BAGIAN 2

400 18 0
                                    

Rumah kediaman Adipati Mungkaran terlihat ramai oleh beberapa orang prajurit bersenjata. Hal ini tak seperti biasanya. Entah kenapa, tiba-tiba saja adipati yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menambah jumlah pengawalnya dua kali lipat dari sebelumnya. Padahal selama ini para pengawalnya meski tak lebih dari lima belas orang, namun mereka adalah orang-orang pilihan.
Dia sendiri yang menguji dan melihat bagaimana kemampuan mereka masing-masing. Dan disamping itu pula, entah apa yang membuatnya merasa khawatir sehingga menambah jumlah para pengawalnya. Padahal semua orang mengetahui bahwa Adipati Mungkaran bukanlah sekedar laki-laki berkedudukan tinggi dan kaya raya, tapi juga memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup hebat.
Senja belum lagi gelap ketika di kejauhan terlihat dua orang penunggang kuda mendatangi tempatnya. Yang seorang adalah gadis belia berwajah buruk rupa, berambut panjang dan mengenakan baju ungu dengan celana panjang putih. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki tua berambut putih memakai baju hijau. Melihat raut wajahnya, paling tidak dia berusia diatas lima puluh tahun. Namun tubuhnya masih terlihat tegap dan perawakannya pun gagah dengan sorot mata tajam bagai seekor elang. Di pintu gerbang keduanya dihadang oleh dua orang pengawal yang menyilangkan tombak mereka.
"Katakan pada majikanmu, aku Ki Ageng Tebung telah datang...!" kata orang tua itu sebelum para pengawal menanyakan maksud tujuannya ke tempat ini.
Mendengar orang tua itu menyebutkan nama, berubahlah paras kedua pengawal itu. Keduanya tersenyum kecil sambil menjura hormat. "Oh, kiranya Ki Ageng Tebung yang datang. Maafkan kami yang bodoh tak bisa mengenali orang. Silahkan, Ki Ageng, Kanjeng Adipati telah menunggu Ki Ageng Tebung sejak tadi...!" sahut salah seorang pengawal dengan ramah.
Kawannya membukakan pintu gerbang dengan terburu-buru. Orang tua bernama Ki Ageng Tebung itu turun dan punggung kudanya. Begitu pula dengan gadis yang menyertainya. Seorang pengawal membawa kuda mereka ke belakang untuk dibersihkan dan diberi makan rumput.
"Silahkan, Ki Ageng..," kata salah seorang pengawal menunjukkan jalan kepada orang tua itu.
“Terima kasih...."
Namun belum lagi mereka tiba di pintu depan, seorang laki-laki berbaju mewah telah menyambut dengan wajah gembira. Sambil berlari-lari kecil dia menghampiri dan menjura hormat di depan orang tua itu.
"Eyang, oh syukurlah kau datang ke sini..., terimalah salam hormat muridmu!"
"Mungkaran, hmm... kau semakin gagah saja kulihat dengan pakaianmu itu. Bangunlah!"
"Terima kasih, Eyang. Silahkan...!" sahut laki-laki yang tak lain daripada Adipati Mungkaran sendiri.
Ketiga orang itu segera beranjak ke dalam dan diantar sendiri oleh Sang Adipati ke dalam suatu ruangan yang mewah dengan lantainya beralaskan permadani tebal dan hiasan-hiasan lukisan serta patung-patung kayu yang indah dan halus buatannya. Beberapa kursi terlihat diukir indah mengelilingi sebuah meja persegi empat.
Adipati Mungkaran kemudian memanggil beberapa orang pelayannya untuk mengeluarkan hidangan lezat dan segar bagi kedua orang itu. "Eyang, apakah kau hendak langsung beristirahat ataukah membersihkan diri dulu, atau...."
"Ah, jangan banyak basa-basi segala. Aku ingin tahu, gerangan apa yang membuatmu mengundangku ke sini. Isi suratmu seperti mengisyaratkan kecemasanmu akan sesuatu. Nah, katakanlah!" sahut Ki Ageng Tebung tanpa basa-basi.
Adipati Mungkaran tak langsung menjawab. Dia melirik sekilas pada gadis berwajah buruk disebelah gurunya. Gadis itu terlihat menundukkan kepala dipandang begitu rupa.
"Eh, ng... ini... ini..."
"Hm kau ingin mengatakan persoalan rahasia? Jangan khawatir, Putri Selari adalah orang kita sendiri. Oh, ya aku lupa memperkenalkannya ke padamu. Beberapa tahun lalu aku menemukannya di suatu kampung yang sedang diamuk oleh gerombolan perampok. Aku membawanya dan kuangkat menjadi muridku...," jelas Ki Ageng Tebung. Adipati Mungkaran tersenyum ketika gadis itu berdiri dan menjura hormat kepadanya.
"Kakang Adipati, terimalah salam hormat dari adikmu ini...," lirih terdengar suara gadis itu.
Adipati Mungkaran tersenyum tipis. Betapapun berusaha meredakan hati, namun tetap saja merasa risih saat memandang gadis itu. Mukanya dipenuhi kusut-kisut seperti bekas luka. Dan di beberapa bagian malah berlubang lubang kecil seperti bekas terkena penyakit cacar. Padahal kalau dilihat bagian tubuhnya yang lain, seperti tangan, amat jauh sekali perbedaannya. Kulit lengan gadis itu berwarna putih kekuning-kuningan dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Rambutnya hitam dan lebat sertakan bau harum. Tubuhnya pun berbentuk indah dengan lekuk-lekuk yang menawan. Kalau saja wajahnya cantik, maka lengkaplah sudah kesempurnaan gadis ini sebagai perawan baru mekar yang sulit dicari bandingan akan kecantikan serta keindahan tubuhnya.
"Mungkaran, kenapa kau terdiam? Tidak sukakah kau aku mengambil Putri Selari sebagai adik seperguruanmu?" tegur Ki Ageng Tebung.
"Eh, maafkan aku, Eyang. Pikiranku sedang kacau. Tentu saja aku senang kalau adik Putri Selari mau menjadi adik seperguruanku," sahutnya dengan tergagap.
"Hm, agaknya pelik betul persoalan yang tengah kau hadapi. Coba katakan padaku!"
Adipati Mungkaran menghela nafas berat. Setelah membalas salam hormat gadis itu, dia mempersilahkannya kembali untuk duduk. Dipandanginya wajah orang tua itu sekilas, kemudian berkata dengan suara pelan namun cukup terdengar oleh kedua orang itu.
"Aku merasa ada sekelompok orang yang akan menyingkirkanku dari kedudukanku ini..."
Ki Ageng Tebung memandang heran kepada muridnya itu. Kemudian tersenyum kecil.
"Dari mana kau tahu hal itu?"
"Aku sering dihantui mimpi, Eyang..."
Kali ini orang tua itu tak dapat menahan geli. Dia tertawa sedikit keras. Dan hal itu sudah membuat Adipati Mungkaran merasa dilecehkan.
"Eyang tak percaya dengan kata-kataku...?"
"Bagaimana aku bisa percaya? Kau justru lebih percaya kepada mimpi-mimpimu itu. Kenapa tidak kau atasi saja dengan membuat mimpi yang lebih baik? Misalnya kau bisa bermimpi mengusir mereka, bahkan lebih dulu menyingkirkan mereka!"
"Eyang, ini persoalan serius...!"
Ki Ageng Tebung masih memandang wajah muridnya yang serius dengan raut lucu. Tapi kemudian dia mencoba bersikap wajar ketika melihat bahwa Adipati Mungkaran seperti meyakini betul akan kata-katanya sendiri. Seolah-olah hal itu akan terjadi saat ini juga.
"Hm, karena soal itukah sebabnya kau mengundangku ke sini?"
"Aku ingin minta petunjuk, Eyang...."
"Petunjuk apa?"
"Apakah Eyang mempercayai kata-kataku?"
"Cobalah kau utarakan dulu apa yang hendak kau katakana, lalu aku akan pertimbangkan apakah kekhawatiranmu itu beralasan atau tidak...."
Adipati Mungkaran menghela nafas pendek. Kemudian terdengar dia mulai berkata-kata. "Kalau hanya sekedar mimpi, barangkali aku tak terlampau khawatir, Eyang. Tapi gejala kearah itu telah terjadi.”
"Gejala apa yang kau maksud?"
"Sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang berniat menggulingkan tahta kerajaan!"
"Hm, aku semakin tak mengerti bicaramu. Tadi kau mengkhawalirkan sekelompok orang yang akan menyingkirkan kedudukanmu. Dan sekarang kau membicarakan tahta kerajaan. Bagaimana ini?"
"Eyang, dua-duanya benar. Aku mendengar khabar bahwa para prajurit kerajaan yang bertugas di tapal batas, kedapatan binasa tanpa diketahui penyebabnya. Baginda Raja telah mengirim beberapa orang utusan untuk mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun sampai saat ini belum terdapat khabar dari mereka. Ada yang mengatakan kepadaku bahwa mereka tewas pula di sana...," jelas Adipati Mungkaran.
"Lalu apa hubungannya denganmu?"
"Apakah Eyang tak mengetahui di mana aku memegang kekuasaan saat ini?"
Orang tua itu berpikir sesaat. Namun tak lama kemudian dia cepat menduga ke mana arah pembicaraan muridnya itu. "Hm, daerah kekuasaanmu meliputi wilayah perbatasan itu?"
Adipati Mungkaran cepat mengangguk." Gusti Prabu telah memberi perintah padaku untuk membereskan dan mengusut sampai tuntas siapa yang berani membantai prajurit-prajurit kerajaan itu. Perlu Eyang ketahui bahwa prajurit-prajurit yang terbunuh itu bukan para pengawalku, melainkan mereka langsung dari kerajaan dan merupakan orang-orang pilihan. Bahkan pimpinannya yang bernama Soma Wangsa bukanlah orang sembarangan. Dia seorang tokoh terkenal dan memiliki ilmu silat tinggi. Tapi kalau orang itu sampai terbunuh, sudah pasti pelakunya bukan orang sembarangan...," kata Adipati Mungkaran.
Ki Ageng Tebung mengangguk-angguk mendengar kata-kata muridnya itu. Dia mulai percaya bahwa apa yang dikhawatirkan Adipati Mungkaran memang ada benarnya, tapi kalau sampai merembet kepada soal tahta kerajaan, apa itu tak keterlaluan? Siapa yang berani melakukannya? Mereka yang memiliki kemampuan hebat dan berilmu tinggi sekalipun akan berpikir seribu kali untuk mencoba menggulingkan kekuasaan. Sebabnya jelas sekali terlihat, dan semua orang mengetahui bahwa di dalam kerajaan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi yang selalu siap melindungi Sang Prabu dari marabahaya. Mereka juga tak segan-segan mempertaruhkan nyawa dalam membela kerajaan, dan juga tak kenal ampun terhadap orang-orang yang bermaksud jahat dengan membuat kerusuhan.
"Kenapa Gusti Prabu tak mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mengusut kejadian itu?"
"Entahlah. Barangkali Sang Prabu menganggap persoalan itu masih enteng dan merasa bahwa aku bisa menanganinya...," sahut Adipati Mungkaran lesu.
"Lalu kenapa kau yakin bahwa ada sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang bermaksud menggulingkan tahta kerajaan?"
"Aku hanya mencoba meluruskan firasatku belakangan ini...," sahut Adipati Mungkaran lemah.
"Eyang, bolehkah aku bicara?" tanya Putri Selari.
"Hm, kau mau bicara apa? Bicaralah."
Gadis itu memandang kepada Adipati Mungkaran seperti meminta ijin. Dan ketika dilihatnya laki-laki itu mengangguk kecil, dia melanjutkan kata-katanya. "Begini, Eyang. Aku punya dugaan kuat bahwa apa yang dikatakan Kakang Adipati Mungkaran ada benarnya. Ketika beberapa hari lalu Eyang menugaskanku untuk mencari obat di kota, aku melihat banyak sekali tokoh-tokoh persilatan menuju ke suatu tempat...."
"Itu hal yang biasa. Barangkali mereka akan mengadakan pertemuan antar perguruan untuk mengikat persahabatan."
"Mulanya aku menduga demikian. Tapi tahukah Eyang mereka menuju ke mana?"
Laki-laki tua itu memandang serius kepada gadis itu. Demikian juga halnya dengan Adipati Mungkaran.
"Ingatkah Eyang siapa yang dahulu pernah membuat kekacauan pada saat Gusti Prabu yang sekarang sedang dilantik menjadi raja? Eyang sendiri yang cerita kepadaku...."
"Dua bersaudara, Sobrang dan Degil?!" tebak Adipati Mungkaran dengan muka kaget memandang kepada gadis itu.
"Benar...."
"Dari mana kau tahu bahwa itu kediaman mereka?"
Putri Selari tersenyum kecil. Kemudian berkata pelan, "Maaf, Eyang. Tentu saja aku tahu karena aku masih mempunyai banyak kawan di luaran sana...."
"Budak kecil yang nakal! Aku seperti lupa pada dirimu dan siapa kau sebenarnya sebelum ketemu aku!" sungut orang tua itu sambil tersenyum kecil.
Tinggal Adipati Mungkaran yang terbingung-bingung dan tak mengerti apa yang dipercakapkan antara kedua orang itu. Namun belum lagi dia mengeluarkan suara untuk mencari tahu apa yang mereka bicarakan, sekonyong-konyong terdengar pekik kesakitan di luar sana. Dengan serentak ketiganya bangkit dan buru-buru keluar ruangan. Adipati Mungkaran terkejut ketika melihat para pengawalnya terlihat pertarungan sengit dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Sekilas saja mereka sudah dapat menilai bahwa lawan-lawan para pengawalnya memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan berada di atas kemampuan para pengawalnya. Terbukti dalam beberapa saat saja banyak sudah pengawalnya yang menjadi korban dan tewas sambil mengeluarkan jeritan kematian.
"Hentikan semua ini!!" bentak Adipati Mungkaran dengan suara menggelegar.
Serentak mereka menghentikan pertarungan, dan para pengawalnya membuat barisan di dekat ketiga orang yang baru keluar dari pintu depan. Adipati Mungkaran beserta dua orang disebelahnya, memperhatikan dengan seksama. Tujuh orang yang menjadi lawan para pengawalnya berdiri tegak di dekat pintu gerbang.
"Kisanak, siapakah kalian dan mengapa datang ke tempatku lalu membuat onar?" tanya Sang Adipati dengan suara tak senang.
Seorang yang bertubuh besar dengan kumis tebal melintang mendengus geram. Dia berjalan lima langkah dan menuding dengan sikap angkuh. "Siapa kau? Apakah kau yang menjabat sebagai Adipati di sini?"
"Kisanak, dari nada bicaramu kau sama sekali tak bermaksud baik. Tapi sebagai tuan rumah, biarlah aku mengajarkan kepadamu bagaimana caranya bersikap sopan. Meski kau tak memperkenalkan dirimu, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu. Kalau kalian datang hendak menghadap kepada Adipati Mungkaran maka kalian telah berhadapan dengannya saat ini...."
"Bagus! Kami membawa pesan untukmu!"
"Pesan dari siapa gerangan?"
"Kau tak perlu tahu! Isi pesan itu mengatakan bahwa kau diberi pilihan malam ini juga. Meninggalkan tempat ini atau kami mesti meratakan tempat ini dan memotes kepalamu. Nah, pilihlah cepat!"
Mendengar kata-kata itu, sirnalah sudah kesabaran Adipati Mungkaran. Bahkan Ki Ageng Tebung yang sejak tadi tetap berusaha menahan sabar, mulai naik pula darahnya mendengar dan melihat keangkuhan orang itu. "Kisanak, sudah jelas apa kedatangan kalian ke sini! Dan terus terang kalian tak akan mendapatkan apapun selain hukuman berat yang akan kutimpakan kepada kalian semua!"
"Adipati Mungkaran, ketahuilah! Kedatangan kami ke sini adalah untuk menghukummu dan semua tikus-tikus busukmu ini. Jadi jangan harap kau bisa berbuat sebaliknya kepada kami. Kuberi waktu sampai tiga kali hitungan dan sesudahnya keputusan ada ditangan kami!"
"Keparat-keparat busuk, enyahlah kalian dari tempatku ini!" bentak Adipati Mungkaran sambil memberi perintah pada para pengawalnya untuk meringkus mereka.
"Yeaaa...!"
"Huh, tikus-tikus busuk begini yang kau harapkan untuk melawan kami? Biarlah mereka mampus atas kebodohanmu menganggap kami rendah," kata orang tadi sambil bersiap menghadapi lawan-lawannya.
Namun bersamaan dengan itu, kawan-kawannya yang lain pun bersiap membantunya. Sedangkan tiga orang diantaranya mencelat kedepan dengan ringan melewati para pengawal itu dan menjejakkan kaki persis di depan Adipati Mungkaran.
"Biarlah mereka bermain-main sejenak dengan anjing-anjingmu itu, tapi kami tak bisa bermain-main dengan kepalamu!" dengus seorang perempuan tua bertubuh kurus dengan suara dingin mengancam.
"Nyai Sukesih… hm, kau rupanya dibalik semua ini?!" sahut Ki Ageng Tebung ketika mengenali perempuan tua itu.
"Ki Ageng Tebung, tua bangka keparat! Rupanya kaupun telah berada di sini. Bagus! Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"
"Hahahaha...! Siapa seharusnya yang berkata begitu? Bukankah kau yang mestinya tak bisa lolos dari tanganku kalau saja saat itu gurumu tak ikut campur persoalan kita dan menolongmu!" ejek Ki Ageng Tebung merendahkan.
"Tua bangka busuk! Mampuslah kau lebih dulu. Yeaaa...!"
Putri Selari sudah hendak bergerak menyambut serangan nenek itu, namun Ki Ageng Tebung telah mengetahui gelagat dan langsung mencegah muridnya itu.
"Tahan Selari! Biarlah tua bangka kempot itu menjadi bagianku! Kau hadapilah si bogel jelek itu sementara kakangmu akan menghadapi laki-laki bertampang tikus ini!"
Dengan kata-katanya itu. Ki Ageng Tebung secara tak langsung telah membagi pertarungan mereka menjadi tiga bagian. Meskipun terhadap dua orang lainnya yang tak dikenal, namun dia menganggap bahwa Nyai Sukesih adalah tokoh yang patut menjadi lawannya, sebab dahulu dia pernah berhadapan dengannya dan tahu betul sampai di mana kemampuannya.
"Ke sinilah kau gadis jelek. Hidup pun tiada berguna dengan mukamu yang buruk itu!" ejek laki-laki bertubuh kerdil dengan hidung besar dan bulat kepada Putri Selari.
"Kontet busuk! Apakah mukamu kelewat bagus? Biarlah kutunjukkan mukamu yang sebenarnya!" balas gadis itu dengan sengit.
Keduanya langsung terlibat pertarungan ketika gadis itu melompat dan menyerang lawan. Sementara itu tanpa banyak bicara, seorang laki-laki berkulit hitam dan bertubuh kurus dengan muka seperti tikus langsung melompat menyerang Adipati Mungkaran yang sudah sejak tadi bersiap menyambutnya.
"Mampuslah kau, Mungkaran!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"

***

120. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Mahkota BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang