya dengan kaki satunya. Gadis itu lalu cepat-cepat bangkit dan berdiri, kemudian....
Sring!
Dengan geram gadis itu mencabut pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat siap mengayunkan pedangnya membelah tubuh lawan. Tentu saja hal itu membuat Mintarja terkejut. Maka buru-buru senjatanya yang berupa sepasang tongkat runcing di cabut untuk menangkis.
Trasss!
"Heh?!"
Begitu mendarat manis di tanah, kedua orang itu tersentak kaget ketiga senjata satu sama lain beradu. Tadi seperti terdengar suara besi panas membara yang diceburkan ke dalam air. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah seraya memandang senjata masing-masing. Kemudian mereka saling menatap dengan wajah heran.
"Nisanak, siapa kau sebenarnya? Pedangmu mengandung hawa dingin yang mampu meredam nyala api tongkatku. Di dunia ini, yang mampu menahan tongkatku ini hanya pedang milik bibi guruku, yaitu Nyi Lengser yang berdiam di puncak Gunung Rinjani." kata pemuda itu membuka suara setelah terdiam beberapa saat.
Gadis itu terpana. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.
"Apakah kau... kau murid Eyang Sara Geni?" tanya gadis itu, lirih.
"Betul. Dan kau murid bibi guruku?" timpal Mintarja. Si pemuda balik bertanya.
"Kakang Mintarja!" gadis itu mendadak terpekik dengan wajah girang, seketika pedangnya disarungkan kembali ke balik punggungnya.
Mintarja juga terkejut dan menghampiri gadis itu. Lalu mereka saling berhadapan, setelah Mintarja menyelipkan kembali kedua tongkatnya. "Kaniawati!"
Mereka saling bertatapan beberapa saat, kemudian gadis itu tertunduk malu.
"Kakang! Oh, tak kukira bahwa kau orangnya. Maafkan kekeliruanku, Kakang...," lirih suara gadis yang dipanggil Kaniawati.
"Tak apa, Kania. Aku pun salah. Maafkan kekasaranku..." sahut pemuda itu dengan suara pelahan.
Kini mereka kembali terdiam, sehingga suasana hening seperti di pekuburan. Kaniawati masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajah pemuda itu. Sementara Mintarja sendiri salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi lama-kelamaan, akhirnya diberanikannya untuk memegang jemari gadis itu.
"Kania..." panggil pemuda itu, berbisik.
"Hmmm..."
"Tak sadar kau sudah besar dan cantik," puji Mintarja tersenyum kecil.
"Kau pun demikian, Kakang. Dulu ketika kecil kau kurus dan cengeng. Tapi sekarang kau gagah dan tampan...," sahut Kaniawati dengan wajah bersemu merah.
"Bagaimana keadaanmu selama disana?"
"Baik, Kakang. Eyang Guru sangat menyayangiku. Kakang sendiri?"
"Ya! Eyang Sara Geni pun berlaku demikian padaku..."
Kembali mereka terdiam. Namun, kali ini Mintarja lebih berani mengajak gadis itu untuk duduk di sebuah pohon yang lebih rindang. Dan kali ini pun, Kaniawati terlihat lebih berani mencuri-curi pandang, menatap wajah pemuda itu yang memang tampan. "Kau pun disuruh Eyang Lengser untuk menemuiku di sini?" tanya Mintarja. Kaniawati mengangguk. "Apakah beliau juga bicarakan tentang kita?"
Gadis itu mengangkat kepalanya, dan memandang pemuda itu sejurus lamanya. "Aku ingin tahu, apakah Kakang setuju soal perjodohan yang telah ditetapkan sebelum kedua orang tua kita tewas?"
"Kenapa tidak?"
"Kakang terpaksa menyetujuinya?"
"Kalau dulu aku tak tahu apa artinya. Maka aku setuju saja agar mereka senang. Tapi setelah dewasa begini, mana mungkin aku akan menolak kalau ternyata gadis yang dijodohkan padaku ternyata cantik tiada tara!" kata Mintarja, diiringi senyum manis. Kaniawati tersenyum manis, kemudian membuang pandang sejurus lamanya.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Mintarja, sehingga membuat Kaniawati menoleh kembali.
"Eh, apa?"
"Apakah kau menolak perjodohan kita?"
Kaniawati tak langsung menjawab, tapi malah tersenyum. "Menurutmu bagaimana?"
"Entalah. Eyang Sara Geni tak mengajarkan padaku bagaimana membaca hati orang. Aku hanya bisa tahu kalau orang itu mengaku. Nah, bagaimana jawabmu?"
Kaniawati menundukkan kepala, lalu mengangguk pelan. Tapi kemudian cepat dipandangnya pemuda itu dalam-dalam, masalahnya Mintarja menyinggung soal perkawinan mereka.
"Kakang, aku ada satu pertanyaan?"
"Apa itu?"
Paras wajah gadis itu seketika berubah kelam. Dia mendengus dan senyumnya terlihat sinis.
"Huh! Aku harus membalaskan dendam dua orang tuaku lebih dulu!" tegas Kaniawati.
"Kania! Bukan kau saja yang berpikir begitu. Aku pun memiliki dendam yang tak kalah besarnya denganmu. Dan Eyang Sara Geni juga berpesan demikian. Jadi mana mungkin aku bisa bersenang-senang, selama mereka masih berkeliaran. Arwah kedua orang tuaku tentu tak akan tenang," kata Mintarja kembali.
"Terima kasih, Kakang. Kau tentu sabar menunggu, bukan?" ucap gadis itu.
"Tentu saja. Nah, lihatlah. Sebentar lagi malam tiba. Apakah kita akan menginap di sini atau mencari desa yang terdekat untuk menumpang nginap?"
"Apakah kau tidak bisa tidur di hamparan rumput ini?" ledek Kaniawati. Gadis itu tersenyum.
"Hei? Kenapa tidak? Dengan adanya kau di sini, di mana pun aku bisa tidur!"
"Nah! Kenapa sulit-sulit segala mencari tempat?"
"Baiklah. Kita bermalam di sini saja, sambil merencanakan apa yang harus dilakukan esok hari. Mereka tak akan lolos dari kejaran kita. Dan, tak seorang pun boleh menghalangi dendam kita!" tegas Mintarja.
Gadis itu tersenyum sambil mengangguk kecil.

***

112. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Datuk GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang