8. Sore Harinya

123 11 16
                                    

Hope you like it!

ㅡㅡㅡ=<>=ㅡㅡㅡ


Masih di hari yang sama, namun berlatarkan sore hari.

Keluarga kecil itu sedang berkumpul di teras rumah, membahas topik yang ringan sambil meminum teh buatan Bunda Harun.

Ini sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari libur.

"Der, ada keperluan yang kurang gak buat besok?" Tanya sang kepala keluarga pada anak bungsunya yang sibuk bermain game di ponsel.

"Nggak." Jawab anak itu singkat tanpa menoleh sedikit pun.

Ya.. soalnya tinggal beberapa tembakan lagi dia akan memenangkan game. Jadi dia harus betul-betul fokus membidik lawannya.




Plak!

"WOI!"

Brak!

Derren terkejut setengah mati. Bahkan ia reflek melempar ponselnya. 1 detik kemudian hawa panas dan pedis mulai menjalar di sekitar pahanya.

Bintang sialan.

Tanpa pikir panjang ia langsung menampar balik paha kakaknya itu dengan kekuatan yang sebanding, membuat Bintang pun ikut merasakan pedisnya.

"Lo apa-apaan tiba-tiba mukul gue ha?!" Marah Derren.

"Dih, marah? Dimana sopan santun lo? Ayah ngajak ngomong, malah sibuk sendiri."

"Yaa setidaknya gue masih respon lah! Liat nih!" Derren mengambil ponselnya, "Jadi kalah kan gara-gara lo!" Ia mendengus kesal.

"Durhaka lo,"

"Bacot! Lagian ayah juga gak mempermasalahkan itu, iya kan Yah?"

Kemudian dua bersaudara itu kompak menatap sang ayah yang hanya merespon dengan kekehan. Merasa lucu melihat tingkah anaknya.

Bintang mendekatkan wajahnya ke telinga Derren lalu berbisik, "Lo hati-hati aja. Walau kelihatannya ayah haha-hehe doang, siapa tau dalam hatinya dia diam-diam menyusun rencana buat nikam lo,"

Derren melotot, "Ayah! Hantam nih anak pertamanya! Masa dia bilang ayah diam-diam mau nikam orang!" Adu anak itu sambil menunjuk Bintang.

"Iyuh! Tukang ngadu lo! Kek cewek!" Kesal si anak sulung.

"Iyih! Tiking ngidi li, kik ciwik. Suka-suka gue lah!"

"Dih! Siki-siki gii lih, gue tampol lagi mampus lo"

"Enyenyenye, gii timpil ligi mimpis li, gue tangkis! Susah amat."

"Udah deh, kalian ini ngomong bahasa apa sih," celetuk bunda, "Cipik kiping bindi dingirnyi."

Ayah terkekeh lagi.

Ia merasa sangat bersyukur memiliki keluarga yang tetap hangat hingga saat ini. Ingin sekali rasanya menghabiskan waktu setiap hari bersama anak-anak dan istrinya, namun sayang sekali pekerjaan itu mengharuskannya sering-sering keluar kota. Jadi ia tak punya banyak waktu dengan keluarga.



"Eh Bun! Mesra amat!" Seruan bunda Harun itu menyita perhatian semuanya, tak terkecuali yang disapa.

Ketiga lelaki itu menoleh serempak pada oknum yang disapa bunda. Ternyata ada bunda dan ayahnya Shiren yang kebetulan lewat di depan rumah.

Erin - bundanya Shiren - langsung tersenyum saat melihat keluarga kecil yang berkumpul di teras itu. Kemudian ia bersama Devan - ayahnya Shiren - pun memutuskan untuk mampir.

Tetangga DoangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang