BAGIAN 3

318 16 0
                                    

Jaka terpaku bengong, begitu melihat rumahnya sudah hancur jadi debu. Asap masih berkepul dari puing-puing rumahnya yang hitam bekas terbakar. Tak ada lagi yang tersisa sedikitpun juga. Bahkan dua ekor kerbau dan binatang peliharaannya yang lain sudah menggeletak jadi bangkai di sekitar puing-puing rumahnya yang hancur terbakar.
Begitu hanyak orang berkerumun disekitar rumah itu, tapi tak ada seorangpun yang mendekatinya. Apalagi menegurnya. Mereka seakan takut untuk mendekati pemuda ini. Sedangkan Jaka seperti tidak peduli. Dia melangkah menghampiri puing-puing rumahnya yang hangus bekas terbakar.
"Ohhh..." Tiba-tiba saja pandangannya jadi mengabur berkunang-kunang. Kepalanya terasa begitu berat, bagai dibebani sebongkah batu yang teramat besar dan berat. Langkahnyapun jadi gontai. Dia cepat-cepat menyandarkan punggungnya ke pohon yang sudah kering seluruh daunnya. Sebentar matanya terpejam, lalu perlahan terbuka lagi. Semua orang yang berada di sekitarnya hanya bisa memandangi dengan sorot mata yang begitu sukar untuk bisa diartikan.
"Jaka..."
"Oh...?!" Jaka tersentak kaget, begitu tiba-tiba mendengar suara memanggil namanya, disusul dengan tepukan halus dipundaknya. Cepat dia memalingkan mukanya, dan langsung berputar membungkukkan tubuhnya, begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih sudah berada didekatnya.
"Eyang Waskita...," desah Jaka perlahan menyebut nama orang tua itu.
"Kapan semua ini terjadi?" tanya Eyang Waskita dengan suara yang sedikit bergetar termakan usia.
"Aku tidak tahu, Eyang," sahut Jaka seraya menarik tubuhnya tegak kembali.
Dipandanginya laki-laki berusia lanjut yang mengenakan baju jubah putih panjang dan longgar ini. Dari kerut-kerut diwajahnya, mungkin usianya sudah mencapai lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi sorot matanya masih terlihat memancar tajam. Meskipun rambutnya sudah berwarna putih semua. Sepotong tongkat kayu berwarna hitam tergenggam di tangan kanan, menyangga tubuhnya yang sedikit bungkuk.
Semua orang di Desa Galagang ini tahu siapa Eyang Waskita. Seorang tua yang paling disegani dan ditakuti. Bukan hanya dia seorang guru besar pada padepokan yang ada disebelah selatan pinggiran Desa Galagang ini. Tapi juga dia bekas kepala desa, dan juga orang tertua di Desa Galagang. Bahkan pengaruhnya sampai melebihi dari kepala desa yang sekarang. Dari Eyang Waskita ini Jaka mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan, walaupun belum sampai pada tahap ilmu kedigdayaan. Tapi apa yang dimiliki sudah cukup untuk membela diri.
"Kau tahu siapa yang membakar rumahmu?" tanya Eyang Waskita lagi.
Jaka hanya menggeleng saja. Dipandanginya kedua bola mata laki-laki tua ini, yang juga menatapnya dengan sorot mata penuh selidik. Seakan dia tidak percaya kalau Jaka tidak tahu, kenapa rumahnya sampai bisa habis terbakar. Bahkan semua binatang peliharaannya ikut mati tak tersisa lagi.
"Semalaman aku tidak ada dirumah, Eyang," kata Jaka memberitahu tanpa diminta lagi.
"Hm, jadi kau benar-benar tidak tahu?" Jaka menggelengkan kepalanya.
"Ayo ikut aku," ajak Eyang Waskita.
"Kemana, Eyang?" tanya Jaka.
Tapi Eyang Waskita tidak menjawab. Dia sudah memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah agak terseret, dibantu tongkat kayunya. Jaka bergegas mengikuti dari belakang. Beberapa orang yang berkerumun, segera menyingkir memberi jalan. Mereka hanya bisa memandangi, tanpa membuka suara sedikitpun juga. Sementara Jaka terus melangkah mengikuti laki-laki tua ini. Dia juga tidak peduli dengan pandangan orang-orang disekitarnya.
Tapi didalam hatinya, terus bertanya-tanya dengan sikap mereka semua. Seakan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Sedangkan sikap Eyang Waskita sendiri membuat pemuda itu jadi bertanya-tanya di dalam hatinya. Dia tidak mengerti untuk apa Eyang Waskita mengajaknya pergi. Tapi Jaka tidak berani banyak bertanya. Dan dia terus saja mengikuti ayunan kaki orang tua yang sangat disegani dan merupakan gurunya ini.

***

Jaka duduk bersimpuh di beranda depan rumah Eyang Waskita. Kepalanya tertunduk merayapi tikar daun pandan yang sudah agak lusuh. Sedangkan didepannya, duduk Eyang Waskita yang terus memandanginya dengan sinar mata yang begitu sukar untuk bisa diartikan. Entah sudah berapa lama mereka duduk berhadapan, dan tidak berbicara sedikitpun juga.
"Jaka...," terdengar pelan sekali suara Eyang Waskita. Perlahan Jaka mengangkat kepalanya. Dan pandangannya langsung bertemu dengan pandangan mata laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersila juga didepannya ini. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Tampak Eyang Waskita menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Begitu halus sekali hembusan napasnya, hingga tidak terdengar sedikitpun di telinga pemuda didepannya ini.
"Sudah berapa lama kau menuntut ilmu disini," tanya Eyang Waskita dengan suara yang terdengar datar sekali.
"Sepuluh tahun," sahut Jaka agak heran mendengar pertanyaan orang tua itu.
"Kau masih ingat dengan nasihat-nasihatku?" Jaka hanya mengangguk saja.
"Rasanya sudah terlalu sering aku melarangmu mencari perkara. Dan aku lebih senang jika kau tidak menunjukkan kepandaianmu," kata Eyang Waskita terdengar terputus nada suaranya.
"Selama ini aku selalu mematuhi nasihatmu, Eyang," selak Jaka membela diri.
"Tapi kenapa sampai ada orang yang tega membakar rumahmu?"
Kali ini Jaka tidak bisa menjawab. Kembali dia tertunduk menekuri anyaman tikar yang menjadi alas duduknya. Memang selama sepuluh tahun dia menuntut ilmu dari Eyang Waskita, tidak pernah satu kalipun dia menunjukkan kepandaianya. Dan baru pagi tadi dia terpaksa dan hanya untuk membela diri.
"Kau habis bertarung?" tanya Eyang Waskita lagi.
Jaka tersentak kaget. Langsung dia menyadari kalau bahu kanannya masih terluka. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mengangguk membenarkan. Kemudian dia menceritakan semua peristiwanya tanpa diminta lagi. Sedangkan Eyang Waskita mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Sungguh, Eyang. Aku hanya membela diri saja. Mereka tiba-tiba saja menyerangku dengan curang," kata Jaka mencoba meyakinkan, setelah dia menceritakan seluruh pertarungannya.
"Kau tahu siapa Sutawijaya itu, Jaka?" tanya Eyang Waskita dengan suara yang terdengar begitu perlahan sekali. Seakan dia menyesali perselisihan muridnya ini dengan Sutawijaya.
Sedangkan Jaka hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia memang tidak begitu banyak mengetahui tentang diri Sutawijaya. Dan dia hanya tahu sedikit. Itupun diperoleh dari Sari. Dia hanya tahu Sutawijaya putra seorang saudagar kaya dan berpengaruh dari kota. Dan ayahnya memiliki hubungan luas dengan para pembesar kerajaan serta memiliki darah keturunan dari adipati. Hingga dia bisa bertindak sewenang-wenang. Bahkan segala tindakannya melebihi dari kekuasaan seorang adipati. Hanya itu saja yang diketahui Jaka tentan diri Sutawijaya. Dan selebihnya dia sama sekali tidak tahu.
"Terus terang, aku lebih senang kalau kau menghindar dan mengalah saja, Jaka. Dan jangan kau teruskan perselisihanmu dengan Sutawijaya," kata Eyang Waskita menasihatkan. Jaka hanya diam saja, tidak menjawab sedikitpun juga.
"Tanpa kau ceritakan, aku sudah tahu. Apa saja yang menjadi penyebab perselisihanmu dengan Sutawijaya," kata Eyang Waskita lagi.
"Eyang..."
"Tidak perlu kau jelaskan, Jaka," potong Eyang Waskita cepat. Jaka langsung terdiam tidak jadi meneruskan ucapannya. Dia hanya memandangi saja kedua bola mata tua didepannya ini.
"Aku percaya kau hanya membela diri saja. Tapi sebaiknya kau menghindar. Dan lebih baik lagi kalau untuk sementara waktu ini kau tinggalkan Desa Galagang," kata Eyang Waskita lagi.
"Kenapa aku harus pergi, Eyang?" tanya Jaka bernada tidak menerima saran gurunya ini.
"Demi keselamatanmu sendiri, Jaka. Juga untuk ketentraman desa ini," sahut Eyang Waskita lembut.
Jaka kembali terdiam. Entah apa yang ada didalam kepalanya sekarang ini. Sedangkan sorot matanya terlihat begitu datar sekali, hingga Eyang Waskita sendiri sulit untuk bisa menerka, semua yang ada didalam bola mata pemuda itu. Cukup lama juga Jaka terdiam membisu. Entah apa yang ada didalam kepalanya saat ini. Begitu sukar sekali untuk diterka dengan sorot mata yang begitu datar.
"Eyang, boleh aku bertanya sedikit...?" pinta Jaka.
"Katakan apa saja yang ingin kau tanyakan," tahut Eyang Waskita.
"Kenapa Eyang begitu takut pada Sutawijaya?" tanya Jaka langsung.
"Dia memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar, Jaka. Terlebih lagi ayahnya. Tidak ada seorangpun yang mau berurusan dengannya. Dan tidak ada seorangpun yang bisa menentang kehendaknya, kecuali Gusti Prabu sendiri," Sahut Eyang Waskita menjelaskan.
"Bagaimana kalau aku tetap berada disini, Eyang?" tanya Jaka lagi.
"Kau ingin Desa Galagang hancur, Jaka...?"
Jaka terdiam. Sungguh dia tidak menyangka kalau akibatnya akan sebesar itu. Dan dia benar-benar tidak tahu kalau telah membuka perkara dengan orang kuat yang memiliki pengaruh besar di Desa Galagang ini. Bahkan sampai keseluruh kadipaten dan kota raja. Eyang Waskita sendiri merasa tidak ada artinya sama sekali. Dan meminta muridnya ini untuk mencari selamat.
"Aku minta dengan sangat padamu, Jaka. Selamatkan dirimu, juga seluruh penduduk Desa Galagang ini dari kemurkaan Sutawijaya," kata Eyang Waskita lagi.
"Kemana aku harus pergi, Eyang?" tanya Jaka.
"Kemana saja, asal kau tidak terlihat lagi di desa ini," sahut Eyang Waskita. Kembali Jaka terdiam dengan kepala tertunduk.
Terasa begitu berat sekali harus meninggalkan tanah kelahirannya. Dan semua ini memang harus dilakukan demi keselamatan seluruh penduduk Desa Galagang dari kemurkaan Sutawijaya. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Jaka. Namun tiba-tiba saja terlintas bayangan wajah Sari. Darahnya seketika bergolak mendidih. Hatinya tidak rela kalau sampai gadis itu jatuh ke tangan Sutawijaya. Perlahan dia mengangkat kepalanya, dan menatap lurus kebola mata Eyang Waskita. Kemudian dia bangkit berdiri dan membungkuk sedikit memberi hormat pada orang tua itu.
"Aku akan pergi, Eyang. Tapi tidak sekarang," kata Jaka mantap nada suaranya.
"Kenapa?" tanya Eyang Waskita agak terperanjat.
"Lebih cepat kau pergi, itu akan lebih baik lagi, Jaka. Sebaiknya kau pergi sekarang juga."
"Tidak, Eyang. Sebelum...," Jaka tidak meneruskan.
"Sebelum apa, Jaka?" desak Eyang Waskita seraya bangkit bediri.
"Aku akan pergi bersama Sari," kata Jaka mantap.
"Jaka...!" Eyang Waskita tersentak kaget setengah mati.
Sungguh dia tidak menyangka kalau pemuda ini bisa berkata begitu. Sedangkan semua orang di Desa Galagang sudah tahu kalau Sari akan dijodohkan dengan Sutawijaya. Dan memang semua orang sudah tahu kalau antara Jaka dan Sari menjalin hubungan asmara. Dan itu bukan menjadi rahasia lagi. Tapi sungguh Eyang Waskita tidak menduga sama sekali kalau ada keinginan di hati Jaka untuk membawa Sari pergi.
"Maafkan aku, Eyang. Ini sudah menjadi keputusanku. Biar aku yang akan menghadapi semuanya sendiri," kata Jaka mantap.
Sebelum Eyang Waskita bisa berkata, Jaka sudah menjura memberi hormat. Kemudian dia bergegas pergi meninggalkan beranda depan rumah orang tua itu. Sedangkan Eyang Waskita hanya bisa memandangi, tanpa dapat berkata-kata lagi sedikitpun, untuk mencegah keinginan Jaka membawa Sari dalam kepergiannya meninggalkan Desa Galagang ini.
"Dewata Yang Agung... beri dia perlindungan," desah Eyang Waskita pelan.
Sementara Jaka sudah jauh meninggalkan rumah Eyang Waskita yang juga dijadikan padepokan. Beberapa pemuda yang menjadi murid orang tua itu juga hanya dapat memandangi kepergian Jaka. Tidak ada seorangpun yang bisa berbuat sesuatu. Sedangkan Eyang Waskita sendiri hanya bisa memandangi sampai pemuda itu lenyap di tikungan jalan.
"Malapetaka apa yang akan terjadi kalau Jaka sampai melakukan perbuatan nekad itu...?" desah Eyang Waskita lagi.
Memang sulit untuk bisa diterka. Sedangkan tak ada seorangpun yang bisa membaca isi hati orang lain. Namun Eyang Waskita hanya bisa berharap muridnya itu tidak meneruskan keinginannya membawa Sari pergi dari Desa Galagang ini. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau Jaka benar-benar melaksanakan tekadnya.

119. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Cinta BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang