BAGIAN 1

666 22 3
                                    

Debu mengepul di udara ketika dua orang yang melewati tempat itu memacu kudanya dengan kencang. Melihat debu dan keringat yang mengering di tubuh agaknya bisa diduga bahwa mereka telah mengadakan perjalanan yang cukup jauh.
Yang berada dipunggung kuda berwarna putih adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dan berperawakan gagah serta menyandang pedang di punggungnya. Yang seorang lagi bertubuh kurus dengan muka peot dan kumis panjang tipis-tipis. Kulitnya hitam dan berwajah seram. Orang itu memiliki sebuah kapak besar yang terselip di pinggangnya.
Tiba di sebuah gedung bertembok tinggi keduanya menghentikan lari kudanya. Di pintu gerbang tampak berdiri tegak dua sosok penjaga yang mendekati mereka dengan wajah curiga.
"Siapa kalian dan mau apa kesini?" tanya salah seorang penjaga dengan nada datar penuh selidik.
"Katakan pada majikanmu, aku Walukarnawa dan ini adikku Baladewa bermaksud memenuhi undangannya." sahut orang yang bertubuh kurus.
Kedua penjaga itu memperhalikan mereka barang beberapa saat, kemudian salah seorang kembali bertanya. "Mana undangan kalian?"
"Kakang, aku mulai kesal kalau begitu caranya...," Pemuda penunggang kuda putih yang bernama Baladewa menggerutu kesal.
Tapi kakaknya yang bernama Walukarnawa itu agaknya lebih bisa bersikap sabar ketimbang adiknya. Dia mengeluarkan sehelai kulit kambing dari balik bajunya dan menunjukkannya pada kedua penjaga itu. Setelah memeriksanya, barulah keduanya mempersilahkan mereka masuk ke dalam.
Bangunan yang berada di dalam terlihat megah dan bertingkat dua. Halamannya banyak ditumbuhi bunga dan beberapa kolam kecil yang berisi ikan warna-warni yang berenang hilir mudik. Keduanya turun dari punggung kuda dan seorang menggiring kuda itu kedalam kandang untuk dibersihkan dan diberi makan.
"Silahkan, Kisanak. Ki Sobrang dan Ki Degil telah menunggu." kata seorang bermuka hitam sambil memberi normat pada kedua tamunya itu.
Walukarnawa dan Baladewa mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka menaiki undakan anak tangga dan terus berjalan di lorong sebelah kanan, mengikuti orang tadi dibelakangnya.
"Silahkan...," kata orang bermuka hitam itu menundukkan tubuh sambil menunjuk pada sebuah ruangan.
"Terima kasih. Siapa namamu," tanya Walukarnawa.
"Hamba hanya pelayan di sini. Nama hamba Keken...."
Walukarnawa mengangguk kemudian mengajak adiknya melangkah masuk. Didalamnya terdapat sebuah pintu lagi yang dijaga oleh kedua orang bersenjata tombak. Keduanya kembali memeriksa dan setelah yakin bahwa mereka termasuk dalam daftar tamu yang diundang keduanya dipersilahkan masuk.
"Ah, selamat datang Ki Walukarnawa dan...," Seorang yang duduk pada sebuah kursi rotan besar menyambut mereka dengan suara yang agak keras.
"Ini adikku, Baladewa...," sahut Walukarnawa sambil memberi penghormatan.
Begitu juga yang dilakukan adiknya. Di depan mereka pada jarak dua tombak, duduk pada kursi rotan yang lebar dua orang laki-laki bertampang gagah. Keduanya memiliki kumis melintang dan tubuh tegap berisi. Yang lebih tinggi dan usianya lebih tua bernama Ki Sobrang dan yang lebih muda bertubuh sedikit pendek bernama Ki Degil. Di depan mereka saling berhadapan duduk bersila sepuluh orang tokoh persilatan yang telah lebih dulu tiba. Setelah memberi penghormatan pada yang lainnya. Ki Sobrang mempersilahkan kedua tamunya itu untuk duduk.
"Kukira setelah kedatangan Ki Walukarnawa dan Baladewa, maka pertemuan ini bisa dimulai..." lanjut Ki Sobrang.
"Kukira juga begitu, Kakang Sobrang..." sambung Ki Degil.
Ki Sobrang memandang kepada tamu-tamunya yang melihat bahwa mereka menganggukkan kepala. Kemudian dia menepuk tangan, dan beberapa saat kemudian keluarlah beberapa orang pelayan wanita yang membawa nampan berisi buah-buahan serta makanan lainnya. Tak ketinggalan beberapa guci arak wangi.
"Kisanak, silahkan dicicipi makanan dan buah-buahan ini ala kadarnya. Kemudian setelah itu, baru kita bicarakan kepentingan kita bersama!" seru Ki Sobrang dengan ramah.
Dia sendiri menuangkan arak dalam cawan, dan diikuti oleh tamu-tamunya.
"Untuk kemuliaan dan keagungan, Ki Sobrang serta Ki Degil!" ucap salah seorang tamu.
"Untuk keperkasaan, Sepasang Naga Pertala!" lanjut seorang lagi.
"Dengan ini, semoga cita-cita Ki Sobrang dan Ki Degil berhasil gemilang!" timpal yang lainnya.
Ki Sobrang dan Ki Degil mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dan beberapa saat kemudian mereka menyantap hidangan yang telah lersedia.
Ki Sobrang dan Ki Degil memang merupakan tuan rumah yang ramah dan bersahabat. Disamping itu mereka juga pandai menyelenggarakan pertemuan sehingga tanpa menimbulkan ketegangan dan suasana yang kaku. Bahkan terlihat santai meski apa yang dibicarakan ternyata suatu rencana yang amat berbahaya. Tapi banyak tokoh-tokoh persilatan yang diundangnya merasa setuju. Mereka tahu dan yakin, bahwa kedua tokoh yang bergelar Sepasang Naga Pertala itu bukanlah orang sembarangan.
Bukan mustahil kalau keduanya telah mempersiapkan segalanya dari jauh hari dan dengan perhitungan yang matang. Tapi meski demikian, ada juga diantaranya yang merasa sinis terhadap mereka. Satu diantaranya adalah Baladewa, adik Walukarnawa. Sejak awal dia memang sudah menunjukkan sikap sinis meski tak terang-terangan menyatakan ketidak setujuannya.
"Untuk apa kita bermalam segala di sini? Sudah, putuskan saja bahwa kita tak mau bergabung dengan mereka!" sentaknya kesal sambil bersungut-sungut.
"Kau harus lebih bisa mengendalikan kesabaranmu. Baladewa...."
"Jadi Kakang setuju membantu rencana mereka?!"
"Aku tak mengatakan begitu."
"Lalu untuk apa kita berlama-lama di sini? Lebih baik kita pulang malam ini juga!"
"Sabarlah Baladewa. Apakah kau pikir aku tak punya rencana untuk berbaik-baik dengan mereka?"
"Rencana? Rencana apa maksudmu?"
Walukarnawa tak langsung menjawab. Sebaliknya dia memandang ke sekeliling tempat itu. Beberapa orang penjaga tampak masih hilir mudik dan suasana malam bertambah kelam dan dingin. Kemudian terdengar Walukarnawa memperkecil suaranya.
"Apa kau pikir dia saja yang berkeinginan menjadi raja?"
"He, keinginan lamamu agaknya tak pernah hilang!" Baladewa ketawa kecil.
"Tapi aku tak ingin bentrok dengan mereka!" sanggah Walukarnawa cepat.
"Jadi kau bermaksud memperalat mereka dengan cara halus?"
"Bisa dikatakan begitu. Maksudku, kalau Ki Sobrang dan Ki Degil bermaksud merebut tahta di wilayah ini, maka sebaliknya aku lebih berminat menduduki kerajaan di wilayah barat. Kalau hari ini kita membantu mereka, maka mereka pun tentu akan dengan senang hati membantu kita," jelas Walukarnawa.
"Bagaimana kalau mereka tak mau?"
"Aku tahu bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil cukup bijaksana untuk tidak menolak. Kalau kita bantu mereka, mustahil mereka tak mau membantu kita juga..."
"Kakang, kedua orang itu terkenal licik dan penuh tipu muslihat. Bagaimana mungkin kau bisa percaya kepada mereka? Lagipula kalau hanya ingin merebut tahta kerajaan di wilayah barat, kau tak perlu jauh-jauh meminta bantuan pada tokoh-tokoh di sini. Di wilayah kita pun tak kurang tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Lagipula, apa yang kuharapkan dari mereka berdua? Kurasa tingkat kepandaian mereka biasa-biasa saja. Bahkan bukan tak mungkin mereka hanya punya pengaruh dari nama kosong belaka untuk merangkul tokoh-tokoh persilatan agar mau membantu rencana mereka," sergah Baladewa dengan nada sinis.
"Baladewa, kau belum banyak tahu seluk beluk dunia persilatan serta tokoh-tokohnya. Lebih baik kau tak keterlaluan menilai orang, sebab bisa jadi hal itu malah mencelakakan dirimu sendiri," Walukarnawa menasehati adiknya.
"Alaaah, Kakang! Kau terlalu banyak berhati-hati, padahal sebenarnya kau pun mengakui penilaianku itu. Apa untungnya kau mendekati mereka?"
Walukarnawa memandang adiknya itu beberapa saat dengan wajah tak senang. Kemudian katanya dengan suara pelan namun mengandung ketegasan. "Baladewa, apakah kau tak suka kuajak ke sini dan bergabung dengan mereka?"
"Bukan itu yang kumaksud, tapi aku tak suka kau memilih orang yang salah untuk membantu rencanamu nanti."
"Siapa yang kau katakan orang yang salah kupilih?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Sobrang dan Ki Degil? Apa yang kau harapkan dari mereka? Apa karena mereka kaya, berharta banyak, dan memiliki pasukan pengawal? Aku tak yakin mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Bukan mustahil pula kalau mereka sama sekali tak memiliki kepandaian!"
"Baladewa, hati-hati dengan ucapanmu!" Walukarnawa kembali memperingatkan ketika mendengar suara adiknya yang kian meninggi.
"Ah, apa kau pikir aku takut kalau dia mendengarnya?"
"Apa yang dikatakan Baladewa memang benar. Untuk apa takut kepada kami...."
"Heh!?" Kedua kakak beradik itu segera menoleh ke belakang ketika mendengar satu suara menyahuti kata-kata Baladewa. Di situ telah berdiri Ki Sobrang dan Ki Degil sambil melipat tangan di dada. Bersama mereka terlihat beberapa orang pengawal bersenjata lengkap.
"Ki Sobrang, Ki Degil... ah, kukira siapa tengah malam begini mengagetkan kami!" seru Walukarnawa sambil tersenyum kecil.
Orang itu memberikan salam penghormatan. Kedua tuan rumah itu tersenyum tipis. Mereka sempat berpaling dan melirik Baladewa yang diam membisu dengan wajah tak acuh meski Walukarnawa telah menyikutnya untuk memberi isyarat agar dia memperbatki sikap. Tapi adiknya itu agaknya memang sengaja bersikap begitu dan sama sekali tak memperdulikan isyarat abangnya.
"Kudengar percakapan kalian dan sebagai tuan rumah, rasanya tak sopan tidur lebih dulu daripada tamu. Oleh sebab itu kami bermaksud menemani kalian. Itupun jika kalian merasa tak keberatan...," sahut Ki Sobrang masih menunjukkan wajah ramah.
"Ah, tentu saja kami merasa tak keberatan. Tapi sayang dan beribu sesal bahwa kami sebenarnya akan beranjak ke dalam. Rasanya letih dan penat di tubuh ini sudah tak tertahankan lagi." kata Walukarnawa memberi salam agar kedua orang itu cepat berlalu dari situ.
"Hm, kalau demikian baiklah. Silahkan beristirahat Kisanak berdua. Dan untuk Baladewa, apa yang kau ucapkan tadi benar. Kami memang tak memiliki kemampuan, tapi jika sekedar menggebuk anjing yang cuma bisa menggonggong, rasanya tak perlu kepandaian tinggi..."
Baladewa yang memang sejak awal sudah tak suka melihat mereka berdua, jadi bertambah ketidak sukaannya mendengar sindiran Ki Sobrang itu. "Ki Sobrang, siapa yang kau maksud dengan anjing menggonggong itu?" tanyanya tak senang. Ki Sobrang yang tadinya sudah akan membalikkan tubuh, tiba-tiba memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Kemudian dia tersenyum kecil.
"Kau tentu tahu apa yang kumaksud," sahut Ki Sobrang pelan.
Baladewa mendengus geram. Matanya berkilat tajam saat memandang kepada Ki Sobrang. Walukarnawa mencoba untuk menyabarkan amarah adiknya yang hendak meledak-ledak itu. Namun dengan kasar ditepisnya lengan abangnya itu. Baladewa maju dua langkah sambil memandang gusar pada tuan rumah itu.
"Ki Sobrang, apakah kau merasa memiliki kepandaian setinggi langit dengan segala cita-citamu itu? Coba buktikan agar mataku terbuka!" seru Baladewa lantang sambil berdiri tegak.
Kata-kata yang diikuti dengan sikapnya itu menandakan bahwa Baladewa tetap siap menantang Ki Sobrang. Walukarnawa cepat bertindak sebelum Ki Sobrang memberi jawaban.
"Baladewa, apa-apaan kau ini?!"
"Diamlah, Kakang! Apakah seorang calon pimpinan tak pantas diuji? Kalau dia bisa mengalahkanku, bolehlah aku merasa yakin bahwa dia memang pantas menjadi seorang pemimpin. Tapi kalau tidak, untuk apa aku mengikuti orang yang tak bisa apa-apa." sahut Baladewa tegas.
"Ki Walukarnawa, betul kata adikmu. Nah, biarlah dia bermain-main denganku barang beberapa jurus...," menimpali Ki Sobrang sambil melangkah ke depan hingga jaraknya cuma lima langkah dari Baladewa.
"Silahkan...." Baladewa mulai membuka jurus.
Ki Sobrang tersenyum kecil sambil merentangkan tangan ketika melihat bahwa Walukarnawa masih mencoba menahan niat adiknya itu.
"Ki Walukarnawa, sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Akupun ingin sekali melihat kehebatan jurus ilmu silat dari perguruan kalian yang sudah kesohor itu," kata Ki Sobrang dengan suara tegas dan penuh wibawa.
Kemudian setelah berkata begitu dia memandang kepada Baladewa dan melanjutkan kata-katanya. "Kuberi kau tiga jurus untuk menyerangku, dan setelah itu maka aku akan berganti menyerangmu!"
Kata-kata itu dalam dunia persilatan sama artinya dengan meremehkan kepandaian lawan yang akan dihadapi. Dan Baladewa tentu saja semakin gusar mendengarnya. Sambil mendengus kesal dia memainkan jurus terhebatnya yang diberi nama Memukul Angin Menyaring Awan. Jurus itu terdiri dari delapan tingkat, dan tiga tingkat yang terakhir sangat ganas dan cepat diiringi tenaga dalam kuat. Jarang sekali lawan-lawannya mampu menghadapi jurus ini. Maka dengan membentak keras. Baladewa meluruk menghantam lawan.
"Yeaaa...!"
"Hup...."
Plak!
Ki Sobrang terlihat menghadapi serangan lawan dengan mantap. Ketika kepalan tangan lawan menghantam muka, dia memiringkan kepala menhindarinya. Tubuhnya langsung mencelat ke belakang ketika dengan tiba-tiba kepalan kiri Baladewa menyusul menghantam lambung dan diikuti dengan satu tendangan kilat yang bertenaga kuat. Baladewa mencelat dan menyusul tubuh lawan dengan gerakan laksana baling-baling. Tapi Ki Sobrang dengan ilmu peringan tubuhnya yang amat sempurna, menghilang dari pandangan lawan. Baladewa terkejut sendiri sebab lawan telah berdiri tegak satu tombak dibelakangnya. Dengan begitu jurus pertama telah berakhir.
"Silakan Baladewa...!" kata Ki Sobrang tersenyum kecil dengan sikap merendahkan.
Baladewa tak menyahut, melainkan langsung melompat menyerang lawan. Kali ini dia betul-betul mengerahkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
"Hiyaaa...!"
Terasa angin serangannya mendesir berat manakala tubuh Baladewa bergerak cepat menyerang lawan. Ki Sobrang sedikit terkejut, namun dia cepat menguasai diri. Tubuhnya berkelebat dan berputar bagai gasing menghindari serangan-serangan lawan yang gencar dan cepat bukan main. Sedikit pun tak terlihat bahwa dia merasa kesulitan akibat serangan Baladewa itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai sehelai daun kering yang tertiup angin.
Wuut!
"Hup!"
Bukan main penasarannya Baladewa ketika serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran. Dia mulai kalap dan menyerang lawan dengan membabi-buta.
Tentu saja Ki Sobrang jengkel melihat keadaan itu. Tiga jurus telah berlangsung dan Baladewa gagal menjatuhkannya Seharusnya gilirannya yang bertahan dan Ki Sobrang yang mulai menyerang. Tapi Baladewa seperti tak memperdulikan hal itu.
"Baladewa, bersiaplah kau! Aku akan balas menyerangmu!" bentak Ki Sobrang gemas.
Selesai dengan kata-katanya itu. Ki Sobrang melompat ke atas. Sebelah kaki Baladewa menghantam, namun dengan sigap Ki Sobrang menangkis dengan tangan kirinya, sedang kepalan tangan kanannya bergerak menghantam dada.
Plak!
Wuuut!
Baladewa tersentak kaget. Masih terasa angin kencang berdesir hebat seperti menghimpit dadanya saat serangan lawan berhasil dihindarinya dengan membuang tubuh kekanan. Kalau saja saat itu serangan Ki Sobrang mengenai dadanya, bukan mustahil dia akan terluka parah.
Tapi Ki Sobrang seperti tak memberikan kesempatan pada lawan. Dia terus mengejar dengan sapuan kaki kiri menghantam pinggang. Tubuh Baladewa terangkat ke atas. Namun dengan cepat Ki Sobrang menyambutnya dengan pukulan tangan kanannya yang tak mampu dihindari Baladewa.
Begkh!
"Aakh...!"
Baladewa mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjajar dan berdiri limbung kelika dia mencoba menahan rasa nyeri di perutnya. Sepasang matanya menyipit melihat lawan berdiri tegak sambil memperhatikannya dengan tersenyum kecil.
"Apakah itu cukup bagimu, Baladewa...?"
"Huh, aku belum kalah!" sentak Baladewa sambil bersiap menghadapi serangan lawan berikutnya.
Ki Sobrang tak menjawab. Dia mendengus gusar, dan tiba-tiba tubuhnya telah kembali melompat dengan satu serangan kilat. Baladewa bersiap menangkis.
"Yeaaa...!"
Plak!
Wuut!
Des!
"Aaaakh...!"
"Hiyaaa...!"
"Cukup. Ki Sobrang...!"
Kembali Baladewa menjerit keras dan tubuhnya terbanting dengan darah menetes dari sela bibirnya terkena hajaran lawan. Meskipun dia berusaha menghindar, namun gerakan Ki Sobrang terlihat cepat sekali. Bahkan Baladewa tak sempat mengetahui bagaimana caranya tiba-tiba saja lawan berhasil menyarangkan pukulan kedadanya. Kalau saja saat itu Walukarnawa tak cepat bergerak menahan serangan Ki Sobrang selanjutnya, niscaya Baladewa akan menderita luka dalam yang sangat parah.
Walukarnawa memapah tubuh adiknya sambil memandang kepada Ki Sobrang yang masih tegak berdiri di dekat mereka. "Ki Sobrang, kukira cukuplah pelajaran yang kau berikan pada adikku yang bodoh ini. Dia memang tidak tahu apa-apa soal ilmu silat. Harap kau menjadi maklum adanya...," kata Walukarnawa.
"Ki Walukarnawa, aku masih menghormati kalian sebagai sekutuku, dan kuharap jangan coba-coba merendahkan kami. Kalau saja kalian orang lain dan bukan tamuku, niscaya adikmu itu dan kau sendiri tak akan selamat dari tanganku. Apa kalian pikir aku tak mendengar pembicaraan kalian, he? Pergilah dari tempatku sekarang juga. Aku tak sudi punya sekutu yang nantinya bisa menikamku dari belakang!" sahut Ki Sobrang tegas.
Walukarnawa tak banyak kata lagi. Mendengar kata-kata tuan rumah yang tegas dan pedas itu, mereka scgera berlalu dari tempat itu diiringi pandangan mata sinis Ki Sobrang dan Ki Degil, serta beberapa orang pengawal mereka. Kemudian setelah keduanya menghilang, dia memandang berkeliling dan melihat beberapa tokoh persilatan yang tadi berkumpul di tempatnya menyaksikan peristiwa itu. Mereka berlalu ke kamarnya masing-masing tanpa banyak bicara. Namun dengan cara itu, Sepasang Naga Pertala seperti memberi peringatan bahwa dia tak pandang bulu kepada siapa saja yang mencoba menentang dan meremehkannya.

***

120. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Mahkota BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang