BAGIAN 2

332 19 1
                                    

Rona merah jingga membias dari balik bukit, membuat pemandangan yang begitu indah di Desa Galagang ini. Burung-burungpun ramai berkicau, menambah suasana pagi ini begitu semarak dan ceria. Namun semua keindahan dan keceriaan itu tidak ternikmati sedikitpun oleh seorang pemuda yang berdiri mematung di kaki tepian sungai yang mengalir bagai memisahkan Desa Galagang dengan bukit kecil ini. Entah sudah berapa lama pemuda itu berdiri mematung di sana.
Pandangannya lurus, tak berkedip sedikitpun menatap ke seberang sungai. Hanya pepohonan saja yang terlihat di seberang sana. Sesekali terlihat binatang yang hendak melepas dahaga di tepi sungai ini. Pemuda berwajah cukup tampan yang tak lain adalah Jaka ini, tidak menyadari kalau beberapa pasang mata mengawasinya sejak tadi dari balik semak dan pepohonan.
"Trek!"
"Eh...?!"
Belum juga hilang rasa terkejutnya saat terdengar suara ranting kering terinjak, tiba-tiba saja Jaka kembali dikejutkan dengan bermunculannya orang-orang bertampang kasar dari balik semak dan pepohonan. Dari pakaian yang mereka kenakan, sudah bisa dipastikan kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sebentar saja dia sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang yang semuanya menghunus golok.
"Siapa kalian? Mau apa...?"
Belum juga pertanyaan Jaka selesai, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka sudah melompat menyerang sambil membabatkan goloknya kearah leher pemuda ini.
"Hait!"
Cepat-cepat Jaka merundukkan kepalanya menghindari tebasan golok yang berkilat tajam itu. Hanya sedikit saja golok itu berlalu di atas kepalanya. Jaka jadi tersentak kaget, dan cepat-cepat dia melompat ke belakang begitu merasakan angin tebasan golok itu demikian kuat, hingga menerbangkan ikat kepalanya.
"Hap!"
"Yeaaaah...!"
Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, satu orang lagi sudah melepaskan sebuah pukulan keras yang menggeledek dari arah kanan. Bergegas Jaka menarik tubuhnya ke belakang menghindari pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Satu langkah dia menarik kakinya ke belakang. Demikian kerasnya pukulan orang itu, hingga angin pukulannya saja sudah membuat tubuh pemuda desa ini jadi sedikit terhuyung.
"Hiyaaaa...!"
"Hah...?!"
Bukan main terkejutnya pemuda desa ini, ketika dengan cepat sekali empat orang langsung berlompatan menyerang dari empat penjuru mata angin. Dan bersamaan dengan itu empat buah golok berkelebatan dengan kecepatan sangat tinggi kearah bagian-bagian tubuhnya yang nangat rawan dan mematikan.
"Hap! Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Jaka cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, mengindari serangan serentak dari empat jurusan itu. Tapi begitu dia berada di udara, salah seorang pengeroyoknya sudah melenting dengan kecepatan bagai kilat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
"Yeaaaa...!"
Begitu cepatnya serangan orang itu, hingga Jaka tidak sempat lagi berkelit menghindar. Terlebih lagi saat itu dia sedang berada di udara. Dan....
"Plak!"
"Akh...!"
Seketika Jaka terpental, dan jatuh dengan keras sekali ke tanah. Beberapa kali dia bergelimpangan di atas tanah berumput basah ini. Dan saat itu beberapa golok berhamburan menghantam ke arah tubuhnya. Membuat pemuda desa itu terpaksa harus bergelimpangan menghindarinya.
"Hap!"
Begitu ada kesempatan, cepat-cepat dia; bangkit berdiri. Namun belum juga dia bisa menjejakkan kakinya dengan sempurna, satu sambaran golok sudah melayang ke arah dadanya.
"Hait!"
"Cras!"
"Akh!"
Meskipun sudah berusaha menghindar, tapi gerakannya masih juga terlambat, sehingga ujung golok yang berkilat tajam itu sempat merobek bahu kanannya. Jaka terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap bahu kanannya yang robek mengucurkan darah.
"Ugkh! Setan...!" umpat Jaka geram.
Cepat dia melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Kemudian menotok beberapa kali di sekitar luka. Saat itu juga darah berhenti mengalir dari bahunya yang sobek terkena sabetan golok tadi.
"Suiiiit...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara siulan yang sangat nyaring melengking tinggi. Membuat telinga siapa saja yang mendengar jadi berdenging sakit. Saat itu juga sepuluh orang yang mengeroyok Jaka langsung berlompatan mundur. Tapi mereka masih tetap mengepung dengan sikap siap untuk menyerang.
"Hmmm..." Jaka menggumam perlahan.
"Wusss!"
Sebuah bayangan terlihat berkelebat begitu cepat sekali di depan pemuda desa ini. Dan tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan sorot mata yang tajam dan bengis sekitar enam langkah lagi di depan pemuda desa ini.
"Hmmmm...," kembali Jaka menggumam perlahan.
"Kau yang bernama Jaka?" tanya pemuda tampan berpakaian sangat mewah itu.
Suaranya terdengar sangat dingin dan datar sekali. Tak terdengar sedikitpun tekanan pada nada suaranya. Dan sorot matanya juga begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda desa di depannya ini. Sedangkan yang dipandangi membalasnya dengan tidak kalah tajamnya. Jaka sendiri memandangi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan dia tengah mengamati pemuda tampan berwajah bengis di depannya ini. Memang sangat mewah sekali pakaiannya. Bahkan gagang pedang yang menyembul keluar dari balik punggungnyapun seperti terbuat dari emas. Tapi sama sekali Jaka belum pernah mengenalnya. Bahkan baru kali ini dia melihatnya. Dan dia tidak tahu siapa pemuda ini. Tapi yang jelas pemuda itu pemimpin dari sepuluh orang yang mengeroyoknya tadi.
"Aku bertanya padamu, Gembel!" bentak pemuda itu kasar, karena pertanyaannya tidak dijawab sedikitpun juga.
"Benar," sahut Jaka sedikit mendengus. Dia benar-benar tidak suka dengan sikap pemuda angkuh berwajah bengis ini. Namun semua itu tetap saja tersimpan di dalam hati. Walaupun sorot matanya memancar begitu tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata pemuda di depannya ini.
"Aku peringatkan padamu. Jangan coba-coba mendekati Sari lagi," kata pemuda itu masih tetap dengan suaranya yang dingin dan datar menggetarkan hati.
"Hmm!" Jaka malah tersenyum sinis mendengar peringatan yang bernada mengancam itu. Kini dia tahu siapa pemuda berpakaian mewah di depannya ini. Dari kata-kata peringatan bernada mengancam tadi, dia langsung bisa menebak kalau pemuda ini tentu Sutawijaya. Pemuda pilihan Ki Ranta, yang akan dijodohkan pada Sari. Tapi Jaka begitu yakin kalau Sari tidak mungkin mengkhianati cintanya. Dia tahu kalau Sari tidak mau menerima pemuda ini. Dan cintanya sudah tertumpah pada pemuda desa yang tidak disetujui ayahnya.
"Ada hak apa kau melarangku berhubungan dengan Sari?" desis Jaka dingin.
"Dia calon istriku!" sahut pemuda itu agak menyentak.
"Oooo..., begitukah? Tapi rasanya Sari tidak menyukaimu," sinis sekali nada suara Jaka.
"Setan!" geram pemuda tampan berpakaian mewah yang ternyata memang Sutawijaya marah mendengar kata-kata bernada sinis itu. Dia melangkah dua tindak mendekati Jaka. Sorot matanya begitu tajam, menantang sorot mata Jaka yang tidak kalah tajamnya. Beberapa saat mereka saling bertatapan dengan tajam. Seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
Tampak Sutawijaya menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kuat. Seakan dia tidak menyangka kalau pemuda desa yang di anggapnya tidak memiliki kepandaian apa-apa ini ternyata mampu menghadapi sepuluh orang tukang pukulnya walaupun mendapat cedera di bahu kanan. Tapi cedera yang diderita Jaka tidaklah berarti. Hanya luka luar yang tidak berpengaruh apa-apa bagi seorang yang memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan. Terlebih, luka di bahu kanan itu kini sudah tersumbat aliran darahnya.
"Dengar, Anak Gembel! Aku tidak mau lagi melihat kau bertemu dengan Sari. Kalau sampai aku sempat melihat atau mendengar, aku tidak akan segan-segan memenggal kepalamu!" desis Sutawijaya dingin mengancam.
"Kau juga harus dengar, Sutawijaya. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangiku. Dan kau tidak akan bisa memiliki Sari," balas Jaka tidak kalah dinginnya.
"Setan keparat..! Kau mau mampus rupanya heh...?" bentak Sutawijaya semakin bertambal geram.
"Kau bisa coba. Siapa diantara kita yang lebih dulu masuk ke lubang kubur," tantang Jaka langsung.
"Keparat...!" geram Sutawijaya tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Trek!"
Begitu Sutawijaya menjentikkan jarinya, seketika itu juga empat orang yang sejak tadi mengepung tempat ini langsung berlompatan sambil berteriak keras menggelegar. Golok mereka pun begitu cepat sekali berkelebatan membabat ke arah tubuh Jaka.
"Haiiiit....!"
Cepat sekali Jaka melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari serangan cepat dari empat arah ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, tiba-tiba saja Sutawijaya sudah melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat ke arah dada pemuda desa ini.
"Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Jaka untuk menghindari serangan yang begitu cepat dan dahsyat ini. Dia langsung menghentakkan tangan kirinya ke samping, menangkis pukulan yang dilepaskan Sutawijaya. Hingga benturan dua tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu pun tidak dapat lagi dielakkan.
"Plak!"
"Ikh"
"Hup!"
Kedua pemuda ini sama-sama berlompatan mundur begitu tangan mereka saling beradu. Tampak Sutawijaya meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Sedangkan Jaka langsung mengurut tangan kirinya. Wajah pemuda desa itu pun kelihatan merah menahan rasa sakit pada pergelangan tangan kirinya.
"Hiyaaaat...!"
"Wuk!"
Saat itu salah seorang tukang pukul Sutawijaya yang berada di belakang, cepat sekali melompat membokong Jaka dari belakang. Goloknya yang tajam berkilat, langsung dibabatkan ke arah kepala pemuda desa ini.
"Hih...!"
Cepat-cepat Jaka merundukkan tubuhnya ke depan. Dan begitu golok pembokongnya lewat di atas kepalanya, dengan cepat sekali dia menghentakkan sebelah kaki kirinya ke belakang. Tepat disaat pembokongnya baru saja menarik kembali goloknya. Dan dia tidak dapat lagi menghindari sepakan kaki pemuda desa ini.
"Begkh!"
"Ugkh!"
"Hiyaaaat...!"
Jaka langsung memutar tubuhnya dengan cepat sekali, setelah kakinya berhasil mendarat di dada pembokong itu. Dan begitu cepat sekali dia menghentakkan kaki kanannya, dengan tubuh setengah berputar dengan kecepatan yang sungguh luar biasa sekali. Begitu cepatnya, hingga orang itu tidak dapat lagi menghindar. Terlebih lagi dia baru saja mendapat dupakan yang keras pada dadanya. Dan...
"Plak!
"Akh...!"
Satu pekikan keras agak tertahan terdengar begitu sepakan kaki Jaka menghantam kepala orang itu. Membuatnya terpental beberapa langkah ke samping. Dan dia terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Tampak darah mengalir ke luar dari sela-sela jari tangannya. Sedangkan goloknya terpental cukup tinggi ke udara.
"Hiyaaaat..!"
Sambil berteriak keras, Jaka melompat tinggi ke udara mengejar golok penyerangnya yang terpental tadi. Dan begitu dia berhasil menyambar golok itu, langsung saja dilemparkan ke arah pemiliknya, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan cukup tinggi.
"Yeaaaah...!"
"Wut!"
Bagaikan kilat, golok itu meluncur deras ke arah pemiliknya. Dan tepat menancap di dadanya yang sudah tidak terlindungi lagi. Jeritan panjang melengkingpun terdengar nyaring menyayat. Hanya sebentar saja orang itu masih mampu berdiri limbung. Kemudian ambruk menggelepar di tanah dengan kepala retak dan goloknya sendiri tertancap di dada. Darah bercucuran deras membasahi rerumputan yang masih basah oleh embun ini. Sementara Jaka sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan manis dan ringan sekali. Sedangkan pembokongnya itu sudah menggeletak kaku tak bernyawa lagi.
"Phuih!"
"Setan...!" geram Sutawijaya melihat salah seorang tukang pukulnya tewas tertikam goloknya sendiri.
Dengan kemarahan yang meluap, dia langsung melompat menerjang Jaka yang baru saja menjejakkan kakinya kembali di tanah. Beberapa pukulan keras disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan secara beruntun. Membuat Jaka terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan tampaknya Sutawijaya benar-benar ingin mengirim pemuda desa ini ke liang kubur.
"Suiiit...!"
Sambil mencecar lawannya, Sutawijaya masih Sempat memberikan siulan yang panjang. Hingga seketika itu juga, sembilan orang tukang pukulnya berlompatan mengeroyok pemuda dari Desa Galagang ini.
"Hiyaaaat...!"
"Yeaaah...!"
Serangan-serangan cepat dan dahsyatpun berdatangan dari segala arah. Membuat Jaka semakin kerepotan saja menghindarinya. Beberapa kali tebasan golok dan pukulan bertenaga dalam cukup tinggi berhasil dihindarinya. Tapi menghadapi keroyokan seperti ini, Jaka kelihatan mulai kewalahan juga. Setelah beberapa jurus berlalu, pemuda dari Desa Galagang itu mulai kelihatan kewalahan. Dan beberapa kali dia harus menerima pukulan serta tendangan yang sangat keras, dan mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Hingga pertahanannya pun semakin goyah saja.
"Hiyaaat....!"
Begitu cepat sekali Sutawijaya melompat sambil melepaskan satu pukulan keras, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Tepat disaat Jaka baru saja menghindari sabetan golok salah seorang pemuda berpakaian mewah itu. Hingga serangan Sutawijaya yang begitu cepat, tidak dapat lagi dihindari. Dan...
"Des!"
"Akh...!"
Jaka terpekik begitu pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di dadanya. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Sutawijaya, sehingga membuat tubuh pemuda desa itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Dan belum juga tubuhnya bisa menyentuh tanah, satu tendangan keras menggeledek sudah mendarat lagi di tubuhnya.
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Kembali Jaka terpekik keras. Dan tubuhnya kembali terpental ke depan dengan keras sekali, setelah menerima tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu. Kali ini dia jatuh dengan keras sekali ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari hujaman golok yang datang begitu cepat sekali, begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Hiyaaat...!"
Namun disaat Jaka tengah kewalahan menghadapi serangan beruntun itu, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras menggelegar bagai guntur di siang hari. Dan tahu-tahu orang-orang yang tengah membabatkan goloknya ke tubuh Jaka sudah berpentalan ke belakang sambil menjerit kesakitan. Hal ini tentu saja membuat Jaka jadi terlongong bengong.
Apalagi saat itu dia benar-benar sudah tidak mampu lagi untuk menghindar terus. Namun menyadari kalau ini merupakan kesempatan yang sangat baik, cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri. Namun kakinya tidak lagi mantap menjejak tanah. Dan tubuhnya pun sedikit limbung. Tapi pemuda itu bisa dengan cepat menguasai keseimbangan tubuhnya walaupun terasa seluruh tulangnya bagai berpatahan di dalam tubuh.
Walau dengan mata sedikit berkunang-kunang, dia masih sempat melihat bayangan merah berkelebatan begitu cepat sekali menghajar sembilan orang tukang pukul Sutawijaya, hingga mereka berpelantingan tidak mampu lagi bertahan. Jeritan-jeritan panjang kesakitan terus terdengar saling susul.
Sementara Sutawijaya juga jadi terlongong bengong melihat orang-orangnya berpelantingan dihajar bayangan merah yang berkelebatan begitu cepat sekali bagai kilat itu. Hingga dalam waktu yang sangat singkat sekali, tidak ada seorangpun dari sembilan tukang pukul Sutawijaya itu yang bisa bangkit lagi. Mereka semua bergelimpangan sambil merintih kesakitan. Wajah mereka babak belur dan biru lebam. Serta golok-golok mereka berpatahan tidak berbentuk lagi, walaupun dari rintihannya sudah bisa dipastikan kalau tak ada seorangpun yang tewas.
Sementara bayangan merah yang muncul begitu tiba-tiba itu, kini lenyap tak terlihat lagi. Entah kemana perginya. Bagaikan hilang ditelan bumi saja. Sedangkan Sutawijaya masih terlongong bengong tidak mengerti dengan kejadian yang begitu cepat tadi. Dan dia hanya bisa memandangi orang-orangnya yang mulai bergerak bangkit sambil merintih kesakitan.
Sedangkan Jaka masih tetap berdiri pada tempatnya, memandangi Sutawijaya dan sembilan orang tukang pukulnya yang mulai bangkit berdiri lagi. Rasanya sudah tidak mungkin lagi mereka bisa meneruskan pertarungannya mengeroyok Jaka. Keadaan mereka kelihatan payah sekali, setelah dihajar bayangan merah misterius tadi.
"Hm, Siapa dia...? kenapa menolongku...?" gumam Jaka bertanya sendiri di dalam hati.
Saat itu Sutawijaya melangkah menghampiri pemuda Desa Galagang ini. Dia kemudian berdiri sekitar tujuh langkah lagi di depan Jaka. Walaupun masih diliputi rasa heran bercampur ketidak mengertian, tapi sorot matanya memancar begitu tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata Jaka.
"Urusan ini belum selesai, Jaka. Satu saat aku pasti akan memenggal lehermu!?" desis Sutawijaya dingin. Dia langsung memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah pergi dengan ayunan kaki yang cepat dan lebar-lebar.
Sementara Jaka masih tetap berdiri memandangi tak berkedip sedikitpun juga. Sementara sembilan orang tukang pukul itu mengikuti Sutawijaya, pergi meninggalkan tempat ini. Tak ada seorangpun lagi yang mengeluarkan suara. Mereka terus berjalan pergi dengan langkah yang cepat. Hingga sebentar saja mereka semua sudah tidak terlihat lagi, setelah melewati tikungan jalan setapak yang langsung menuju ke Desa Galagang.
"Hmmm..., dia pasti tidak akan bisa diam sebelum membunuhku," gumam Jaka perlahan. Tatapan matanya masih tetap tertuju ke arah tikungan jalan. Meskipun Sutawijaya dan sembilan orang tukang pukulnya sudah tidak terlihat lagi di sana.
"Tapi, siapa orang yang telah menolongku tadi...?" gumam Jaka lagi, bertanya pada dirinya sendiri. Memang begitu cepat sekali kejadiannya, hingga tak ada seorangpun yang bisa mengetahui, siapa orang yang ada di balik bayangan merah itu tadi. Dan pertanyaan itu terus menggelantung di dalam benak Jaka. Namun begitu, dia masih bisa bersyukur, karena masih ada orang yang mau menolongnya disaat sedang terdesak tadi. Kalau saja tidak ditolong orang misterius itu tadi, mungkin saat ini nyawanya sudah tidak melekat lagi di badan.
"Siapapun dia, aku harus mengucapkan terima kasih," desah Jaka perlahan. Dan perlahan pula dia mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini.

***

119. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Cinta BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang