Hari belum terlalu siang ketika Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Pasir Batang yang saat ini terlihat ramai. Tampak di dalam sebuah kedai makan yang cukup besar juga telah dipenuhi pengunjung. Beberapa orang yang kebetulan melakukan perjalanan dan melewati desa ini, pasti akan mampir ke kedai makan itu. Demikian juga Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar dari Karang Setra segera melangkah ke arah kedai itu. Namun baru saja berada di ambang pintu, semua mata pengunjung kedai menatap ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tanpa berkedip. Beberapa di antaranya terlihat ketakutan, dan buru-buru meninggalkan kedai itu. Sementara yang lainnya menunjukkan wajah sinis.
"Kakang! Aku merasa tak enak dengan keadaan ini. Ada sesuatu yang tak beres..." bisik Pandan Wangi dengan wajah kesal.
"Ya. Aku pun merasakannya. Tampaknya mereka tak bersahabat dengan kita. Tapi kita kan tak punya persoalan dengan mereka. Ayolah, Pandan, tak usah dipikirkan," sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi memasuki kedai itu. Baru saja mereka hendak melangkah masuk, sekonyong-konyong....
"He, bocah-bocah busuk! Mau apa kalian ke sini. Cari mampus, ya!" terdengar bentakan kesal menggelegar.
Rangga segera mengarahkan pandangan pada seorang laki laki bertubuh besar dan berbaju hitam, yang mengeluarkan bentakan tadi. Tampak bagian dada laki laki itu dibiarkan terbuka lebar, sehingga terlihat bulu-bulunya yang lebat. Bola matanya melotot lebar dengan cambang yang menghiasi wajahnya. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang gagangnya sudah digenggam.
"Kisanak! Kau bicara pada kami?" tanya Rangga sopan.
"Kau kira aku bicara pada kerbau, he?!" bentak orang itu, seraya beranjak dari tempat duduknya diikuti tiga orang anak buahnya dari belakang.
"Tidak bisakah kau bicara sopan, Kisanak?" kata Rangga kalem.
"Sopan katamu? Puih! Itu sudah sopan dibandingkan kesombongan kalian!" dengus laki-laki bertampang seram itu.
"Kisanak... Maaf, kami semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Karena ada urusan yang lebih penting maka kami tak bisa meladenimu. Maaf..." sahut Rangga berusaha mengalah. "Ayo, Pandan. Rasanya di sini sudah dipenuhi tikus-tikus kotor."
"Keparat! Kau pikir bisa berbuat seenak perutmu di depan Singo Warok! Yeaaa...!"
Setelah membentak demikian, tubuh orang yang mengaku bernama Singo Warok langsung melompat sambil mencabut goloknya untuk menyerang.
Bet! Bet!
Meskipun tanpa menoleh, namun Rangga dapat merasakan angin serangan tajam yang terarah kepadanya. Maka kepalanya, cepat ditundukkan untuk menghindari sambaran golok lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar ke samping dan terus mengayunkan satu tendangan ke arah perut lawan. Namun Singo Warok telah melompat ke samping kiri.
"Kurang ajar...!" maki Singo Warok.
Kembali laki-laki bertubuh besar itu menyabetkan goloknya. Namun Rangga mencelat ke atas, dan terus melewati kepala Singo Warok dengan jungkir balik. Lalu seketika itu kedua kakinya menghantam ke arah punggung laki-laki bertubuh besar itu.
Bug!
Seketika tubuh Singo Warok terjajar ke depan, begitu punggungnya dihantam kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparaaat...!" maki Singo Warok geram sambil cepat berbalik hendak menghabisi lawan.
"Kisanak, di antara kita tak ada saling permusuhan. Kenapa kau begitu bernafsu membunuhku?" tanya Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.
"Dasar bocah-bocah busuk! He! Kalian pikir mataku buta? Kalian telah membunuh guru kami, Ki Slongsor Geni. Apa itu tidak cukup?! Dan kalian juga telah menghancurkan Perguruan Tombak Baja dan menghabisi murid-muridnya tanpa sisa. Apa itu tidak cukup sebagai bukti kebiadaban kalian? Coba lihat mereka! Orang orang itu memiliki dendam kesumat pada kalian berdua!" teriak Singo Warok lantang.
"Astaga! Tuduhanmu salah alamat, Kisanak. Sabarlah. Mari kita bicara baik-baik!" bantah Rangga.
Sementara itu tokoh-tokoh persilatan yang tadi berada dalam kedai saat ini sudah mengerumuni mereka. Apa yang dikatakan Singo Warok memang tak salah. Mereka umumnya menunjukkan wajah kebencian dan dendam menyala-nyala. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin geram saja. Tak ada angin atau hujan, tahu-tahu mereka menunjukkan sikap bermusuhan. Namun dengan tenang, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menguasai diri.
"Kisanak semua! Kalau memang kami bersalah dan melakukan apa yang dituduhkan orang ini, kami bersedia dihukum! Tapi kalau ternyata kalian melampiaskan dendam kesumat pada orang yang tak bersalah, kalian akan menyesal sendiri!" kata Rangga lantang.
"He! Jangan dikira kami takut pada kalian! Kami telah sepakat. Kalau bukan kalian maka biarlah kami yang akan mati!" timpal yang lain berteriak.
Dan teriakan itu diikuti teriakan-teriakan yang sama dan mengutuk sepasang anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi melihat orang yang berkerumun di tempat itu semakin banyak saja. Seolah-olah, seluruh penduduk desa ini tumpah ruah untuk menyaksikan sambil memaki-maki geram. Bahkan dari arah belakang, dengan perasaan jengkel beberapa orang melempari Rangga dan Pandan Wangi dengan batu-batu kecil. Tentu saja hal itu membuat jengkel kedua pendekar itu.
"Baiklah, kalau memang kalian memaksa kami untuk bertindak keras...," desah Pendekar Rajawali Sakti, agak sedikit mengesal. Belum selesai kata-kata yang diucapkan Rangga, mendadak....
"Hentikan ...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang berkumandang ke segala penjuru.
Semua orang seketika menoleh ke arah datangnya bentakan tadi yang berasal dari seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan kurus. Jenggotnya panjang berwarna putih, seperti rambutnya yang telah ubanan. Di pinggangnya yang kecil terlihat sebuah pedang yang amat tipis, sehingga bisa dililitkan seperti sebuah sabuk. Bagi penglihatan orang awam, tentu saja akan menyangka kalau orang tua itu memakai sabuk dari baja tipis. Namun sekali pandang saja, Rangga bisa tahu kalau itu pedang.
"Sungguh memalukan! Tidak tahukah kalian, dengan siapa kalian berhadapan?!" lanjut orang tua bertubuh kecil itu lantang seperti seorang bapak menghardik anak-anaknya yang nakal.
"Ki Wakalpa, kedua orang inilah yang...," Singo Warok membuka suara, namun...
"Goblok! Tolol! Apakah kau tahu siapa pembunuh gurumu. Sedangkan saat itu kau tak melihatnya?! Dan kalian semua, kenapa ikut-ikutan tanpa periksa? Tidak tahukah kalian kalau saat ini kalian tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut?" potong orang tua yang dipanggil Ki Wikalpa, sehingga membuat wajah Singo Warok berubah.
"Heh?!"
"Benarkah?"
"Astaga...?!"
Orang-orang yang berada di tempat itu kontan tersentak kaget ketika Ki Wikalpa menyebutkan siapa kedua anak muda itu.
"Aku menyadari dan bisa merasakan apa yang kalian rasakan saat ini. Kematian orang-orang yang kita cintai, memang amat menyakitkan. Tapi membalas dendam pada orang yang tak bersalah secara membabi buta dan tanpa periksa lebih dulu, adalah perbuatan tolol sekaligus tak terpuji. Aku tahu pasti, siapa mereka berdua. Sebab, beberapa kali aku melihat sepak terjang mereka. Tak mungkin keduanya berbuat demikian. Lagi pula dengan melihat dari korban-korban yang jatuh, dugaanku semakin kuat kalau itu bukan perbuatan Pendekar Rajawali Sakti maupun Kipas Maut!" jelas orang tua itu panjang lebar, ketika melihat ada beberapa orang yang masih belum percaya.
"Oh, jadi, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu?!" tanya Singo Warok dengan wajah penuh penyesalan setelah mendengar keterangan Ki Wikalpa.
"Demikianlah orang-orang memanggilku...," sahut Rangga datar.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, maafkan kesalahan dan kekasaranku. Kami sama sekali tak menduga kalau kalian adalah pendekar besar itu. Kematian guru kami membuat kami gelap mata dan tak bisa membedakan orang. Sekali lagi maafkan kesalahan kami" ucap Singo Warok dengan tubuh menjuru hormat.
"Sudahlah. Kisanak. Kita memang salah paham. Dan semua itu sejak tadi telah kusadari. Hm..., Apakah yang sebenarnya terjadi di tampat ini?" desak Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis tersungging dibibirnya.
"Kemarin dalam satu hari saja, banyak kejadian yang menggemparkan. Guruku Ki Slongor Geni kedapatan tewas. Lalu, murid-murid Perguruan Tombak Baja dibantai habis. Padahal banyak orang desa ini pernah menjadi murid perguruan itu. Maka pasti mereka merasa geram dan dendam. Kabarnya yang melakukan perbuatan itu adalah sepasang anak muda seperti kalian. Itulah sebabnya ketika kalian tiba, kami menduga kalau pengacau itu adalah kalian," jelas Singo Warok singkat.
Rangga dan Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Sementara orang-orang yang tadi mengerubungi mereka, satu persatu bubar dengan wajah penuh penyesalan. Kini tinggal Singo Warok dan tiga orang anak buahnya. Ki Wikalpa kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti. Atas nama mereka, aku mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya padamu," ucap Ki Wikalpa.
"Ki Wikalpa, aku menyadari kesalahpahaman ini. Tak perlulah kau meminta maaf," sahut Rangga halus.
"Ah! Kelapangan hatimu memang sering kudengar. Dan ternyata, hari ini aku diperkenalkan untuk melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, sudilah kalian memenuhi undanganku untuk mampir di gubukku. Sekedar istirahat, sambil melepaskan dahaga. Bukankah kalian telah melakukan perjalanan jauh?" ajak Ki Wikalpa dengan nada hormat.
Mendengar permintaan itu Rangga tak bisa menolak lagi. Kelihatannya orang tua itu memang baik dan sopan. Namun ketika mereka hendak melangkah meninggalkan tempat itu, mendadak....
"Kisanak, tunggu!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat Ki Wikalpa, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menoleh. Begitu juga Singo Warok beserta tiga orang anak buahnya. Tampak seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus baju lusuh yang di beberapa bagian terlihat robek. Wajahnya keras, namun bersih dan tampan. Sorot matanya tajam menusuk. Di pinggangnya tampak terselip dua buah tongkat runcing yang terbuat dari batu gunung. Sementara di sampingnya, seorang gadis cantik berambut panjang, diikat agak ke atas dengan pita merah. Bibirnya tipis dan raut wajahnya menunjukkan kalau gadis itu amat galak. Bajunya berwarna ungu dan agak longgar, serta terlihat sebatang pedang dipungunggnya.
"Kamikah yang kau panggil, Kisanak?" tanya Ki Wikalpa dengan nada ramah sambil tersenyum.
Kedua orang muda yang baru datang itu tak peduli dengan pertanyaan Ki Wikalpa.
"Siapa di antara kalian yang bernama Wikalpa?" tanya pemuda itu dengan sikap sombong.
"Hm... Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan datang. Kisanak! Kau tengah berbicara dengan orangnya!" sahut Ki Wikalpa seperti telah menduga, siapa kedua orang itu.
"Bagus! Kau tentu memang sudah tahu maksud kedatanganku. Sebagian besar kawanmu telah mampus. Dan kau akan mendapat gilirannya saat ini!" sahut pemuda itu dingin.
"Ki Wikalpa! Inikah orang yang telah membunuh guruku?!" tanya Singo Warok berang.
Ki Wikalpa mengangguk. Maka seketika itu juga bola mata Singo Warok kelihatan membesar. Rahangnya menggelombung dan urat-urat di pelipisnya menegang. Dengan serentak dicabutnya golok, yang diikuti ketiga anak buahnya.
"Keparat! Jadi kalian pembunuh biadab itu, he?! Kalian membunuh guruku! Kalian yang menghabisi nyawa murid-murid Perguruan Tombak Baja! Kalian harus mampus! Hiyaaa...!"
"Singo Warok, hentikan...!" bentak Ki Wikalpa mencegah.
Tapi Singo Warok sudah tidak mendengar teriakan Ki Wikalpa dalam kemarahan yang meluap-luap seperti itu. Dendam di dadanya sudah menyala-nyala. Dan rasa malu akibat mendakwa orang yang salah tadi, kini membuatnya semakin geram saja ketika ketemu orang yang sebenarnya memang tengah dicarinya. Teriakan Singo Warok yang mengguntur bagai geledek, rupanya menarik perhatian kerumunan orang yang tadi berkumpul. Mereka mulai berdatangan satu persatu.
"Habisi iblis-iblis biadab itu!"
"Cincang diaaa...!"
Orang-orang yang sudah berkerumun itu langsung berteriak memaki serta mengutuk kedua anak muda yang baru datang ini.
"Hentikan! Hentikan! Kalian hanya mengantarkan nyawa percuma saja!" teriak Ki Wikalpa berkali-kali mengingatkan orang-orang yang mulai mengikuti tindakan Singo Warok. Mereka memang hendak menggeroyok kedua orang itu beramai-ramai.
Namun, tak seorang pun yang mau mendengar kata-kata Ki Wikalpa. Mereka kini telah menemukan pembunuh orang yang mereka cintai. Dan sakit hati, serta dendam kesumat yang masih menyala-nyala di setiap dada harus dilampiaskan, tanpa sama sekali memperhitungkan akibatnya. Dalam benak mereka hanya ada satu keinginan yang harus terjadi, yaitu kematian para pembunuh itu. Tapi nyatanya itu bukanlah semudah apa yang diduga. Karena tiba-tiba saja...
Jdeeer!
"Aaaa...!!"
Crat! Crat! Werrr...!
"Wuaaa...!
Pengeroyok itu seketika buyar, begitu terdengar suara keras laksana geledek, diikuti teriakan kesakitan. Tampak lebih dan sepuluh orang langsung ambruk ke bumi dalam keadaan mati! Memang, begitu terlihat beberapa kali kilatan api yang berputar menyambar, para pengeroyok hangus. Sementara beberapa orang lagi tewas dalam keadaan tubuh kaku dan membeku. Bahkan tak ada darah yang menetes. Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan Ki Wakalpa.
"Bocah-bocah terkutuk! Hentikan perbuatan biadab kalian. Hiyaaa...!" Maka tubuhnya langsung melesat ke arah kedua anak muda itu sambil orang tua ini menghantamkan satu pukulan jarak jauh.
Namun pemuda yang menjadi sasarannya tak kalah sigap. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke arah orang tua itu. Dan Ki Wikalpa sama sekali tak diberi kesempatan oleh kedua anak muda itu. Dengan gerakan kompak dan saling mengisi, mereka terus mendesak orang tua bertubuh kecil itu. Mereka terus mengumbar serangan maut, setelah kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya menepi. Nyali para pengeroyok memang telah ciut, ketika melihat datangnya lidah api yang berasal dari sepasang tongkat di tangan pemuda yang mereka keroyok tadi. Memang, begitu tongkat-tongkat diadu satu sama lain, maka seketika melesat lidah api ke arah sasaran.
Sementara gadis berbaju ungu yang tadi bersamanya, telah mencabut pedangnya dan berputar beberapa kali, seperti hendak menggulung tubuh Ki Wikalpa. Orang tua bertubuh kecil itu menyadari pedang di tangan si gadis itu bukanlah pedang sembarang. Maka dia harus hati-hati menghadapinya. Memang pedang itu seperti menabur hawa dingin yang amat menusuk pada setiap serangannya. Tak heran lawan yang terkena sabetan pedangnya akan tewas dalam keadaan tubuh membeku.
"Kakang! Aku khawatir orang tua itu tak mampu menghadapi lawannya. Mereka hebat dan sangat kompak...," keluh Pandan Wangi sambil memperhatikan pertarungan itu.
"Ya. Aku pun menyadari. Tapi kita belum tahu, sampai di mana kehebatan orang tua itu," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah Kakang tak turun tangan membantunya?" tanya Pandan Wangi.
"Apakah orang tua itu betul-betul membutuhkan bantuan kita?" sahut Rangga balik bertanya.
Mendengar itu Pandan Wangi tak bertanya lagi. Memang secara tak langsung, dibenarkannya ucapan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Buktinya, orang tua itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi lawan. Tapi ternyata hal itu tak lama. Karena, kini terlihat Ki Wikalpa sudah meloloskan pedang tipisnya yang sejak tadi melilit di pinggang.
"Hiyaaa!"
Klap! Klap!
Di tangan orang tua ini pedang yang tipis dan terlihat lemah itu berubah tegang dan kaku laksana tombak baja. Bahkan ketika menangkis senjata lawan, terdengar bunyi berdenting seperti halnya pedang yang kuat. Malah dalam sekejap mata, pedang di tangan Ki Wikalpa kembali mampu lentur laksana ular yang meliuk-liuk menyambar lawan.
"Huh! Ilmu pedangmu memang hebat, orang tua! Tapi sayang, kematianmu telah digariskan hari ini!" dengus gadis berbaju ungu itu geram.
"Hm. Begitukah?" sahut Ki Wikalpa.
Tapi agaknya ucapan gadis itu bukan sekedar gertakan dan omong kosong belaka. Bahkan Ki Wikalpa sampai tersentak kaget, ketika menangkis dua senjata lawan sekaligus. Tubuhnya kontan bergetar hebat, akibat terkena dua tenaga dalam berlainan jenis yang sangat kuat.
Ketika tubuh Ki Wikalpa terhuyung-huyung mundur, saat itu juga ujung pedang gadis ini menyambar ke arah dadanya. Untungnya orang tua bertubuh kecil itu masih mampu menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata serangan kedua ujung tongkat pemuda lawannya telah menanti. Bahkan mengancam leher dan jantungnya! Dengan terpaksa pedang dikibaskan untuk menangkis.
Tak!
Pedang tipis di tangan Ki Wikalpa kontan terpental begitu membentur tongkat di tangan pemuda itu, sehingga menimbulkan bunyi keras seperti geledek. Sedangkan orang tua itu langsung melenting ringan untuk menyelamatkan diri dari sambaran ujung tongkat yang satu lagi. Justru pada saat itu ujung kaki kanan pemuda itu sudah bergerak cepat ke arah perulnya. Dan...
Desss!
"Aaakh.,.!" Ki Wikalpa menjerit kesakitan, begitu kaki pemuda itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.
Dan di situ, juga telah menunggu gadis berbaju ungu yang siap menebas lehernya. Agaknya orang tua itu tak mampu menghindari lagi. Ki Wikalpa hanya terkesima melihat maut akan menghampirinya. Namun mendadak saat itu melesat satu sosok bayangan biru langsung menangkis pedang gadis berbaju ungu itu.
Takkk!
"Sial!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
112. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Datuk Geni
AksiSerial ke 112. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.