BAGIAN 4

329 19 0
                                    

Pada saat yang gawat bagi Purwasih, Eyang Kumala berteriak keras sambil melompat cepat bagai kilat meninggalkan lawannya. Langsung dihadangnya serangan Kaniawati.
Plak!
Dua benturan kontan terjadi, begitu tangan Eyang Kumala menghantam tangan Kaniawati. Tapi Eyang Kumala yang sudah terluka dalam akibat terkena tendangan tadi, tentu saja tenaganya jadi kalah jauh. Maka tubuhnya jadi terjajar beberapa langkah. Untung saja tangan yang satunya tadi sempat mendorong tubuh Purwasih tadi. Dan Eyang Kumala sendiri, kini hanya berdiri limbung dengan sorot mata tajam ke arah Mintarja.
Sementara itu Mintarja tidak membiarkan Eyang Kumala begitu saja. Tubuhnya langsung melesat, mengirim satu tendangan keras ke arah dada.
Diagh!
"Aaakh...!"
Diiringi pekik kesakitan tubuh Eyang Kumala terjajar ke depan. Namun dia kembali harus menerima hajaran Kaniawati yang telah menunggu kesal, karena serangan tadi digagalkan. Maka tak heran kalau kembali terdengar jerit kesakitan. Dari mulut itu menyembur darah. Tubuhnya yang limbung menahan rasa sakit, dihadapkan ke arah Purwasih yang hanya terbengong-bengong. Kemudian tangannya mengibas-ngibas menyuruh muridnya pergi.
"Purwasih, pergi! Pergi dari sini, cepaaat...!"
Gadis itu jadi bingung. Dia bermaksud akan menghampiri, namun gurunya itu malah menyuruh pergi. Purwasih jadi bimbang. Tapi sebagai murid, dia harus membela nama baik gurunya. Dan dia bertekad tak akan meninggalkan tempat itu, dan harus menolong guninya. Tapi...
"Purwasih, cepat pergi.... Aaakh....!" Kata-kata perempuan tua itu terputus, Mintarja telah lebih dulu kembali menghantam leher dengan kecepatan dahsyat.
"Purwasih, cepat pergi.. Aaakh!"
"Eyaaang...?!"
Tubuh Eyang Kumala terjajar kembali dengan keadaan sempoyongan. Darah semakin banyak ke luar dari mulutnya. Sementara dari arah belakang, Kaniawati kembali meluruk melepaskan tendangan dahsyat ke arah punggung perempuan tua yang telah terhuyung-huyung itu. Akibatnya, Eyang Kumala terjungkal dan ambruk di tanah sambil menyemburkan darah kental. Dia berusaha bangkit namun Mintarja tanpa ada rasa kasihan langsung menghantamkan telapak kakinya ke leher Eyang Kumala.
Krek!
"Aaa...!"
Perempuan tua itu menjerit tertahan begitu kaki Mintarja mendarat di lehernya hingga patah. Maka nyawa Eyang Kumala lepas dari raga saat itu juga.
"Jahanam! Terkutuk! Kalian harus bayar nyawa guruku! Hiyaaat..!"
Purwasih yang telah kalap langsung menyerang kedua orang itu. Tidak lagi dipedulikan kemampuannya yang terbatas.
"Yeaaa...!"
Sementara Kaniawati tak kalah sigap. Langsung dilemparkannya sesuatu ke arah Purwasih.
"Aaakh!"
Beberapa buah senjata rahasia yang dilemparkan Kaniawati, hanya satu yang berhasil menancap di punggung kanan Purwasih. Tapi itu cukup membuat Purwasih mengeluh kesakitan, dan langsung ambruk di tanah. Pingsan.
"Dia bisa membahayakan kita kelak," tanya Mintarja, sambil memperhatikan keadaan gadis yang telah terbaring di tanah.
"Kenapa? Apakah Kakang mulai takut? Siapa di jagad ini yang mampu menghalangi kita berdua? Dia boleh menuntut balas pada kita dengan bantuan siapa pun. Tapi orang itu akan mampus di tangan kita!" tegas Kaniawati.
"Ya, Kau benar..." balas Mintarja sambil mengangguk kecil.
"Nah, kalau demikian, mari kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan tentang gadis itu,"
"Baiklah. Mari..."
Keduanya segera melesat cepat dari tempat itu, disertai ilmu meringankan tubuh yang tinggi, sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap dari situ, meninggalkan mayat Eyang Kumala yang terbujur kaku tak bergerak lagi, dan Purwasih yang tergolek pingsan.

***

Dua sosok tubuh tampak tengah berjalan tenang melintasi pinggiran hutan kecil. Yang seorang adalah laki-laki tua bertubuh kurus. Jenggot dan kumisnya telah memutih. Rambut yang kepalanya juga telah putih tampak tergerai dengan gelungan di atasnya yang diikat pita hitam. Di pinggangnya terselip pedang besar dengan warangka berukir indah.
Sementara di sampingnya, adalah seorang gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat. Rambutnya yang panjang diikat pita hijau, sama seperti warna bajunya. Di pinggang kirinya, terlihat sebatang pedang kecil yang amat pas dengan pinggangnya yang ramping.
Jalan dilalui memang agak lebar, dan biasa dilintasi orang. Sehingga, tak heran, kalau mereka sejak tadi sering berpapasan dengan orang lain. Namun ketika saat ini menjelang sore, suasana mulai sepi.
Saat itulah mendadak dari arah kanan terlihat seorang sempoyongan berjalan mendekati jalan itu. Tangannya menggapai-gapai, kemudian langsung tersungkur di tanah. Kalau melihat ciri-cirinya orang itu jelas Purwasih.
Memang setelah siuman dari pingsannya, dengan berat hati Purwasih meninggalkan mayat gurunya. Dia terus berjalan tak tentu arah, mencari pertolongan. Yang jelas, dalam tubuhnya seperti mengalir sesuatu yang membuatnya terus menderita.
"Heh?!" Orang tua itu terkejut dan melangkah lebar ke arah sosok yang baru saja tersungkur.
"Eyang! Jangan-jangan itu Purwasih!" desis gadis berbaju hijau itu buru-buru mengikuti langkah orang tua itu.
"Purwasih...! Oh! Bangun, Dik! Bangun! Apa yang telah terjadi padamu?!" teriak gadis berbaju hijau itu cemas.
"Tenanglah, Ratih. Biar Eyang akan memeriksanya...," ujar orang tua itu pelahan. Seketika diperiksanya sekujur tubuh Purwasih. Dan seketika wajah orang tua itu pucat.
"Celaka! Dia terkena racun ulat salju!" desis orang tua itu kaget.
"Racun ulat salju? Apa itu, Eyang? Berbahayakah?! Eyang, bagaimana keadaan adikku?!" tanya gadis berbaju hijau yang dipanggil Ratih. Dia tampak bingung.
"Purwasih kelihatannya terluka dalam dan lemah sekali. Sehingga racun ulat salju itu bekerja lebih cepat. Denyut nadinya lemah sekali. Aku tak tahu, apakah dia bisa tertolong," desah laki-laki tua itu.
"Eyang...?! Oh, tidak! Tidaaak! Adikku harus hidup! Adikku harus hidup...!" teriak Ratih memelas, sambil mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri.
"Ratih, jangan! Kau hanya menambah cepat kematiannya saja!" cegah orang tua itu.
"Eyang, berbuatlah sesuatu! Jangan biarkan adikku mati ...!" jerit Ratih memilukan.
"Kisanak, apa yang terjadi? Dan siapakah orang yang tengah kalian hadapi itu?"
Tiba-tiba terdengar sapaan dari belakang, yang membuat kedua orang tua itu cepat berpaling. Tampaklah sepasang anak muda tengah duduk diatas punggung kuda masing-masing. Yang menunggang kuda hitam adalah seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai kain putih seperti warna rompinya. Di punggungnya tersandang sebatang pedang berhulu kepala burung. Sedangkan yang menunggang kuda putih di sebelahnya, adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebuah kipas dari baja putih tampak terselip di pinggang, sedangkan sebilah pedang bergagang kepala naga tampak menyembul dari balik punggungnya.
"Siapakah kalian?" tanya orang tua itu dengan wajah curiga.
Sepasang anak muda kemudian turun dari kuda masing-masing. Lalu mereka menyapa memberi hormat, yang dibalas oleh orang tua itu dengan menyapa pula.
"Kisanak, aku Rangga. Dan temanku, Pandan Wangi. Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Adakah sesuatu yang bisa kami bantu?" kata pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu diam saja ketika Rangga membungkuk, hendak memeriksa gadis yang tergeletak di pangkuan gadis berbaju hijau. Rangga tersentak dan buru-buru meraba nadinya.
"Lemah sekali! Tapi masih ada harapan!" desah Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa?! Kisanak! Bisakah kau menolongnya? Oh, tolonglah adikku! Aku mohon, tolong selamatkan adikku!" teriak Ratih dengan wajah memohon.
"Nisanak, tenanglah dulu. Aku akan berusaha semampuku. Nah! Baringkanlah dia di situ. Biar aku coba mengeluarkan racun yang mengendap di tubuhnya," ujar Rangga tenang.
Ratih segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga. Sementara Pandan Wangi ikut membantu memegangi gadis yang pingsan itu. Dan kini mereka menunggu dengan harapan yang cemas terlebih-lebih, gadis berbaju hijau. Tampak pemuda berbaju rompi putih ini membalikkan tubuh adiknya, sehingga berada dalam keadaan miring. Sementara Rangga duduk bersila dengan sikap tenang. Telapak tangan kanan Rangga lalu ditempelkan ke punggung kanan gadis itu sesaat.
"Tolong pegang dia, sehingga bisa duduk bersila membelakangiku," ujar Rangga pelan, kepada gadis berbaju hijau.
Pandan Wangi cepat membantu kembali dengan memegangi sisi yang lain. Dengan demikian, agak lebih mudah bagi Rangga untuk menyalurkan hawa murninya. Dan yang lebih penting lagi, dia bisa menarik racun yang berada di tubuh gadis itu ke arah yang paling mudah, yaitu melalui lubang mulut. Sudah lumayan lama Rangga mengobati, namun belum terlihat tanda-tanda kalau gadis itu akan sadar. Bahkan wajah Rangga tampak berkerut beberapa kali. Keningnya mulai basah bersimbah keringat.
"Hoeeekh...!"
Tiba-tiba gadis bernama Purwasih itu menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya. Beberapa kali hal itu terjadi, sehingga lama kelamaan darah yang dimuntahkannya tampak mulai cair dan berwarna kemerahan. Dan kalau sudah begini, barulah Rangga menghentikan pengobatannya. Telapak tangannya segera ditarik dengan napas memburu dan wajah pucat akibat keletihan karena telah mengeluarkan tenaga cukup banyak.
"Baringkanlah dia kembali. Dan..," Rangga tak melanjutkan ucapannya, tapi malah melirik orang tua itu.
Sementara Ratih langsung membaringkan tubuh Purwasih pelahan-lahan.
"Biar kuteruskan, anak muda. Beristirahatlah dulu untuk memulihkan tenagamu," sahut orang tua itu, seraya mendekati Purwasih yang terbaring belum sadarkan diri.
Rupanya, orang tua itu menangkap maksud lirikan Pendekar Rajawali Sakti. Seperti yang dilakukan Rangga tadi, orang tua itu duduk bersila dan telapak tangannya menempel ke perut gadis itu untuk menyalurkan hawa murninya. Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri, dan melangkah pelahan menuju sebuah pohon rindang. Dan Pandan Wangi mendekatinya. Selama orang tua itu melanjutkan mengobati Purwasih, Rangga duduk bersila, untuk mengatur pernapasan dari jalan darahnya. Beberapa saat kemudian badannya lebih segar, namun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.
"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan Wangi yang tadi begitu khawatir melihat perubahan yang terjadi pada pemuda itu. Pemuda itu menggeleng lemah sambil tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran gadis itu. "Mari kita lihat mereka," ajak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit, dan kembali melangkah menuju kedua orang tadi. "Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga halus, ketika melihat orang tua itu telah duduk di dekat gadis berbaju hijau yang tengah mengelus-elus Purwasih yang masih tak sadarkan diri.
"Dia sudah lebih baik. Nadinya berdenyut kencang, serta aliran darahnya telah lancar. Terima kasih, Kisanak. Kau telah menyelamatkannya. Jarang ada orang yang mampu berbuat demikian. Bahkan aku sendiri sudah angkat tangan, sebelum kalian tiba. 'Racun Ulat Salju' bukan senjata sembarangan. Hanya mereka yang memiliki tenaga dalam sangat sempurna yang mampu menyedot racun itu. Kalau boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Tapi melihat ciri-cirimu..., rasanya aku pernah mendengar seorang tokoh yang digdaya..." desah orang tua itu dengan sikap hormat.
"Aku Rangga. Dan temanku Pandan Wangi."
"Hm... ya! Aku ingat. Kau pasti yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan temanmu itu pasti si Kipas Maut! Benarkah itu?!" kata orang tua itu gembira.
"Begitulah orang-orang menjuluki kami, Ki" kata Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri.
"Perkenalkanlah si tua bangka ini. Aku Ki Leor! Dan ini murid tunggalku, Ratih Kumaladewi!"
"Ah... Tak kusangka aku bertemu seorang Pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti," kata orang tua yang mengaku bernama Ki Leor gembira.
"Ki Leor..., Aku hanya orang biasa. Dan kalau gadis itu sembuh bukan karena aku. Melainkan Hyang Jagat Dewa Bataralah yang menyembuhkan. Aku hanya sebagai perantara saja. Oh, ya kalau boleh kutahu, siapakah gadis ini? Dan, apa hubungannya dengan kalian?" kata Rangga.
"Dia Purwasih. Adik bungsu Ratih Kumaladewi," jelas Ki Leor, seraya menatap Purwasih dan Ratih bergantian. Rangga mengangguk.
"Lalu apa yang menyebabkan sampai menderita begini?" tanya Rangga lagi.
"Itulah yang tak kumengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Dia terkena 'Racun Ulat Salju'! Sedangkan satu-satunya orang yang mempunyai senjata rahasia itu adalah Nyi Lengser, yang berdiam di puncak Gunung Rinjani. Aku tak tahu bagaimana mungkin dia bentrok dengan Purwasih. Tapi jangan-jangan..." Ki Leor menghentikan kata-katanya tiba-tiba.
"Kenapa, Ki Leor?" tanya Rangga.
"Ah! Ini barangkali ada kaitannya dengan peristiwa dua puluh tahun yang lalu.. " sahut orang tua itu lesu.
"Maksudmu?"
Ki Leor pun kemudian menceritakan tentang kejadian dua puluh tahun yang silam, ketika dia dan beberapa tokoh persilatan berhasil menewaskan dua tokoh sesat yang sering mengacau dengan sepak terjangnya yang menggiriskan. Kemudian setelah itu, ada tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh sesat yang mereka binasakan itu.
Rangga mengangguk-angguk berusaha memahami seluruh penuturan Ki Leor.
"Kalau saja Purwasih telah sadar, mungkin akan bisa menjelaskan...," lirih suara Ki Leor.
"Eyang, dia mulai sadar...!" teriak Ratih dengan wajah girang ketika melihat Purwasih mulai siuman.
Pandan Wangi cepat beringsut, dan melangkah menuju ke kudanya. Lalu diambilnya kantung air yang ada di pelana. Dengan agak terburu-buru, kakinya melangkah menuju ke arah Purwasih. Dan segera di minumkannya air itu ke mulut Purwasih.
"Ohhh..."
"Purwasih...!" Ratih memanggil nama adiknya dengan wajah gembira.
"Ohhh...! Di manakah aku ini...?" desah Purwasih.
"Purwasih, aku kakakmu...!" seru gadis berbaju hijau itu sambil menyandarkan adiknya.
"Kak Ratih..., Eyang Kumala telah tewas..."
"Apa?!" Ratih dan Ki Leor tersentak kaget, mendengar ucapan gadis itu.
Dengan suara lirih dan sesekali terisak, Purwasih menceritakan apa yang telah terjadi terhadap gurunya dan dia sendiri. Ratih Kumaladewi tertegun. Sementara Ki Leor terdiam beberapa saat lamanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi menduga kalau guru Purwasih, paling tidak punya hubungan dengan kedua orang itu.
"Guru Purwasih adik seperguruanku. Sekaligus, adik kandungku..." lirih suara Ki Leor ketika menjelaskan hal itu pada Rangga dan Pandan Wangi.
Rangga dan Pandan Wangi dapat merasakan kesedihan Ki Leor. Agaknya hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai kakek kedua gadis itu. Jadi dengan demikian, Eyang Kumala adalah terhitung nenek mereka sendiri. Tak heran bila kemudian Ratih Kumaladewi menggeram dan berniat akan menuntut balas atas neneknya.
"Ratih! Kau harus bisa menahan amarahmu. Mereka bukan tandinganmu. Salah satu di antara kedua orang itu pasti murid Nyi Lengser. Dan perempuan tua itu memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri tak ada apa-apa bila dibandingkan dengannya...," sahut Ki Leor. "Tapi kita tak bisa mendiamkan kematian Eyang Kumala begitu saja, Eyang!" sentak gadis itu garang.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, tak banyak yang bisa kita kerjakan...," keluh Ki Leor.
"Tidak! Aku akan cari mereka, dan harus mati di tanganku!" sentak Ratih sambil bangkit berdiri.
Namun sebelum mereka melangkah, Ki Leor menangkap pergelangan tangan Ratih. Tapi, Ratih Kumaladewi agaknya keras kepala.
"Sabarlah, Ratih," bujuk Ki Leor.
Tanpa menjawab, dia melepaskan diri sekuat tenaga. Maka terpaksa Ki Leor bertindak cepat. Menggerakkan tangannya dan...
Tuk!
"Uh...!"
Ratih kontan jatuh lemas, begitu punggungnya tertotok jari Ki Leor.
"Maafkan aku, cucuku. Tak ada jalan lain yang bisa kulakukan. Kau tak tahu bahwa tindakanmu sama saja bunuh diri. Kita harus memikirkan cara yang terbaik," kata Ki Leor. Kemudian, Ki Leor segera memanggul tubuh kedua cucunya.
"Aku mengucapkan terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Dan sekarang aku mohon diri," ucap Ki Leor.
Setelah berpamitan dengan Rangga dan Pandan Wangi, orang tua itu berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Dia berjalan melalui arah yang ditempuhnya tadi.
"Kasihan mereka...," gumam Pandan Wangi menghela napas, setelah Ki Leor dan kedua cucunya telah lenyap dari pandangan.
Memang, Ki Leor berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Tak heran kalu sebentar saja, mereka telah jauh dari sepasang Pendekar dari Karang Setra itu.

***

112. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Datuk GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang