BAGIAN 5

336 17 1
                                    

Keduanya mengikuti laki-laki berperut agak gendut itu menuju tangga yang menuju ruang bawah tanah. Di sana terdapat beberapa orang yang berwajah kumuh, dengan baju lusuh yang menyambut mereka dengan pandangan heran. Tapi laki-laki gendut yang dipanggil Gondo itu segera menempelkan telunjuknya ke bibir. Wajahnya tampak cerah. Kemudian dengan suara pelan yang agak sedikit nyaring, dia berkata pada orang-orang itu.
"He, kenapa kalian diam saja? Beri hormat pada junjungan kita. Putri Selari telah berada di depan kita."
"Apa...? Putri Selari...?"
"Oh...?!" Orang-orang itu memandang dengan wajah terkejut. Dan tidak percaya pada gadis berwajah buruk rupa yang baru masuk itu.
"Gondo, bicara apa kau? Putri Selari adalah wanita terhormat dan berwajah amat cantik. Bukan seperti nenek sihir begini...!" dengus salah seorang.
"Betul! Kau jangan mempermainkan kami, Gondo!"
"Jangan-jangan dia mata-mata."
Suasana di tempat itu mulai panas. Dan orang-orang yang berjumlah sekitar lima belas orang itu berdiri tegak dengan wajah curiga. Gondo langsung melangkah ke depan, menenangkan mereka.
"Tenang, tenang...! Sebentar akan kujelaskan semuanya. Dengarkan, mereka berdua sedang dikejar-kejar pihak kerajaan. Itu membuktikan kalau mereka musuh kerajaan. Yang kedua, siapa yang lebih tahu diantara kalian tentang putri junjungan kita...?"
"Tentu saja kau. Sebab kau abdi dekat Gusti Putri," sahut salah seorang.
"Nah, untuk apa diributkan lagi...? Aku bersama Gusti Putri sejak beliau masih bocah. Dan tahu betul dari ujung kaki sampai ke ujung rambut."
"Gondo, kami semua tidak memungkiri hal itu. Tapi siapa pun di sini pernah menyaksikan kalau Gusti Putri berwajah cantik jelita. Tapi gadis yang kau bawa ini, bahkan sama sekali tidak mirip dengan Gusti Putri." sangkal seseorang yang disetujui yang lainnya.
"Kau terlalu gegabah mempercayai orang. Bahkan berani memasukkannya ke sini."
"Itu sangat berbahaya bagi kita, Gondo."
"Betul! Dan kau akan bertanggung jawab atas semua ini. Atau kedua orang ini mesti dibunuh agar kita semua tidak menjadi korban "
Suasana kembali menjadi ramai, Namun sekali lagi Gondo berusaha meyakinkan mereka. "Dengarkan..., saudara-saudaraku. Aku punya alasan membawa mereka ke sini. Pertama, kalau memang dia orang lain yang patut dicurigai kenapa dia mengenalku begitu pertama melihat...? Yang kedua, aku tahu betul kalau Gusti Putri memiliki tahi lalat kecil di pangkal jempol sebelah kiri. Dan aku telah melihatnya tadi. Sekarang ada baiknya kita menanyai lebih dulu sebelum mengadakan keputusan."
"Baiklah, ingin kami dengar apa penjelasannya” sahut salah seorang yang mewakili lainnya.
Dia memandang pada gadis itu dan melanjutkan kata-katanya. "Nisanak, kami tidak mengenalmu, tapi salah seorang kawan kami yakin kalau kau adalah junjungan kami. Karena tempat ini amat rahasia, tidak ada pilihan lain bagi kalian berdua. Daripada kami yang celaka, kaulah yang akan menjadi korban kalau ternyata kami anggap kalian membawa malapetaka bagi kami semua."
Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Dipandanginya orang-orang itu satu persatu. Tidak terasa, bola matanya yang jernih merembang dipenuhi air mata yang hendak tertumpah. Ada sesuatu yang menusuk hati dan seperti menikam merobek-robek kenangan lama yang berusaha dilupakannya.
"Nisanak, jawablah pertanyaanku. Kami tidak punya banyak waktu dan harus secepatnya mengambil keputusan terhadap kalian."
Rangga yang sejak tadi diam saja dan tidak tahu harus berbuat apa, kini menyadari kalau kedudukan mereka jadi terjepit. Seperti lepas dari mulut harimau, terjebak di kubangan penuh buaya. Dia memandangi laki-laki berperut buncit yang membawa mereka kesini. Kemudian memandang pada yang lainnya satu per satu.
"Kisanak semua, kami tidak tahu siapa kalian. Tapi salah seorang kawan kalian telah menyelamatkan kami. Terus terang, kami berhutang budi padanya. Dan sudah pasti suatu saat akan membalasnya. Tapi ketahuilah, kami tidak ingin membuat susah pada kalian semua sedikitpun juga. Nah, untuk itu ijinkan kami pergi dari tempat ini...,"
Tidak ada sahutan selain sorot mata yang memandang tajam pada pemuda itu. Wajah Rangga yang dibuat seramah mungkin dengan senyum manis mendadak sirna melihat sikap mereka. Dia jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Mari Selari, kita pergi dari sini," ajaknya.
Rangga merasa tidak ada gunanya lagi bicara pada mereka. Dengan sikap diam itu dia berharap mereka menyetujui kalau mereka akan ke luar dari tempat ini. Maka buru-buru dia mencekal tangan gadis itu, dan bermaksud menaiki anak tangga yang mereka lalui tadi. Namun baru saja kakinya hendak bergerak, orang-orang itu sudah berlompatan dengan ringan. Empat orang berjaga di anak tangga. Dan yang lainnya mengelilingi mereka berdua.
Orang yang sejak tadi berkata pada Gondo, memandang dengan sinar tajam pada Rangga. "Maaf, kalian tidak akan kemana-mana," katanya tegas.
Rangga mengetahui kalau kali ini mereka akan bertindak keras. Semuanya terlihat sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Dan hanya menunggu saja perintah untuk meringkus. "Kisanak, kami tidak ingin mencari persoalan dengan kalian. Biarkan kami pergi dengan aman."
"Aku katakan kalian tidak akan pergi kemana-mana sebelum jelas duduk persoalannya. Dan siapa kalian sebenarnya...? Jangan sampai kami kesalahan tangan membunuh seseorang. Tapi kalau kalian ternyata memang mencari susah, jangan salahkan kalau kami bertindak tegas!"
Mendengar itu, rasa tidak senang Rangga mulai membakar darahnya. Dia mendengus kesal sambil tetap mencekal pergelangan tangan gadis disebelahnya. Kemudian terdengar suaranya yang bernada dingin.
"Akupun tidak ingin kesalahan tangan untuk membunuh orang. Pakailah akal sehat kalian untuk menilai orang. Aku dan gadis ini akan pergi. Dan ingin kulihat siapa yang menghalangi...!" tegas Rangga.
"Tangkap mereka...!"
Mendengar kata-kata pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, bukan main kesalnya laki-laki ini. Dia bukannya berpikir, tapi langsung saja memberi perintah pada anak buahnya.
Dan saat itu juga semua orang yang berada di tempat itu sudah bersiap akan menghunuskan senjata ke arah mereka berdua. Tapi pada saat itulah si gadis berkata dengan suara sedikit keras. "Paman Bandang Ireng, hentikan semua ini...!"
"Heh...?!" Orang-orang itu langsung saja memalingkan perhatiannya dan menatap gadis ini dengan penuh tanda tanya. Gondo mengangkat bahu saat seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah keras, yang tadi memberi perintah menangkap kedua orang asing ini memandang padanya.
"Aku tidak memberitahukan apa-apa tentang kita," kata Gondo sebelum teman-temannya menuduhnya mengkhianati mereka.
"Paman Gondo tidak perlu memberitahukannya. Aku kenal dengan kalian semua," kata gadis itu pelan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya orang yang tadi dipanggil dengan nama Bandang Ireng dengan suara lunak.
Gadis itu tidak banyak bicara. Tangannya bergerak ke muka dan mendekap wajahnya. Lalu....
"Dia menggunakan topeng...!" desis salah seorang.
Semua yang berada di situ menanti dengan wajah tidak sabar. Begitu juga dengan Rangga. Betul-betul dia tidak menyadari kalau gadis itu mengenakan topeng yang amat sempurna sekali. Hingga sulit untuk membedakannya.
"Putri Selari...."
"Benar, dia Putri Selari...!" desis yang lainnya.
"Be..., betulkah kau Putri Selari, junjungan kami...?" tanya Bandang Ireng seperti tidak yakin akan penglihatannya sendiri.
"Paman, apa yang kalian lihat semuanya benar. Akulah Putri Selari. Putri Prabu Satya Wardhana Putra," kata gadis itu lembut.
"Oh, Kanjeng Gusti.... Maafkan kelancangan kami."
Orang-orang itu kemudian membungkukkan tubuhnya sambil memberi hormat yang dalam. Rangga bingung sendiri sejak tadi. Wajahnya di balik topeng yang mengerikan itu, bertolak belakang sekali dengan aslinya. Gadis buruk rupa dengan wajah mengerikan, kini menjelma menjadi gadis cantik jelita dengan kulit kuning langsat yang begitu halus sekali. Sepasang alisnya tebal bagaikan semut beriring. Dan hidungnya kecil mancung dengan bibir tipis merah delima yang selalu menyunggingkan senyuman manis.
"Bangunlah, Paman. Masa itu telah berakhir. Dan kini aku bersama dengan kalian," kata Putri Selari.
"Tidak, Kanjeng Gusti. Bagi kami kau tetaplah junjungan yang harus kami hormati. Dan kau berhak atas tahta kerajaan yang direbut oleh si jahanam itu," sahut Bandang Ireng.
"Paman, aku terharu atas kesetiaan kalian semua. Tapi masa itu telah berakhir. Dan aku tidak ingin mengungkit-ungkit lagi," kata Putri Selari tetap lembut suaranya.
"Apa maksud Kanjeng Gusti? Tidak tahukah kalau kami sudah lama mencarimu dan terus mempersiapkan diri agar tahta itu bisa kembali ke tanganmu. Dan kali ini rencana besar itu akan berjalan lancar. Kami akan mendapat bantuan dari orang-orang yang bisa dipercaya," kata Bandang Ireng.
"Paman Bandang Ireng, apa maksudmu...?" tanya Putri Selari heran.
Paman Bandang Ireng tidak langsung menjawab. Sebaliknya memandang pada Rangga yang sejak tadi hanya diam saja membisu dengan sinar mata memancarkan kecurigaan. Gadis yang sebenarnya adalah Putri Selari, bisa cepat menangkap gelagat yang tidak mengenakkan ini. Tapi Rangga sudah lebih cepat lagi tanggap akan kecurigaan Bandang Ireng padanya.
"Kalau memang kehadiranku mengganggu, bolehkah aku meninggalkan tempat ini sekarang...?" pinta Rangga sopan.
"Sebentar, Rangga. Aku percaya padamu dan kau boleh duduk di sini mendengarkan," cegah Putri Selari tegas.
"Tapi, Kanjeng Putri...."
"Paman, aku mempercayainya," kata Putri Selari cepat, membungkam beberapa kata Bandang Ireng sambil mengangkat sebelah tangannya.
"Ini persoalan hidup dan mati. Dan kita harus menjaganya erat-erat dari orang luar."
"Aku pertaruhkan nyawaku untuk itu."
"Kenapa Kanjeng Gusti berkata begitu...?"
"Sebab dia pun telah bertarung nyawa pada saat menyelamatkan nyawaku." sahut Putri Selari tegas.
Bandang Ireng memandang berkeliling pada teman-temannya. Kelihatan dari raut wajah mereka, seolah menyerahkan keputusan di tangannya. Sambil menghela napas pendek, dia berkata lirih.
"Kami mendapatkan tenaga bantuan untuk menggulingkan tahta kerajaan...." kata Bandang Ireng pelan.
"Bantuan dari mana?" tanya Putri Selari.
"Dari orang-orang yang mencintai Gusti Prabu Satya Wardhana Putra," sahut Bandang Ireng.
"Apakah mereka orang-orang yang kalian kenal baik sebelumnya?" tanya Putri Selari lagi.
Bandang Ireng menggeleng lemah. "Kami memang belum mengenai baik, tapi utusan mereka datang ke kotaraja dan mencari kami untuk menawarkan bantuan."
"Tahukah Paman siapa yang mengirim utusan itu? Maksudku, siapa tokoh yang berpengaruh terhadap orang-orang yang akan membantu kalian semua?" tanya Putri Selari.
"Kalau tidak salah, Ki Sobrang dan Ki Degil." sahut Bandang Ireng.
"Apa...?" Bukan main terkejutnya Putri Selari mendengar nama yang baru saja disebutkan Bandang Ireng. Dia langsung menatap tajam pada laki-laki didepannya ini. Kemudian berpaling menatap Rangga yang masih berada disampingnya.
"Kenapa Gusti Kanjeng? Apakah mengenal kedua orang itu?" tanya Bandang Ireng heran.
"Paman, tahukah paman apa yang terjadi padaku saat kerusuhan yang menimpa kerajaan...? Paman Gondo berusaha menyelamatkan aku. Usiaku saat itu belum lagi genap delapan tahun. Namun prajurit-prajurit kerajaan mengetahui dan berusaha menangkapnya. Aku bisa mengerti ketika Paman Gondo meninggalkan aku pada seseorang untuk menyelamatkan aku. Saat itu aku hidup bergelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dan sampai seseorang memungutku menjadi anak, sekaligus muridnya," ujar Putri Selari mengisahkan perjalanan hidupnya.
"Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Dengan menitipkan Kanjeng Gusti pada gembel itu. Hamba berharap Kanjeng Gusti lolos dari kejaran mereka. Sebab bukan hamba yang mereka incar. Tapi Kanjeng Gusti yang akan mereka binasakan. Ketika keadaan agak sedikit reda, hamba berusaha mencari gembel itu. Namun tidak juga bertemu. Lalu hamba terus mencari kemana-mana," selak Gondo dengan sikap yang sangat hormat sekali.
"Sudahlah, Paman Gondo. Aku mengerti apa maksudmu saat itu. Nah, begitulah, Paman. Karena kedudukanku sebagai satu-satunya pewaris tahta kerajaan yang diburu oleh para prajurit, keadaanku tidak aman sama sekali. Guruku kemudian membuatkan sebuah topeng yang amat bagus agar orang-orang tidak mengenaliku lagi," kata Putri Selari menjelaskan perjalanan hidupnya secara singkat.
"Tapi apa hubungannya dengan kedua orang itu, Kanjeng Gusti?" tanya salah seorang ingin tahu.
"Selama dalam pengembaraanku itulah aku banyak tahu tentang kehidupan rakyat. Perkembangan dunia luar dan lain-lainnya. Paman, masih ingatkan kerusuhan yang terjadi pada saat pemerintahan Ayahandaku...? Nah, orang-orang dibelakangnya adalah mereka berdua. Mereka bukan orang baik-baik, Paman. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk membujuk paman-paman semua dengan dalih membantu. Padahal mereka sebenarnya yang mempunyai kepentingan. Merekalah yang ingin menggulingkan pemerintahan," kata Putri Selari menjelaskan.
"Dari mana Kanjeng Gusti mengetahuinya...?" tanya Bandang Ireng.
Putri Selari kemudian menceritakan kejadian yang menimpanya belakangan ini. Sampai kematian gurunya dan pertemuannya dengan Rangga. "Nah, begitulah ceritanya, Paman...."
"Keparat...! Licik! Orang-orang itu perlu diberi pelajaran!" umpat Bandang Ireng geram.
"Betul! Kita harus memberi pelajaran pada mereka. Apa lagi kalau sampai mereka menyebar berita tentang kita, keadaan kita akan semakin gawat," desis salah seorang dengan wajah ccmas.
"Paman-paman..., tenanglah. Tidak perlu terburu-buru. Lagi pula, tidak mudah mendekati kedua orang itu. Selain mereka berilmu tinggi, banyak dikelilingi oleh tokoh-tokoh sakti yang saat ini terus mengalir dan berdatangan untuk membantunya," kata Putri Selari menenangkan.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang, Kanjeng Gusti?" tanya Bandang Ireng.
"Kanjeng Gusti, selama ini kami seperti anak ayam yang kehilangan induk. Kini Kanjeng Gusti telah berada diantara kami. Pimpinlah kami dan beri petunjuk. Bagaimana mestinya yang harus kami kerjakan saat ini," kata salah seorang menyelak.
"Benar, Kanjeng Gusti. Berilah petunjuk bagaimana dan apa yang harus kami lakukan sekarang," timpal Gondo.
"Selama ini kami memang selalu menantikan kehadiran Kanjeng Gusti untuk memimpin kami, setelah Gusti Prabu Satya Wardhana Putra tiada," lanjut Bandang Ireng.
Putri Selari sedikit rikuh mendapatkan desakan seperti itu. Dia tidak biasa selama ini mendapatkan penghormatan seperti itu. Kalaupun ada, itu hanya sisa-sisa kenangan masa kecilnya saja. Masa lalunya. Tapi yang paling banyak mempengaruhi kehidupannya adalah kehidupan nyata yang dialaminya tahun-tahun belakangan ini. Kepahitan, kesengsaraan, kemudian terbiasa menjadi rakyat jelata.
"Rangga, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Putri Selari pelan.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Tapi kurasa kau tahu apa sebaiknya yang harus kau lakukan," sahut Rangga.
"Tapi aku tidak bisa mengikuti kehendak mereka." kata Pulri Selari lagi.
"Apa sebenarnya kehendak mereka?" tanya Rangga.
"Apakah kau tidak mengerti juga? Mereka menginginkan aku menjadi pewaris tahta kerajaan. Tapi itu tidak mungkin...," keluh Putri Selari.
"Kanjeng Gusti, kami rela mengorbankan nyawa untuk itu," selah Bandang Ireng tegas.
"Aku mengerti, Paman. Tapi pemerintahan yang sekarang kunilai cukup adil dan tidak menyengsarakan rakyat. Biarlah mereka berjalan sebagaimana mestinya. Tidak usah diungkit-ungkit masa lalu. Kalian boleh mencari penghidupan baru yang damai dan tentram. Merebut kembali tahta kerajaan, hanya akan menimbulkan pertumpahan darah. Dan rakyatlah yang akan menjadi sengsara," kata Pulri Selari agak pelan terdengar suaranya.
"Kanjeng Gusti, hal itu tidak boleh terjadi. Tidakkah Kanjeng dan pembesar-pembesar kerajaan terus menimbun harta bagi kepentingan mereka sendiri...? Mereka sama sekali tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat jelata?" jelas Bandang Ireng.
"Begitukah, Paman...?" tanya Putri Selari ragu-ragu.
"Kanjeng Gusti, kami berkata yang sebenarnya." tegas Bandang Ireng lagi.
"Entahlah..., tapi yang jelas, aku mesti membuat perhitungan lebih dulu pada Sepasang Naga Pertala," kata Putri Selari pelan.
"Kanjeng Gusti, kami berdiri dibelakangmu, kemanapun kau pergi. Dan berada paling depan untuk membantumu." kata Bandang Ireng cepat.
Yang lain langsung menyambutnya dengan penuh semangat pula.
"Terima kasih, Paman. Tapi aku tidak yakin...," ucap Putri Selari.
"Kenapa Kanjeng Gusti berkata begitu?"
"Mereka sangat kuat dan berjumlah banyak, Paman. Aku khawatir tidak mampu menghancurkan mereka."
"Kanjeng Gusti, meski kepandaianku tidak seberapa, aku bersedia membantumu," selak Rangga.
Gadis itu tersenyum kecil. "Terima kasih, Rangga. Aku telah banyak merepotkanmu," ucapnya pelan.
"Tidak. Aku merasa punya kewajiban untuk membantu orang-orang seperti kalian. Nah, sebaiknya memang kita tentukan rencana selanjutnya," tegas Rangga.
"Baiklah. Tapi ada satu hal yang pertama kuminta darimu," kata Putri Selari.
"Hm, apa itu...?"
"Jangan panggil aku Kanjeng Gusti. Kau adalah sahabatku dan diantara kita tidak ada perbedaan derajat," pinta Putri Selari.
"Tapi...," Rangga ingin menolak.
"Kau menerima permintaanku, bukan...?" potong Putri Selari cepat.
"Baiklah, kalau memang itu keinginanmu," sahut Rangga menyetujui dengan perasaan berat.
"Terima kasih, Rangga." Gadis itu kemudian memandang pada orang-orang yang berada didepannya. Kemudian lanjutnya dengan suara yang pelan, namun terdengar cukup jelas.
"Paman, terima kasih atas dukungan kalian semua padaku. Aku akan memuluskan soal tahta kerajaan dan perjuangan kita untuk merebutnya kembali pada saat yang tepat. Kali ini aku tidak bisa memutuskan soal itu. Tapi kalau kalian benar-benar bermaksud hendak membantuku, aku bermaksud menghancurkan orang-orang seperti Ki Sobrang dan Ki Degil. Siapa yang tidak setuju boleh mundur!"
"Kanjeng Gusti, kami akan mengikutimu," sahut Bandang Ireng tegas.
"Betul! Apapun yang diputuskan, kami akan menjunjung tinggi!" sambut yang lainnya serempak.
Dan suasana kembali ramai. Bukan oleh keragu-raguan lagi, atau rasa curiga seperti tadi. Tapi oleh semangat yang menyala-nyala di dalam hati setiap orang untuk mendukung rencana Putri Selari.

***

120. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Mahkota BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang