BAGIAN 4

332 19 0
                                    

Hilangnya Sari membuat Ki Ranta jadi berang setengah mati. Dia memerintahkan seluruh orang-orangnya untuk mencari anak gadisnya itu. Bahkan Sutawijaya yang mengetahui kalau Sari hilang dari rumahnya, tidak mau tinggal diam begitu saja. Terlebih lagi setelah dia tahu kalau Jaka juga menghilang dari Desa Galagang. Dan dia sudah langsung menduga kalau Sari pasti pergi dengan kekasihnya itu.
Sutawijaya yang tahu kalau Jaka mempelajari ilmu olah kanuragan pada Eyang Waskita, langsung menemui orang tua itu. Bahkan dia membawa serta empat orang pengawal utamanya, ditambah dengan tiga puluh orang tukang pukulnya. Kedatangan Sutawijaya dan tukang-tukang pukulnya tidak lagi membuat Eyang Waskita terkejut. Dia memang sudah menduga kalau hal ini bakal terjadi setelah Jaka menyatakan tekadnya untuk membawa lari Sari padanya. Namun tetap saja orang tua itu menyambutnya dengan ramah. Walaupun dia sempat berpesan pada murid-muridnya untuk berwaspada jika terjadi sesuatu.
"Aku minta kau kembalikan Sari sekarang juga, Eyang Waskita," desis Sutawijaya dingin. Tatapan matanya begitu tajam, bersorot langsung pada kedua bola mata orang tua yang berada sekitar enam langkah didepannya. Sedangkan yang dipandanginya kelihatan tenang sekali. Bahkan senyumannya tersungging menghiasi bibir yang hampir tertutup oleh kumis putih.
"Sari tidak ada disini," sahut Eyang Waskita kalem.
"Bohong!" bentak Sutawijaya kasar.
"Sejak kapan kau tidak lagi percaya kata-kataku, Sutawijaya?"
"Huh! Aku memang pernah menjadi muridmu, Eyang. Tapi aku tahu kalau kau lebih menyayangi Jaka dari padaku. Sekarang dia telah melarikan calon istriku. Dan kau jangan coba-coba melindunginya, Eyang. Aku bisa tidak lagi memandangmu guru!" tegas Sutawijaya. Suaranya terdengar lantang bercampur berang.
"Calon istrimu...?" terdengar agak sinis nada suara Eyang Waskita.
"Sari calon istriku, Eyang!" bentak Sutawijaya tidak bisa menahan berangnya.
"Apakah Sari mencintaimu?" tanya Eyang Waskita seperti menguji.
"Itu bukan urusanmu, Eyang!" bentak Sutawijaya kasar. "Cepat, katakan! Di mana Sari...?"
"Sudah aku katakan, Sari tidak ada disini. Kenapa kau masih juga menyangka aku menyemibunyikan gadis itu...?"
"Jangan paksa aku bertindak kasar, Eyang!” ancam Sutawijaya mendesis dingin.
"Hmmm...." Eyang Waskita jadi menyipit kelopak matanya, begitu mendengar ancaman pemuda yang pernah menjadi muridnya ini. Sungguh dia tidak menyangka kalau Sutawijaya bisa menjadi congkak begitu. Bahkan sama sekali tidak memandang kalau yang ada didepannya ini dulu adalah gurunya. Dan memang sudah lama Sutawijaya tidak lagi belajar ilmu olah kanuragan pada Eyang Waskita, setelah mendapatkan seorang guru yang dipandang ilmunya lebih tinggi dari orang tua ini.
Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu menarik kakinya ke belakang dua langkah. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung kebola mata pemuda didepannya ini. Seakan dia tidak percaya kalau bekas muridnya ini bisa bersikap kasar begitu. Walaupun selama ini dia sudah banyak mendengar tentang sepak terjang Sutawijaya yang tidak patut diteladani.
"Tikk!"
Sutawijaya menjentikkan dua ujung jari tangannya. Seketika itu juga, orang-orang yang dibawanya langsung bergerak berlompatan hendak mengepung orang tua itu. Namun belum juga mereka bisa mengepung, semua murid-murid Eyang Waskita yang memang sejak tadi sudah bersiaga, langsung berlompatan menghadang. Kini dua kelompok kekuatan sudah saling berhadapan dengan sikap yang sudah siap bertarung. Dan mereka tinggal menunggu perintah saja.
"Ini peringatanku yang terakhir, Eyang. Aku harap kau tidak membuat kesulitan bagi dirimu sendiri," desis Sutawijaya dingin bernada mengancam.
"Jangan turuti bisikan setan, Sutawijaya. Kendalikan hatimu," ujar Eyang Waskita, masih mencoba menyabarkan pemuda itu.
"Aku datang bukan untuk meminta nasihatmu, Eyang!" bentak Sutawijaya kasar. "Aku datang untuk membawa Sari pulang!"
Eyang Waskita menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu kalau marah Sutawijaya tidak bisa lagi dibendung. Dan dia sudah bisa membaca apa yang bakal terjadi. Memang semua ini sudah menjadi perhitungannya, sejak Jaka mengatakan padanya ingin membawa Sari pergi dari Desa Galagang ini.
"Di mana kau sembunyikan Sari, Eyang Waskita...?" desis Sutawijaya. bertanya dingin.
"Dia tidak ada disini," sahut Eyang Waskita tegas.
"Phuih! Kau memaksaku bertindak keras, Eyang!" dengus Sutawijaya langsung kalap.
"Hmmm...," Eyang Waskita hanya menggumam saja perlahan.
"Beri dia pelajaran! Supaya tahu siapa aku...!" bentak Sutawijaya memberi perintah. Suaranya yang lantang menggelegar, langsung menggerakkan orang-orangnya yang memang sejak tadi sudah siap menerima perintah. Tanpa menunggu diperintah dua kali lagi, tiga puluh orang yang menyertainya langsung berlompatan menyerang Eyang Waskita.
"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Tapi belum juga mereka sampai, sekitar lima belas orang murid laki-laki tua itu sudah berlompatan menghadang. Hingga pertarunganpun tidak dapat lagi dihindarkan. Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang dan teriakan-teriakan pertempuran membahana menjadi satu dengan dentingan senjata beradu. Memang tidak mungkin lagi untuk bisa mencegah pertarungan ini.
Sementara Eyang Waskita jadi gemas juga melihat murid-muridnya yang berjumlah sedikit itu langsung terdesak. Dan mereka memang bukan tandingan orang-orangnya Sutawijaya yang sudah lebih berpengalaman dalam pertempuran. Bahkan tingkat kepandaiannyapun lebih tinggi dari murid-murid Eyang Waskita. Disamping jumlah mereka juga lebih banyak.
Hingga tidak heran lagi, kalau dalam waktu sebentar saja, tidak ada lagi murid-murid Eyang Waskita yang masih mampu bertahan. Jeritan-jeritan panjang melengking yang memilukan semakin terdengar. Satu per satu murid-murid Eyang Waskita terjungkal berlumuran darah. Dan orang-orangnya Sutawijaya semakin bernapsu melihat darah berhamburan dan tubuh-tubuh mulai bergelimpangan dimana-mana. Seperti kesetanan, mereka membantai murid-murid Eyang Waskita yang sudah tidak mampu lagi bertahan.
"Hentikan pertarungan ini...!" seru Eyang Waskita lantang.
Namun begitu pertarungan berhenti, tinggal lima orang lagi muridnya yang tersisa. Dan ini membuat wajah Eyang Waskita jadi merah padam. Kedua bola matanya berputaran liar merayapi murid-muridnya yang bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi. Kemudian dia menatap tajam Sutawijaya yang tersenyum-senyum penuh kemenangan.
"Aku sudah memperingatkanmu, Eyang. Kalau-kalau kehilangan banyak murid-muridmu, itu kesalahanmu sendiri," kata Sutawijaya sinis.
"Hh!"
Eyang Waskita mendengus geram. Dia melangkah beberapa tindak mendekati Sutawijaya yang masih didampingi empat orang pengawalnya. Empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan tampang-tampang yang kasar dan sorot mata memancarkan kebengisan. Gagang golok berwarna hitam legam, terlihat menyembul keluar di pinggang masing-masing. Dan begitu Eyang Waskita sudah tinggal beberapa langkah lagi jaraknya, mereka secara bersamaan memegang gagang goloknya masing-masing. Walau belum ada seorangpun yang mencabutnya.
"Kau sudah keterlaluan, Sutawijaya. Kau korbankan orang-orang tidak berdosa hanya untuk menuruti nafsu setan yang ada diotakmu...!” desis Eyang Waskita geram.
Sutawijaya hanya tersenyum sinis. Kemudian dia menggerakkan tangan kanannya sedikit. Saat itu juga, empat orang pengawalnya langsung bergerak ke depan, menghadang laki-laki tua yang mengenakan baju jubah putih ini.
"Hh! Iblis benar-benar telah menguasai diri mu, Sutawijaya," dengus Eyang Waskita.
"Habisi orang tua itu!" perintah Sutawijaya lantang.
"Hiyaaaaa..!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga empat orang yang mengawal Sutawijaya langsung berlompatan menyerang Eyang Waskita. Mereka bersamaan menyerang dari empat jurusan. Tapi hanya dengan meliukkan tubuhnya saja, pukulan-pukulan yang dilepaskan empat orang berwajah bengis itu berhasil dielakkan dengan manis sekali.
"Hup!"
Cepat-cepat Eyang Waskita melompat ke belakang, begitu dia berhasil mengelakkan serangan pertama keempat orang itu. Tapi begitu kakinya menjejakkan tanah, salah seorang sudah menyerangnya kembali. Begitu cepat sekali dia melompat, langsung mencabut goloknya yang dikebutkan kearah kaki orang tua ini.
"Wuk!"
"Hait!"
Hanya dengan sedikit melompat saja, tebasan golok itu lewat di bawah telapak kaki orang tua ini. Dan pada saat itu, satu orang lagi sudah melompat keatas sambil membabatkan goloknya ke arah kepala.
"Hih!"
Kali ini Eyang Waskita tidak berusaha menghindar sedikitpun juga. Dan begitu golok penyerangnya sudah dekat, dengan cepat sekali dia merapatkan kedua tangannya. Dan....
"Hap...!"
"Tap!"
"Ikh...!"
Orang itu terpekik kecil. Dia langsung membetot goloknya yang terjepit kedua telapak tangan laki-laki tua ini. Tapi begitu kuat sekali jepitan tangan Eyang Waskita, hingga sukar bagi orang itu untuk melepaskan goloknya.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, salah seorang yang berada disebelah kanan, melakukan serangan dengan membabatkan goloknya ke tangan Eyang Waskita yang menjepit golok lawannya ini.
"Hih!"
Cepat sekali Eyang Waskita menghentakkan tangannya sambil melepaskan jepitannya pada golok itu. Hingga orang yang memegang golok itu terpental jauh kebelakang. Dan bersamaan dengan itu, dia memutar tubuhnya dengan cepat, sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tepat terarah ke perut penyerangnya. Namun belum juga tendangan orang tua itu sampai pada sasaran, mendadak saja....
"Hiyaaat...!"
"Bet!"
"Heh...?
Eyang Waskita jadi terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba Sutawijaya mengebutkan tangan kanannya dengan cepat sekali. Dan dari telapak tangannya, meluncur beberapa buah benda halus berwarna hitam. Benda-benda itu meluncur bagai kilat menuju laki-laki tua ini. Begitu cepatnya, hingga Eyang Waskita yang sedang melakukan serangan balik tidak sempat lagi menghindar. Dan....
"Crab!"
"Jleb!"
"Akh...!"
"Bruk!"
Seketika tubuh Eyang Waskita jatuh terjerembab ke tanah, setelah beberapa benda kecil berwarna hitam menembus bagian dadanya. Laki-laki tua berjubah putih itu menggelepar sambil mengerang. Dari mulutnya terlihat darah kental kehitaman mengalir ke luar. Bahkan seluruh pori-pori tubuhnya mengeluarkan cairan merah agak kehitaman. Sebentar kemudian, orang tua itu menggeletak kaku tak bergerak-gerak lagi. Darah keluar dari setiap lubang yang ada di tubuhnya. Darah yang berwarna agak kehitaman, menandakan kalau benda-benda kecil berwarna hitam yang menembus dadanya itu mengandung racun yang sangat mematikan.
"Hahahaha...!"
Sutawijaya tertawa terbahak-bahak melihat orang tua itu tergeletak tak bernyawa lagi. Suara tawanya langsung berhenti, begitu melihat lima orang murid Eyang Waskita yang berdiri terpaku melihat gurunya tewas, setelah dadanya tertembus senjata rahasia yang mengandung racun dahsyat dan mematikan itu.
"Bunuh mereka semua!" perintah Sutawijaya lantang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah..!"
Empat orang pengawal pemuda itu langsung berlompatan. Mereka membabatkan golok-goloknya kearah lima orang murid Eyang Waskita yang tersisa. Seketika itu juga jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar, memancarkan hawa kematian dari lima orang itu. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak ada lagi yang tersisa. Mereka tewas dengan darah berhamburan membasahi tanah.
"Hahahaha...!"
Sutawijaya kembali tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang keras menggelegar, disambut para pengikutnya dengan tawa yang terbahak-bahak pula. Kemudian mereka semua terdiam. Sutawijaya memandangi bangunan besar yang merupakan bangunan padepokan yang di dirikan Eyang Waskita.
"Bakar!" perintah Sutawijaya.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang pengikutnya langsung menyalakan obor. Dan melemparkannya ke atap bangunan itu. Api langsung berkobar membakar bangunan padepokan ini. Kembali terdengar suara tawa Sutawijaya yang keras menggelegar. Sementara api semakin membesar menghanguskan bangunan berukuran besar itu.
"Ayo, kita pergi," ajak Sutawijaya.
Sebentar kemudian mereka sudah bergerak meninggalkan padepokan silat itu. Mereka terus bergerak cepat dengan menunggang kuda menuju ke Desa Galagang.

119. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Cinta BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang