BAGIAN 5

303 19 0
                                    

Setelah memperkenalkan diri, dan mengata-kan diri yang sebenarnya, baru Jaka bisa lunak hatinya. Bahkan dia meminta maaf, karena telah menyangka buruk dan menyerangnya tanpa bertanya dulu. Tapi Rangga dan Pandan Wangi bisa memaklumi, setelah mereka tahu kalau Jaka adalah murid Eyang Waskita.
"Kau tahu siapa pelaku dari semua ini, Jaka?" tanya Pandan Wangi setelah suasana mereda.
"Pasti Sutawijaya," sahut Jaka agak mendengus nada suaranya.
"Siapa itu Sutawijaya?" tanya Rangga ingin tahu.
Kali ini Jaka tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Rasanya memang berat untuk mengatakan persoalan yang sesungguhnya. Yang sebenarnya adalah persoalan pribadinya sendiri, tapi kini guru dan saudara-saudara seperguruannya telah tewas akibat perbuatannya, membawa lari Sari dari rumahnya. Di dalam hati, Jaka benar-benar menyesal. Kalau saja dia mau menuruti nasehat Eyang Waskita, tentu hal ini tidak akan terjadi.
Tapi semuanya sudah terlambat. Sutawijaya benar-benar tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Dan semua itu memang sudah ada dalam perhitungan Eyang Waskita. Tapi Jaka tidak pernah mau mempedulikan, walaupun dia sudah diberitahu akibatnya kalau tetap bertekad melaksanakan keinginannya. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kini Sari berada di suatu tempat yang hanya dia sendiri yang tahu.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Mereka sama-sama menduga kalau Jaka memiliki persoalan yang tidak kecil. Hingga Eyang Waskita dan semua murid-muridnya tewas sampai tak ada seorangpun yang tersisa hidup. Tapi mereka tidak mau mendesak. Terlebih lagi melihat Jaka yang tampaknya tidak ingin persoalannya diketahui orang lain.
"Sebaiknya kita urus dulu mereka," kata Rangga mengalihkan perhatian.
"Ya, mereka harus segera dikuburkan. Sebelum hari gelap," sambut Jaka langsung.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera membuat lubang dan menguburkan mayat-mayat itu satu per satu. Hingga hari benar-benar menjadi gelap, mereka baru selesai menguburkan semua mayat yang ada di padepokan itu. Sementara Jaka masih saja terdiam di depan kuburan Eyang Waskita. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memandangi saja dari kejauhan. Mereka tidak mau mengusik pemuda itu.
"Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan Jaka, Kakang," kata Pandan Wangi berbisik pelan. Seperti takut terdengar orang lain.
"Kau lihat saja sendiri. Sejak tadi dia berdiri saja di sana."
Rangga hanya diam saja. Seperti tidak mendengar kata-kata si Kipas Maut itu barusan. Namun matanya tidak berkedip memandang lurus pada Jaka yang masih saja berdiri mematung di samping makam Eyang Waskita. Sedangkan malam sudah merayap cukup larut. Bulanpun sudah berada tepat di atas kepala.
"Sebaiknya kau tanyakan saja padanya, Kakang. Tidak mungkin Eyang Waskita mengirim surat padamu, dan memintamu datang menemuinya kalau tidak ada persoalan," kata Pandan Wangi lagi.
"Waktunya belum tepat, Pandan," halus sekali Rangga menolak saran si Kipas Maut itu.
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu barusan. Waktunya memang belum tepat untuk mengajak bicara Jaka saat ini. Pemuda itu tengah dirundung duka yang teramat dalam, dengan kematian Eyang Waskita yang juga gurunya. Hingga kedua pendekar muda dari Karang Setra itu harus menunggu sampai Jaka bisa menghilangkan dukanya. Namun belum juga Rangga dan Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu yang bisa menghibur pemuda itu, mendadak saja...
"Slap!"
"Heh...?!"
"Dia lari, Kakang...!" seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah kuburan Eyang Waskita.
"Jangan dikejar," kata Rangga cepat mencekal tangan Pandan Wangi yang sudah mau mengejar.
Pandan Wangi tidak jadi melompat mengejar. Dia hanya bisa memandangi Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sinar mata penuh ketidak-mengertian. Sudah jelas Jaka lari begitu saja dengan kecepatan tinggi. Tapi Rangga malah tidak mau mencegahnya.
"Kenapa kau biarkan saja dia pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.
"Tidak perlu kau kejar, Pandan. Biarkan saja dia menuruti keinginan hatinya," kata Rangga kalem.
"Tapi...."
"Ayo, sebaiknya kita cari rumah penginapan di Desa Galagang," ajak Rangga tidak menghiraukan gadis itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja melangkah pergi, menuju ke Desa Galagang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi saja beberapa saat. Dia benar-benar tidak mengerti dengan sikap Rangga yang membiarkan Jaka pergi begitu saja. Sedangkan saat ini mereka begitu memerlukan keterangan dari pemuda itu. Pandan Wangi terpaksa menyusul Rangga yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya. Sebentar saja dia sudah mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan mereka terus berjalan memasuki Desa Galagang tanpa ada yang bicara sedikitpun juga.
"Kau dengar itu, Pandan...?" Pandan Wangi langsung menghentikan langkah kakinya. Dia langsung menatap pada Pendekar Rajawali Sakti begitu telinganya mendengar suara orang mengaduh kesakitan, disertai suara bentakan dan pukulan bertubi-tubi. Begitu jelas sekali terdengar. Dan hanya terhalang oleh tiga rumah di depan mereka.
"Apa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Hup!" Rangga tidak menjawab. Dia langsung melompat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu, hingga dalam satu kali lompatan saja dia bisa melewati tiga atap rumah sekaligus. Pandan Wangi pun tidak mau ketinggalan. Dengan cepat sekali dia melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Berhenti...!"
Bentakan Rangga yang begitu keras dan menggelegar, langsung menghentikan empat orang laki-laki bertubuh kekar, yang tengah menganiaya seorang laki-laki tua. Sedangkan seorang pemuda tampan tampak memeluk pinggang seorang gadis muda yang memberontak mencoba melepaskan diri. Gadis itu langsung berlari menghambur pada laki-laki tua yang menggeletak di tanah sambil merintih kesakitan, begitu pelukan pemuda tampan berpakaian mewah itu jadi longgar karena bentakan Rangga yang begitu keras dan menggelegar tadi.
Saat itu Pandan Wangi sudah sampai di sana. Dia langsung menghampiri Rangga, dan berdiri di sebelah kanannya. Dan tanpa diminta lagi, Pandan Wangi segera menghampiri laki-laki tua yang ditangisi anak gadisnya. Hanya sebentar saja si Kipas Maut itu memeriksa luka-luka di tubuh laki-laki tua itu. Kemudian dia menghampiri Rangga kembali, dan berdiri di sebelah kanannya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga langsung.
"Hanya luka luar," sahut Pandan Wangi.
"Kau bawa mereka ke tempat yang lebih aman, Pandan," pinta Rangga.
Pandan Wangi mengangguk, dan kembali dia menghampiri laki-laki tua itu. Dibantu dengan anak gadisnya, laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu dipapah Pandan Wangi ke tempat yang lebih aman. Mereka menuju ke beranda belakang sebuah rumah yang kelihatannya sudah reyot. Pandan Wangi merebahkan laki-laki tua itu di atas balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar daun pandan lusuh.
Sementara itu empat orang yang menganiaya laki-laki tua itu sudah menghampiri Rangga. Dan mereka menyingkir sedikit begitu pemuda tampan berpakaian mewah yang tak lain adalah Sutawijaya juga melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu. Kini Rangga berhadapan dengan lima orang yang menatapnya dengan sorot mata sangat tajam penuh amarah.
"Kisanak, siapa kau? Beraninya kau mengusikku!" bentak Sutawijaya dingin.
"Aku tidak akan mengganggu kalau kalian tidak menganiaya orang tua yang lemah," tidak kalah dinginnya sambutan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang paling tidak suka jika melihat ada orang yang lemah teraniaya. Terlebih lagi penganiayaan itu terjadi di depan matanya. Dia tidak akan begitu saja tinggal diam, berpangku tangan melihatnya. Apa pun alasannya, Rangga tidak pernah menyukai adanya penganiayaannya pada yang lemah.
"Phuih! Apanya dia kau heh...?" dengus Sutawijaya sinis, seraya melirik pada laki-laki tua yang berbaring di balai, didampingi Pandan Wangi dan anak gadisnya.
"Aku memang bukan apa-apanya. Tapi aku tidak akan membiarkan kau dan begundal-begundalmu itu menganiaya orang tua itu," tegas Rangga.
"Bedebah...! Mau berlagak didepanku, heh...!"
Rangga jadi berkerut keningnya dengan sikap pemuda congkak ini. Sementara itu empat orang pengawal Sutawijaya sudah mulai bergerak menyebar, hendak mengurung Pendekar Rajawali Sakti ini. Mereka langsung saja mencabut goloknya masing-masing yang bergagang hitam pekat, bagai terbuat dari tanduk kerbau. Golok-golok itu berkilatan tertimpa cahaya bulan yang menggantung di langit.
"Hmmm...." Rangga mengamati empat orang yang memain-mainkan goloknya di depan sana. Seakan mereka hendak menakut-nakuti Pendekar Rajawali Sakti ini dengan kilatan cahaya goloknya. Tapi pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja. Sedikitpun dia tidak terpengaruh oleh kilatan cahaya golok yang bergerak-gerak membentuk kembangan jurus itu.
"Hajar dia sampai mampus!" perintah Sutawijaya lantang menggelegar.
"Hiyaaaat...!"
"Hiyaaaa...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, empat orang bertubuh tinggi tegap dan berotot kuat itu langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya saja Rangga berhasil menghindar serangan dari empat jurusan itu. Indah sekali gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga. Sehingga tidak mudah bagi keempat orang itu untuk mengalahkannya. Bahkan untuk mendesak saja terasa begitu sulit sekali.
Menghadapi empat orang lawan bersenjata golok seperti ini, Rangga hanya menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Sebuah jurus yang memang hanya digunakan untuk menghindari serangan-serangan lawan. Dan bukan merupakan jurus menyerang. Tapi memang tidak mudah bagi lawan untuk memecahkan jurus itu.
"Hup! Yeaaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat tinggi ke udara. Begitu cepat sekali hingga sukar sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Tahu-tahu dia sudah menukik begitu cepat sekali bagai kilat. Dan kedua kakinya bergerak sangat cepat terarah langsung ke kepala empat orang itu. Saat itu Rangga mengerahkan jurus. Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Namun belum juga serangan itu sampai pada sasaran, mendadak saja Sutawijaya sudah menghentakkan tangan kanannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hiyaaaa...!"
"Wussss!"
"Utfs!"
Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari benda-benda kecil berwarna hitam yang dilepaskan Sutawijaya. Benda-benda kecil berbentuk jarum itu meluncur deras di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti. Begitu manis sekali gerakan menghindar yang dilakukan Rangga. Dan manis pula dia kembali menjejakkan kakinya di tanah. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju langsung pada kedua bola mata Sutawijaya.
"Curang...!" dengus Rangga mendesis geram.
Tapi justru Sutawijaya malah tertawa terbahak-bahak. Dan tiba-tiba saja dia melompat secepat kilat, lalu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Dan pada saat itu juga, terlihat benda-benda hitam yang halus berbentuk jarum, bertebaran dari segala arah, meluruk deras mengancam nyawa Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu berputaran menghindari serangan jarum-jarum beracun itu. Sementara Sutawijaya terus berlarian mengelilingi dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali, sambil melontarkan senjata-senjata mautnya itu. Hawa beracun langsung terasa mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti, menyebar dari jarum-jarum halus berwarna hitam yang menyebar disekitarnya.
Entah berapa ribu jarum-jarum beracun yang ditebarkan Sutawijaya. Tapi belum ada satupun yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan ini membuat Sutawijaya jadi geram setengah mati. Dia juga penasaran, karena sudah mengeluarkan jurus mautnya dalam menyebarkan jarum-jarum beracun itu. Tapi tidak juga berhasil melumpuhkan pemuda asing yang belum dikenalnya ini.
"Hap!"
Tiba-tiba saja Sutawijaya melompat ke belakang, dan menghentikan serangannya. Sementara itu Rangga dengan manis sekali menjejakkan kakinya kembali ke tanah, saat merasakan tidak lagi mendapatkan serangan jarum-jarum beracun secara beruntun. Tatapan matanya langsung tersorot tajam, tertuju lurus pada kedua bola mata Sutawijaya.
"Hup! Yeaaah...!"
Mendadak Sutawijaya melompat cepat bagai kilat, lalu berlari secepat angin meninggalkan tempat itu. Empat orang pengawalnya langsung berlarian mengikuti dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Sementara Rangga hanya berdiri tegak memandangi, tanpa bermaksud mengejar sedikitpun juga.
Setelah Sutawijaya dan empat orang pengawalnya tidak terlihat lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu baru melangkah menghampiri Pandan Wangi yang masih mengurus laki-laki tua yang tadi dianiaya empat orang pengawal Sutawijaya. Sedangkan anak gadis orang tua itu hanya bisa diam memandangi dengan air mata bercucuran membasahi pipinya.
Rangga berdiri di belakang Pandan Wangi. Pandangan matanya langsung merayapi seluruh tubuh laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu. Celana hitam sebatas lutut yang dikenakannya tampak kotor, berlumur debu dan darah. Dari gerakan halus didadanya, bisa menandakan kalau orang tua yang usianya sudah mencapai kepala tujuh itu masih hidup.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga halus.
"Tidak terlalu parah. Hanya luka luar saja," sahut Pandan Wangi seraya berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Besok pagi, mungkin baru bisa sadar dari pingsannya. Aku sudah memberikan sedikit pertolongan untuk mengurangi rasa sakitnya saja."
Rangga tersenyum, kemudian dia duduk sebelah anak gadis orang tua itu. Dia menepuk pundaknya dengan lembut, mencoba memberi ketenangan. Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Rumah-rumah yang ada disekitar rumah ini tidak ada satupun yang menyalakan lampu. Apa lagi membuka pintu. Semua penghuni rumah itu seakan tidak ingin terlibat dengan urusan ini. Dan Rangga tahu kalau dari balik pintu dan jendela rumah-rumah di sekitarnya, bersembunyi orang-orang yang mengintipnya. Tapi tak ada seorangpun yang keluar.
"Dia ayahmu?" tanya Rangga lembut, pada gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun yang duduk disebelahnya. Gadis itu hanya mengangguk saja, sambil menyusut air matanya.
"Namamu siapa?" tanya Rangga tetap dengan suara yang lembut.
"Arini," sahut gadis itu memperkenalkan diri. "Ayahku biasanya dipanggil Ki Langkap."
"Kenapa orang-orang itu menganiaya ayahmu?" tanya Rangga lagi.
"Mereka menuduh kalau ayah menyembunyikan Sari dan melindungi Jaka," sahut Arini dengan suara yang tersendat, diselingi suara isaknya yang tertahan.
Rangga sedikit melirik pada Pandan Wangi. Saat itu Pandan Wangi juga tengah menatapnya. Mereka tahu siapa itu Jaka. Tapi mereka tidak tahu persoalan apa yang tengah melanda diri anak muda itu. Dan sekarang Arini menyebut satu nama lagi. Nama yang tidak mereka kenal. Tapi kedua pendekar dari Karang Setra itu sudah menduga kalau semua ini tentu ada hubungannya dengan Jaka. Anak muda yang menyerang Rangga dengan tiba-tiba karena kesalah pahaman di padepokan yang dipimpin Ki Waskita. Tapi memang sangat disayangkan, Jaka tidak bercerita banyak.
"Jaka itu kakak sepupuku. Dan Sari adalah kekasihnya. Tapi orang tua Sari telah menjodohkannya pada Sutawijaya..." kata Arini memberi tahu dengan suara yang terputus. Tapi nadanya kelihatan sudah lebih tenang.
"Hm, lalu...?" selak Pandan Wangi ingin tahu lebih jauh lagi.
"Jaka membawa lari Sari," sambung Arini.
Saat itu juga Rangga dan Pandan Wangi langsung bisa menangkap semua yang terjadi. Dan mereka juga tahu, kenapa Sutawijaya sampai bisa berbuat sekejam itu. Tentu saja Sutawijaya tidak akan tinggal diam begitu saja. Dan. yang pasti Jaka juga tidak akan rela melepaskan kekasihnya jatuh ke dalam pelukan pemuda lain. Satu persoalan yang sangat sulit, dan tidak mudah untuk berdiri pada satu pihak.
Beberapa kali Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandang. Seakan mereka sama-sama bertanya tentang persoalan itu. Tapi tampaknya kedua pendekar muda itu tidak bisa menentukan sikap saat ini juga. Dan pada akhirnya mereka sama-sama saling mengangkat bahu.

***

119. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Cinta BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang