BAGIAN 3

329 14 0
                                    

Pertarungan antara keempat orang tokoh persilatan itu dengan para pengawal kadipaten terlihat sekilas memang tak seimbang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukan pihak para pengawal yang menekan mereka, melainkan merekalah yang menekan habis-habisan para pengawal itu. Dan apa yang mereka lakukan sungguh luar biasa dan hebat bukan main. Dalam beberapa saat saja para pengawal kadipaten yang berjumlah belasan kali lipat dibanding mereka, tumbang satu persatu dengan keadaan yang mengerikan. Keempat tokoh itu memang terlihat bukan orang sembarangan dan para pengawal itu adalah lawan empuk hagi mereka. Sehingga sebentar saja terlihat sisa para pengawal itu semua berjumlah empat orang.
"Sekarang mampuslah kalian!" seru orang yang bertubuh besar dan berkumis tebal itu sambil melompat dan mengayunkan senjata aritnya yang melengkung.
Bersamaan dengan itu tiga orang kawannya pun langsung berkelebat dengan ringan. Keempat pengawal kadipaten itu mencoba bertahan dan mendahului lawan dengan menyabetkan senjata di tangan mereka kearah lawan.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Breet! Duk! Des!
"Aaaa..."
Terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya keempat pengawal kadipaten itu dengan tubuh bermandikan darah. Keempat orang tokoh persilatan itu langsung melompat meninggalkan lawan-lawannya yang telah terkapar dan terus membantu tiga orang kawannya yang lain.
"Yeaaa...!"
"Heh!"
"Mungkaran, dan kau Selari, hati-hati...!" teriak Ki Ageng Tebung memperingatkan kedua orang muridnya itu.
"Kaulah yang patut hati-hati sehab ajalmu sebentar lagi akan datang menjemput!" ejek Nyai Sukesih.
Apa yang dikatakan perempuan tua itu memang beralasan. Ki Ageng Tebung sendiri terkejut menyaksikan kemajuan ilmu silatnya yang pesat selama ini. Kalau semula dia yakin mampu menundukkan perempuan tua ini, namun saat ini dia bahkan tak yakin bisa lolos dari serangan-serangannya yang ganas dan bertubi-tubi. Belum lagi bantuan keempat kawan mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Sudah barang tentu membuat ketiga orang itu semakin terjepit saja.
"Hih!"
Wuut!
"Yeaaa...!"
Tiga orang yang kini mengerubutinya betul-betul bergerak cepat dan ingin menghabisinya dengan segera. Ki Ageng Tebung jungkir balik menyelamatkan diri. Dia mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu Harimau Menerkam Mangsa. Tubuhnya melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk cakar. Dari mulutnya terdengar raungan keras sebagaimana layaknya seekor harimau yang tengah mengamuk. Perbuatannya itupun di ikuti oleh kedua muridnya.
"Graungrr...!"
Tak!
"Heh!"
Breet!
"Kurang ajar!" Nyai Sukesih memaki kesal ketika bajunya di bagian dada kena dirobek lawan.
Masih untung dia cepat bergerak ke belakang, sebab kalau sedikit terlambat saja, niscaya dadanya akan robek dihajar cakar lawan. Tapi perempuan tua itu sempat terkejut. Tongkat di tangan salah seorang kawannya yang menderu keras menghantam, disambut oleh Ki Ageng Tebung dengan tangkisan tangannya yang keras dan kaku bagai sebuah besi baja.
"Huh, kau pikir jurus Tembesi-mu bisa diandalkan? Kau rasakanlah ini!" dengus Nyai Sukesih sambil menyilangkan kedua tangannya.
Sorot matanya tajam dan raut wajahnya terlihat menyeramkan. Perlahan-lahan kedua tangannya yang menyilang itu berubah ungu dan mengepulkan asap yang berbau sangit. Ki Ageng Tebung tersentak kaget dan tak sadar mundur beberapa langkah. "Aji Puspa Geni...!"
"Hm, agaknya kau mengenali juga ajianku ini. Tapi barangkali kau belum begitu mengenalnya dengan baik. Nah, kau boleh mengenalnya sekarang!"
Bersamaan dengan itu tubuh Nyai Sukesih melompat menyerang lawan, dan diikuti oleh kedua orang kawannya. Ki Ageng Tebung terlihat sangat berhati-hati sekali. Ajian yang dikerahkan lawan bukan main-main sebab mengandung racun yang mematikan.
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
"Mampus...!" Seorang membentak sambil mengayunkan ujung pedang menyambar kearah leher.
Ki Ageng Tebung mundur ke belakang dan memutar tubuh ketika seorang lawan yang lain mengayunkan tongkat kayu dengan menyodok ke arah jantung. Meskipun hanya tongkat kayu namun karena yang memainkannya orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, maka senjata itu sama berbahayanya dengan senjata tajam lainnya.
"Hiyaaat...!"
"Aakh...!"
Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika pinggangnya terkena angin serangan lawan. Buru-buru dia melompat ke belakang. Namun Nyai Sukesih tidak mau membiarkan lawan lepas begitu saja. Dia langsung melompat dan mengirim serangan susulan. Kedudukan Ki Ageng Tebung memang benar-benar mengkhawatirkan. Dia sama sekali tak berani memapaki serangan lawan dengan ilmu Tembesi yang dimilikinya. Selain keras dan kaku seperti ilmu yang dimilikinya, kedua tangan lawan mengandung hawa panas yang luar biasa dan mampu membakar kulit tubuhnya pada jarak setengah jengkal. Orang tua itu tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila serangan itu mengenai sasaran. Namun baru saja dia berpikir begitu terdengar jerit kesakitan.
"Aakh...!"
"Selari'.'"
Tubuh Ki Ageng Tebung mencelat tinggi dan bermaksud menyelamatkan nyawa murid perempuannya yang tengah diambang maut. Dua orang yang mengeroyoknya dengan sadis mengayunkan senjata kearah gadis itu yang terkapar di tanah dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.
"He, kau pikir bisa lolos dari tanganku? Yeaaa...!"
Wuuut!
Plak!
Breees!
"Aaaakh...!"
Ki Ageng Tebung menjerit keras sambil menahan sakit yang luar biasa pada raut wajahnya. Ketika tubuhnya mencelat ke atas, perempuan tua itu menyusul sambil mengayunkan sebelah tangan. Orang tua itu tentu saja telah menduga hal itu, dan dia mencoba menangkis dengan ilmu Tembesi. Namun berakibat fatal sebab tangannya langsung meleleh dengan tulang remuk.
Namun meskipun begitu, semangat Ki Ageng Tebung tampak masih menyala. Sebelah tangannya yang lain mampu menghajar seorang lawan yang hendak mengayunkan senjatanya kepada Putri Selari. Kepala orang itu remuk sambil mengeluarkan jeritan kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhirnya ambruk tak berdaya.
"Selari, cepai pergi dari sini! Ayo pergi! Selamatkan dirimu dan beri kabar kepada orang-orang kerajaan...!" bentak Ki Ageng Tebung.
"Ta...."
"Aaaakh...!"
"Mungkaran?! Oh, celaka...!"
Belum lagi gadis itu menyahut, terdengar jerit kesakitan. Keduanya tersentak kaget. Tubuh Adipati Mungkaran tampak terhuyung-huyung dengan sebelah lengan putus. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun dengan gagahnya dia masih memberikan perlawanan kepada lawan-lawannya.
"Cepat Selari! Tak ada waktu lagi! Pergilah kau dari sini dan selamatkan dirimu!" bentak Ki Ageng Tebung sambil mendorong tubuh muridnya itu.
"Mau coba-coba kabur, he? Jangan harap!" ejek Nyai Sukesih sambil tersenyum sinis.
Ki Ageng Tebung memandang tajam. Kini empat orang lawan telah berdiri tegak mengurung mereka. Dia menggigit bibir dengan geram. Kemudian berbisik pelan kepada muridnya itu. "Bagaimana pun kau harus menyelamatkan diri dari tempat ini. Pergilah ke kerajaan dan laporkan peristiwa ini. Katakan, bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil berada di belakang semua ini!"
"Tapi Eyang...."
"Dengar! Aku tak butuh bantahanmu. Kau harus menuruti apa yang kukatakan dan jangan coba-coba menoleh ke belakang walau apapun yang terjadi terhadap kami! Ayo, siap!"
Putri Selari diam tak berkata apa-apa lagi. Hatinya mulai cemas bercampur sedih. Dia tahu betul, apa yang dimaksud gurunya itu. Kedudukan mereka terjepit dan orang-orang ini memiliki kepandaian yang hebat. Kecil sekali kemungkinan mereka bisa kabur, bahkan rasanya tak mungkin. Kecuali..., gurunya berbuat nekat, dan agaknya hal itulah yang akan dilakukannya kini. Bagaimana dia tak merasa sedih? Ki Ageng Tebung bukan cuma sekedar guru, melainkan orang tua yang selalu melindungi dan memberikan kasih sayang kepadanya selama ini. Banyak sudah pelajaran yang didapatnya. Dan bukan cuma sekedar ilmu olah kanuragan. melainkan juga adab dan sopan santun serta budi bahasa yang mulia. Padahal kebahagiaan itu baru dirasakannya seperti beberapa hari saja.
"Yeaaa...!" Ki Ageng Tebung berteriak menggeledek ketika tubuhnya melompat dan menerkam Nyai Sukesih dengan tangan terpentang dan kedua kakinya berputar untuk menghajar kedua lawan yang berada di dekat perempuan tua itu.
Plak!
Duk!
Bress!
"Akh...!"
"Eyang...!"
“Lari! La...."
"Hih!"
Bress!
"Aaa...!"
Begitu melihat lawan bergerak menyerangnya dengan nekat, Nyai Sukesih langsung menyambut dengan aji Puspa Geni. Ki Ageng Tebung mengerutkan wajah menahan sakit. Ujung kakinya yang kanan berhasil menyambar dagu salah seorang lawan dan membuatnya terjungkal. Namun dia sendiri tak luput dari serangan Nyai Sukesih. Dengan geram perempuan tua itu menyodok perut lawan. Ki Ageng Tebung terpekik ketika kepalan lawan menembus dan menjebol perutnya. Bau daging terbakar bercampur dengan cucuran darah yang hitam. Putri Selari yang melihat itu berseru kaget. Namun dengan suara yang terbata-bata gurunya masih sempat memperingatkan sambil mengulurkan tangan sebelum tubuhnya ambruk. Nyai Sukesih menambahkan dengan menghajar dada kiri lawan. Orang tua itu cuma sempat menjerit kecil. Dia melenguh sesaat, untuk kemudian ambruk dengan tubuh kejang membiru.
"Yeaaa...!"
Plak!
Beghk!
"Aaaa...!"
Putri Selari melompat dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk meloloskan diri dari serangan lawan. Pada saat itulah tubuh Adipati Mungkaran yang tengah terhuyung-huyung di hajar lawan, tiba-tiba saja dengan tenaganya yang ada, dia bergerak cepat menyerbu untuk menyerang lawan gadis itu. Namun lawan dengan cepat menghindar. Sebelah tangannya menangkis pukulan Adipati Mungkaran, dan dengan sekuat tenaga dia mengayunkan ujung kaki menyodok dada lawan. Adipati Mungkaran menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental, namun sebelum sempat jatuh ketanah. Nyai Sukesih telah menyambut dengan pukulan mautnya.
"Mampus...!
Hiih!"
Bress!
Adipati Mungkaran tak sempat menjerit lagi sebab nyawanya telah putus sejak ladi.
"Kejar gadis itu dan jangan biarkan dia lolos!" teriak Nyai Sukesih memberi perintah.
"Kita harus berpencar!" sahut yang lainnya.
"Dia pasti belum jauh. Cari dia sampai dapat dan pastikan kalau dia mampus!" lanjut Nyai Sukesih lagi sebelum tubuhnya melesat ke satu arah. Sementara kelima kawannya yang lain pun telah bergerak dengan arah yang berbeda.

***

Putri Selari terus berlari dengan sekuat-kuatnya sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Dia tahu betul bahwa mereka tak mungkin akan membiarkannya begitu saja. Dan orang-orang itu pun bukanlah tokoh-tokoh berilmu rendah. Kalau dia berhenti sesaat saja, maka bisa jadi jarak mereka akan semakin dekat. Meski tak tahu harus ke mana, gadis itu berlari sekenanya pada satu arah yang membawanya menerobos pekatnya malam dan diantara suara burung malam dan pohon-pohon yang semakin lebat.
Kakinya tersaruk-saruk dan sesekali tersandung akar pohon. Namun dia cepat bangkit dan terus berlari. Nafasnya terasa sesak dan tersengal, dan rasa penatnya seperti tak tertahankan lagi. Namun sekonyong-konyong pendengarannya mengatakan bahwa beberapa orang atau seseorang dari para pengejarnya begitu dekat dengannya. Dan hal ini malah membuatnya bertambah semangat untuk terus berlari.
Sampai di suatu tempat yang agak luas dan dipenuhi rumput-rumput, gadis itu sedikit berseri. Ada sedikit cahaya lampu yang dilihatnya di depan sana. Pasti sebuah desa atau perkampungan, dan dia bisa meminta perlindungan pada salah seorang pemilik rumah itu.
"Hup!"
"Hah!"
Putri Selari terkejut setengah mati. Mukanya pucat dan langkahnya langsung terhenti ketika sesosok bayangan berdiri tegak di depannya. Wajahnya menyeringai buas serta memancarkan hawa pembunuhan yang sadis. Tanpa sadar gadis itu bergerak mundur.
"Hehehehe...! Kau pikir bisa melarikan diri dari kami, he?" dengus orang itu dengan suara sinis.
Gadis itu tak tahu lagi harus berbuat apa. Tenaganya telah terkuras habis. Kalaupun dia melawan, rasanya percuma saja. Orang ini tentu dengan mudah mengalahkannya. Dan kalau sampai dia tewas, lalu siapa yang akan menyampaikan amanat gurunya kepada pihak kerajaan? Berpikir begitu semangatnya kembali bangkit. Dipandanginya laki-laki bertubuh kurus dengan pedang berkilat tajam dalam genggaman tangan kanannya. Sorot matanya tajam dan wajahnya sangat garang.
"Huh, kau pikir aku takut? Majulah!"
"Hahahaha...! Boleh juga gertakmu itu, bocah. Tapi sadarkah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Gurumu sendiri pun kalau masih bernyawa belum tentu bisa berkata seangkuh itu kepadaku!"
"Siapa yang peduli denganmu? Kau dan yang lainnya hanya sekumpulan anjing busuk yang kelaparan! Siapa yang mesti takut dengan kalian."
Mendengar kata-kata penghinaan gadis itu, bukan main marahnya laki-laki itu. Dia menggeram hebat dan siap mengayunkan pedangnya. "Gadis hina keparat! Kau berani memaki pada Ki Langkap Bilur? Terimalah kematianmu!"
Tubuhnya melompat sambil mengayunkan ujung pedang menyambar leher gadis itu. Putri Selari menundukkan tubuh sambil menjatuhkan diri ke samping.
"Yeaaa...!"
Crak! Crak!
"Aah...!"
Sambil berguling-gulingan dia mencoba menghindari sambaran pedang lawan yang mencecar dengan gencarnya. Ujung kaki kanannya mencoba menghantam pangkal paha lawan, namun laki-laki yang mengaku bernama Ki Langkap Bilur itu cepat menangkis dengan kaki kirinya dan terus menghajar pinggang gadis itu.
Des!
"Akh...!"
"Mampuslah kau sekarang! Yeaaa...!"
"Hup!"
Crak!
Begkh!
"Aaaah...!"
Putri Selari memekik kesakitan. Pada saat yang kritis, tubuhnya bergulingan sehingga senjata lawan menghajar tanah. Tapi dengan cepat Ki Langkap Bilur berbalik dan menghajar dada lawan dengan ujung kakinya. Putri Selari terjengkang dan dadanya terasa sakit bukan main. Tak terasa dari sela bibirnya menetes darah segar yang berusaha ditahannya.
"Kali ini mampuslah kau!" bentak laki-laki itu sambil mengayunkan pedangnya dengan cepat.
Agaknya dia tak mau lagi memberi kesempatan pada gadis itu untuk lolos dari serangannya. Dan Putri Selari pun rasanya sulit untuk melepaskan diri dari ancaman lawan. Dia memejamkan mata dengan sikap pasrah.
Wuuut!
Tras!
"Heh!?"
Ki Langkap Bilur tersentak kaget. Seberkas sinar biru menerangi tempat itu untuk beberapa saat. Dia cuma melihat sekilas dan baru menyadari bahwa pedang ditangannya putus dan hanya tersisa setengah jengkal dari genggamannya. Laki-laki itu cepat bergerak mundur dan melihat sesosok tubuh berdiri tegak didekatnya entah datang dari mana.
"Siapa kau?! Lancang betul berani mencampuri urusanku!”
"Maaf Kisanak. Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Namaku Rangga...." sahut orang yang baru datang itu dengan suara halus.
Ki Langkap Bilur memandang dengan cermat. Orang yang baru datang ini hanyalah seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang serta mengenakan rompi putih. Kelihatannya biasa saja, tapi senjata apa yang dipergunakannya tadi? Sudah jelas bukan senjata sembarangan. Dan kalau seorang yang telah mampu menggunakan senjata hebat itu pastilah dia bukan sembarangan orang. Tak terasa Ki Langkap Bilur kecut juga hatinya. Dia berusaha bersikap setenang mungkin dan mengeluarkan suara yang berkesan angkuh untuk memperlihatkan kepada pemuda itu bahwa sedikit pun dia tak merasakan gentar.

***

120. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Mahkota BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang