Kenangan Kelam

34.1K 2.3K 166
                                    

Ketika telah sampai di rumah, Davin menyambut hangat kepulanganku. Bocah itu seperti punya intuisi bahwa akan berpisah denganku. Dia segera bergelanjut manja di lengan.
Lalu tampak pula Mami yang tengah menyuapi si bungsu. Tak kugubris wanita tua itu. Kaki ini lekas melangkah ke kamar pribadi dan segera mengemasi barang-barang.

Anak-anak ikut menyusul ke kamar. Melihat aku tengah berkemas, Davin pun mengajukan pertanyaan. Walau berat hati, tetapi aku terpaksa menyampaikan hal yang sesungguhnya. Bahwa aku akan pergi bersama Abella meninggalkan dia di sini.

Bocah laki-laki yang kini genap berusia sembilan tahun itu, terbungkam mendengar penuturan pelanku. Sang adik pun diam tidak berkomentar apa-apa.

"Davin baik-baik tinggal bareng Ayah, ya. Nurut ama omongannya."

Aku memberi nasihat sembari mengelus pelan rambut tebalnya. Bocah itu terdiam saja. Namun, tak lama berselang meledaklah tangisnya. Sungguh seketika hatiku hancur melihat itu.

"Bunda jahat! Bunda gak sayang Davin! Kenapa cuma Abell yang diajak?" Mata anak itu nyalang menatapku disertai butiran bening yang terus saja luruh membasahi pipi bersihnya.

"Davin dengerin Bunda dulu! Bunda akan tinggal di tempat Kakek, tapi nanti sering ke sini buat nengokin Davin," terangku lembut.

Anak itu menepis kasar tanganku yang hendak memeluknya.

"Bunda jahat!" teriak Davin menggelegar.

Lalu Davin berlari ke luar kamar dengan berang. Rasanya luka di hati ini terkoyak kembali melihat tingkah anak itu. Terasa perih dan juga lara. Air mata pun kembali membanjiri pipi tirusku.

"Aya!"

Mami masuk ke kamar dengan muka yang bersalah. Tak mau terlihat lemah, lekas kuhapus air mata ini dan kembali mengemasi barang.

Aktivitas mengemasi barang terhenti, saat tangan Mami memegang lenganku. Lalu tak disangka pula, wanita itu menggelosor dan bersimpuh di kaki ini.

Mami menangis tersedu. Kemudian dengan terbata-bata, dia meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Tersenyum kecut aku mendengarnya. Terlambat!

Pelan, kubimbing Mami berdiri.

"Tidak ada yang perlu disesali! Semua sudah terjadi. Dan seperti inilah hasilnya. Aya sudah bukan menantu Mami lagi, dan secepatnya harus hengkang dari rumah ini."

Agar terlihat kuat, kubuat setegar mungkin saat berucap. Walaupun sebenarnya, hati ini sungguh berat harus berpisah dengan semua orang yang terkasih. Terutama dengan Davin.

Merasa sudah siap, kutarik lengan Abella ke luar dari kamar itu sembari menggeret koper besar berisi pakaian kami. Setelah sebelumnya, kusuruh Abella untuk mencium tangan sang nenek.

"Aya, jangan pergi, Nak! Kasihan Davin!"

Teriakan Mami tak menyurutkan langkah untuk hengkang dari rumah itu. Lalu pada saat sudah sampai pintu depan, aku berpapasan dengan Mas Ferdi yang baru tiba. Kembali ia memasang muka memelas. Cih! Tak mau tertipu lagi kubuang muka.

"Aku antar," tawarnya lirih.

"Tidak perlu!"

Segera kutarik lengan Abella menjauh. Ketika hendak masuk taksi pesanan yang telah datang, Davin menghambur dalam pelukan.

"Bunda, Davin ikut!"

Anak itu terus saja merengek dan menangis. Hati ibu mana yang tak teriris melihat anaknya histeris meminta turut serta. Namun, inilah keputusannya. Aku harus pergi bersama Abella dan meninggalkan Davin yang harus tinggal bersama Mas Ferdi. Bergegas aku menyuruh Pak sopir untuk segera melajukan kendaraan begitu masuk taksi.

Pasca Cerai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang