BAGIAN 7

289 20 0
                                    

Seharian penuh Jaka terikat terbaring menelentang di tengah-tengah halaman depan rumah Ki Ranta. Kedua tangan dan kakinya terpaku pada tonggak-tonggak kayu. Seharian penuh dia terbakar matahari tanpa ada setetespun air yang mengalir melalui tenggorokannya. Dan ini membuat bibirnya jadi pecah-pecah. Sedangkan saat itu matahari sudah tenggelam di balik peraduannya. Dan embun yang turun membuat luka-luka di tubuh pemuda itu jadi terasa sangat perih sekali.
Namun Jaka hanya dapat merintih lirih. Dia benar-benar tidak punya daya lagi untuk dapat membebaskan diri dari belenggu ini. Seluruh tenaga yang dimilikinya benar-benar terkuras habis, dengan siksaan yang tidak pernah terbayangkan selama hidupnya. Siang tadi, entah sudah berapa cambukan diterimanya. Sutawijaya benar-benar melampiaskan kemarahannya, karena Jaka tetap bungkam tidak mau memberitahu di mana kini Sari berada. Walaupun dia harus menerima siksaan yang begitu pedih.
"Tuk!"
"Ugkh!"
Tiba-tiba Saja Jaka merasakan ada sesuatu yang menghantam pelipisnya. Dan belum lagi dia bisa mengetahui benda apa yang menghantam pelipisnya, kembali dia merasakan hantaman yang serupa secara beruntun pada beberapa bagian tubuhnya yang tertentu. Dan seketika itu juga, Jaka merasakan tubuhnya jadi lemas, benar-benar tidak dapat digerakan lagi. Tapi saat itu juga dia tidak lagi merasakan perih pada luka-lukanya. Seakan tubuhnya tidak mendapat luka sedikitpun juga.
"Jaka...!"
"Eh...?!" Jaka tersentak kaget ketika tiba-tiba dia mendengar bisikan yang sangat halus sekali, tapi terdengar begitu dekat ditelinganya. Dia mencoba menggerakkan kepalanya. Perlahan kepalanya bisa bergerak ke kiri, lalu kembali bergerak ke kanan. Tapi tak ada seorangpun yaug dilihatnya, kecuali para penjaga yang duduk melingkari api unggun agak jauh darinya.
"Jaka..."
Suara bisikan itu kembali terdengar. Tepat dari sebelah kiri. Jaka kembali berpaling ke kiri. Tapi tetap saja dia tidak melihat ada orang lain didekatnya. Padahal suara bisikan itu demikian jelas sekali terdengar. Suara bisikan yang sangat halus sekali, namun sangat jelas terdengar di telinganya.
"Siapa itu?" tanya Jaka dengan suara yang berbisik perlahan. Tidak ingin didengar para penjaga yang duduk melingkari api unggun.
"Bertahanlah sebentar. Aku akan membebaskanmu," kata suara itu lagi, masih terdengar sangat halus sekali.
Belum juga Jaka membuka suara lagi, tiba-tiba saja terdengar suara seperti benda-benda yang sangat berat berjatuhan. Suara itu datang dari arah api unggun. Dan begitu Jaka memalingkan mukanya, dia jadi terperanjat setengah mati. Karena para penjaga yang tadi duduk melingkari api unggun kini sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi.
Dan belum lagi hilang keterkejutan pemuda itu, kembali dia dikejutkan dengan berdesirnya hembusan angin dingin di tubuhnya. Saat itu juga terlihat sebuah bayangan merah berkelebatan sangat cepat sekali memutari tubuh pemuda ini. Tahu-tahu semua ikatan tangan dan kaki Jaka pada tonggak kayu, sudah terlepas semua. Cepat-cepat Jaka menggerakkan tubuhnya. Lalu dia bergegas bangkit berdiri. Tapi baru saja dia melangkah beberapa tindak hendak pergi, mendadak saja....
"Mau kemana kau, monyet busuk!"
"Oh...?" Jaka jadi tersentak kaget, begitu mendengar suara bentakan yang sangat keras sekali dari belakang. Namun belum juga dia bisa memutar tubuhnya berbalik, pemuda itu merasakan desiran angin yang halus dari arah belakangnya. Tapi pada saat itu juga....
"Dugkh!"
"Ugkh...!"
"Heh...?!"
Kembali Jaka terkejut dan cepat-cepat memutar tubuhnya berbalik. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat Sutawijaya menggeletak di tanah sambil mengerang memegangi kepalan tangannya. Dan tidak jauh di depan pemuda itu, berdiri sesosok tubuh ramping, mengenakan baju berwarna merah menyala yang sangat ketat.
"Hup!"
Dengan gerakan yang sangat indah sekali, Sutawijaya melenting bangkit berdiri. Langsung dia melakukan beberapa gerakan cepat dengan kedua tangannya di depan dada. Dan kakinya menggeser ke belakang beberapa langkah. Sorot matanya terlihat begitu tajam sekali, tertuju lurus ke wajah sosok tubuh ramping berbaju merah menyala yang sangat ketat itu. Sebilah pedang dengan ujung gagangnya berbentuk bunga melati tersampir di pinggangnya yang kecil dan ramping. Sosok tubuh berbaju merah menyala itu tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikitpun. Sedangkan tepat di belakangnya Jaka berdiri mematung. Seakan dia tengah bermimpi saat ini.
"Siapa kau...?" bentak Sutawijaya dengan suara yang terdengar agak bergetar.
"Tidak perlu kau tahu siapa aku, Sutawijaya! Hanya satu yang perlu kau ketahui..." terdengar sangat dingin dan datar sekali nada suara sosok tubuh berbaju merah itu. "Kau tidak pantas lagi hidup di Mayapada ini, Sutawijaya. Bersiaplah menerima kematianmu!"
"Keparat...!" desis Sutawijaya jadi geram.
"Sret!" Sutawijaya langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Tapi baru saja pedang itu tercabut dari warangkanya, mendadak saja...
"Cring!"
"Bet!"
"Heh...?!"
"Trang!"
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Karena begitu cepat sekali sosok tubuh berbaju serba merah itu mencabut pedangnya, dan dengan kecepatan bagai kilat pula dia mengebutkan pedang itu ke arah leher Sutawijaya. Namun dengan gerakan yang cepat pula Sutawijaya segera mengebutkan pedangnya, melindungi lehernya dari tebasan pedang itu.
"Hap!"
Bergegas Sutawijaya melompat ke belakang beberapa langkah. Sungguh dia sangat terkejut sekali merasakan tangannya bergetar karena beradu pedang tadi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, saat melihat ujung pedangnya gompal. Namun rasa keterkejutannya langsung lenyap. Dan dia menatap tajam pada sosok tubuh ramping berbaju serba merah itu.
"Setan keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaaat...!"
"Bet!"
"Haiiiit...!"
Hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, wanita berbaju serba merah yang menyelubungi seluruh kepalanya dengan kain merah itu berhasil menghindari tebasan pedang Sutawijaya. Bahkan dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali, dia membalas serangan pemuda itu dengan sabetan pedangnya pula.
"Ikh!"
"Tring!"
Namun Sutawijaya masih bisa menangkis serangan balik itu dengan pedangnya, walaupun dia harus terpekik kecil, dan hampir saja pedangnya terpental lepas dari genggaman tangannya. Saat itu juga Sutawijaya menyadari kalau kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah tinggi dibandingkan lawannya ini. Cepat-cepat dia melompat ke belakang sejauh beberapa langkah.
Tapi baru saja Sutawijaya menjejakkan kakinya kembali di tanah, wanita berbaju serba merah itu sudah melesat cepat bagai kilat, dan langsung melepaskan satu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan wanita misterius itu, hingga Sutawijaya tidak sempat lagi berkelit menghindari. Terlebih lagi saat itu keseimbangan tubuhnya memang belum sempurna. Hingga....
"Hiyaaaa!"
"Begkh!"
"Akh...!"
Sutawijaya terpental ke belakang sambil menjerit, begitu dadanya terkena pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dari wanita misterius berbaju merah menyala itu.
"Saat kematianmu sudah tiba, Sutawijaya! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat wanita itu meluruk deras tanpa memberi kesempatan sedikitpun pada Sutawijaya untuk bangkit berdiri kembali. Pedangnya yang berkilatan tajam, diarahkan langsung ke leher pemuda itu. Namun begitu pedang itu terayun hendak memenggal leher Sutawijaya, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat sangat cepat sekali memotong arus wanita misterius berbaju merah menyala itu.
"Ikh...!"
Cepat-cepat wanita bertubuh ramping yang mengenakan baju warna merah menyala itu memutar tubuhnya ke belakang menghindari terjangan bayangan hitam. Beberapa kali dia berjumpalitan di udara. Kemudian dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat matanya menatap ke arah Sutawijaya, tahu-tahu di depan pemuda yang masih terlentang itu sudah berdiri seorang laki-laki tua yang mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam pekat. Di tangan kanannya tergenggam sebuah tongkat yang juga berwarna hitam.
"Ki Jarak..." desis wanita itu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Hehehehe...! Tidak perlu kau menutupi wajahmu di depanku, Ranjani," ujar laki-laki tua berjubah hitam itu diiringi suara tawanya yang terkekeh serak.
"Heh...? Bagaimana kau tahu...?" wanita itu tampak terkejut.
"Tidak ada seorangpun yang bisa menggunakan jurus Pukulan Kelelawar Hitam selain murid Eyang Waskita," sahut Ki Jarak terus diikuti dengan suara tawanya yang terkekeh kering.
Sementara Jaka yang mendengar semua percakapan itu jadi terlongong bengong. Dia benar-benar tidak menyangka kalau orang misterius yang selama ini selalu menolongnya ternyata Ranjani. Dia tahu kalau gadis itu bukan hanya murid Eyang Waskita yang juga gurunya. Tapi Ranjani adalah putri tunggal Eyang Waskita. Dan selama ini semua orang tahu kalau Ranjani sedang pergi mencari bibinya. Dan itu juga atas perintah Eyang Waskita sendiri. Tapi siapa yang akan menyangka kalau Ranjani ada di desa ini.
Jaka bergegas menghampiri Ranjani yang kini sudah membuka kain merah yang menyelubungi kepala dan wajahnya, bersamaan dengan berdirinya Sutawijaya. Pemuda itu mengambil tempat di samping sebelah kanan Ki Jarak. Dan semua orang tahu kalau Ki Jarak adalah guru Sutawijaya, setelah pemuda itu mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dari Eyang Waskita juga. Tapi memang tidak terlalu lama Sutawijaya berguru pada Eyang Waskita. Karena dia mendapatkan guru yang dianggapnya lebih tinggi ilmunya dari Eyang Waskita. Dan memang tingkat kepandaian yang dimiliki Ki Jarak berada dua tingkat di atas Eyang Waskita.
"Bunuh saja mereka berdua, Ki!" dengus Sutawijaya dengan napas memburu menahan berang.
"Kalian dengar permintaan muridku ini...? Sudah lama aku ingin melihat kematian ayahmu, Ranjani. Dan ternyata muridku ini sudah melaksanakannya lebih dulu. Dan sekarang dia memintaku untuk melenyapkan kalian juga. He he he he... pekerjaan yang sangat mudah," ujar Ki Jarak memandang remeh.
"Bet!"
"Awas....!" Seru Ranjani.
"Hup! Yeaaaah...!"
"Hap!"
Ranjani dan Jaka langsung berlompatan menyebar ke samping, begitu Ki Jarak mengebutkan tongkatnya ke depan. Tepat disaat dari ujung tongkat itu meluncur secercah cahaya kuning keemasan yang meluruk deras bagai kilat. Tapi cahaya kuning keemasan itu hanya mengenai tempat yang kosong, dan menyambar sebuah pohon beringin hingga hancur berkeping-keping, memperdengarkan suara ledakan yang sangat dahsyat menggelegar memekakkan telinga.
"Hiyaaat...!" Ki Jarak tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia melompat menerjang Ranjani yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Laki-laki tua yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya itu langsung melepaskan pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi secara beruntun dengan kecepatan yang sangat dahsyat luar biasa.
"Haiiiit...!" Tapi Ranjani memang bukan gadis sembarangan. Gerakan-gerakannya sungguh indah dan cepat sekali. Tubuhnya meliuk-liuk bagai ular, menghindari serangan beruntun yang dilancarkan musuh ayahnya ini. Hingga pertarungan tidak dapat dihindarkan lagi. Pertarungan yang sangat cepat dan dahsyat sekali.
Sementara Sutawijaya juga sudah mendesak Jaka. Hingga di halaman depan rumah Ki Ranta menjadi ajang pertarungan, dan membuat tempat itu bagai diamuk puluhan banteng liar. Sebentar saja sudah tidak terhitung lagi berapa pohon yang tumbang dan hancur terkena pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi.
Sementara debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Teriakan-teriakan pertarungan yang diiringi denting suara senjata beradu, membuat penduduk Desa Galagang ke luar dari rumahnya. Tapi tak ada seorangpun yang berani mendekat. Apa lagi ikut campur dalam persoalan itu. Mereka hanya bisa menyaksikan dari jarak jauh. Dan dari dalam rumahpun Ki Ranta bersama istrinya ke luar dari dalam rumahnya. Mereka tampak cemas melihat pertarungan dalam tingkat tinggi itu.
Pertarungan di halaman depan rumah Ki Ranta masih terus berlangsung dengan sengit. Tampak sekali terlihat kalau Ki Jarak sudah menguasai jalannya pertarungan. Bahkan jurus Pukulan Kelelawar Hitam yang dikeluarkan Ranjani, tidak berarti sama sekali dalam menghadapi laki-laki tua itu. Hingga gadis itu benar-benar tidak dapat lagi mengimbangi jurus-jurus yang dilancarkan lawannya ini. Dan kini dia hanya dapat berkelit menghindar, tanpa mampu lagi membalas serangan-serangan yang dilancarkan Ki Jarak.
"Yeaaah...!" Begitu cepat sekali Ki Jarak melesat ke udara. Dan langsung dia menukik dengan kecepatan tinggi, sambil melepaskan satu pukulan menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tepat mengarah ke kepala Ranjani.
"Hap!"
Namun dengan gerakan yang sangat manis sekali, Ranjani berhasil menghindari serangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Ki Jarak memutar tubuhnya di udara dengan kecepatan yang sulit sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu laki-laki tua berjubah hitam itu sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek. Begitu cepatnya serangan susulan yang dilakukan Ki Jarak, sehingga Ranjani tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
"Begkh!"
"Akh...!"
Ranjani menjerit keras, begitu dadanya terkena tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Ki Jarak. Gadis itu seketika terpental ke belakang tanpa dapat dikuasai lagi keseimbangan tubuhnya. Dan baru berhenti setelah menghantam sebuah pohon berukuran cukup besar.
"Hoeeeeekh...!"
Darah kental berwarna merah agak kehitaman, langsung muncrat ke luar dari mulut gadis itu. Dia berusaha bangkit berdiri. Tapi tendangan yang mendarat di dadanya, membuat napasnya jadi sesak dan terasa nyeri sekali. Pandangannya pun jadi mengabur berkunang-kunang, Saat itu Ki Jarak sudah melangkah menghampiri. Ujung tongkatnya yang runcing tertuju lurus ke arah gadis itu. Dan tatapannya pun tidak berkedip, bersorot tajam mengamati Ranjani yang masih berusaha untuk bangkit berdiri, walaupun napasnya semakin sesak. Bahkan seluruh rongga dadanya bagaikan hancur, akibat terkena tendangan dahsyat bertenaga dalam sangat tinggi tadi.
"Bersiaplah menerima kematianmu, Ranjani," desis Ki Jarak dingin menggetarkan.
"Ugkh!" Ranjani hanya bisa mengeluh pendek. Dia benar-benar sudah tidak memiliki daya lagi. Bahkan untuk mengangkat tubuhnya saja terasa sudah tidak mampu lagi.
"Oh, matilah aku...." desah Ranjani mengeluh dalam hati.
Sementara itu, di lain tempat, pertarungan antara Sutawijaya dan Jaka masih berlangsung dengan sengit. Dan tampaknya kedua pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup seimbang. Sehingga pertarungan mereka masih terus berlangsung. Belum ada tanda-tanda sedikitpun kalau pertarungan akan berakhir. Meskipun mereka sudah sama-sama mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang cukup dahsyat. Tapi mereka masih terus saling menyerang dengan sengit.
Sedangkan Ki Jarak sendiri melangkah perlahan-lahan menghampiri Ranjani yang kelihatannya sudah pasrah menerima kematiannya di tangan laki-laki tua musuh bebuyutan ayahnya ini. Gadis itu sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu.
"Mampus kau, Ranjani! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, bagaikan kilat Ki Jarak melompat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah leher Ranjani. Sedangkan gadis itu hanya bisa terbeliak dengan mulut ternganga, tak mampu lagi bergerak untuk menghindari serangan laki-laki tua berjubah hitam itu. Tapi, tepat ketika ujung tombak yang runcing itu hampir memenggal leher Ranjani, mendadak saja....
"Slap!"
"Wus!"
"Tak!"
"Heh...?"

***

119. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Cinta BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang