Hari ini bukan hari yang terlalu baik buat saya.
Kekasih saya ditemukan mati dini hari tadi dengan dada berlubang dan peluru kaliber 5×45 mm bersarang di sana.
Rasanya kewarasan yang tersisa di dinding tengkorak ikut menguap bersama dengan pandangan saya yang menangkap sosoknya tertidur abadi di bathub kamar mandi kami.
Anyir. Darah bercampur dengan air sabun aroma madu favoritnya.
Butuh lima belas menit bagi saya untuk dapat menerima kenyataan bahwa mayat itu adalah separuh hidup saya: Hujan.
Hujan wanita saya, istri saya.
Pagi ini sudah tidak dapat saya hitung berapa banyak kalimat "sabar", dan "ikhlas" serta tepukan di pundak yang saya terima.
Mendadak saya tidak lagi ingat bahwa saya masih dapat bernapas, saya lupa bahwasanya saya masih hidup.
Rasanya saya akan dikubur pagi ini. Rasanya ruh saya sudah melayang menuju dimensi antah berantah.
"Bang Taslim, saya tidak akan pernah bisa mengucapkan terimakasih dengan benar untuk Abang. Bang Taslim sudah jaga kakak sampai nafas terakhirnya," Marko, adik istri saya memulai sambutan kedukaan, "kami sekeluarga merasa kehilangan kakak, tapi Abang selaku suami pasti merasakan lebih dari itu,"
Saya tidak lagi berminat mendengarkan. Bagi saya, kata-kata hanya sekadar ungkapan berintonasi yang kehilangan makna.
Saya seorang penulis, saya terlampau paham bahwa perasaan faktual seseorang tidak akan pernah bisa ditransformasi ke dalam tulisan atau ucapan. Terlalu rumit.
Bahkan kisah ini pun.
"Ini keputusan yang cukup tragis, mengingat kakak saya-Hujan, selama ini dikenal sebagai sosok yang ceria" lanjut Marko dengan suara yang tercekat di kerongkongan, sebentar-sebentar diam untuk mengambil napas panjang, "keputusan untuk meregang nyawa dengan tangan sendiri..."
Terdengar riuh rendah isak yang tertahan dan beberapa obrolan yang terhenti. Mata saya kembali pada wajah damai Hujan yang terpoles make up sedikit lebih menor dari seleranya.
Perias mayat memang tidak punya sense yang bagus. Barangkali mereka berpikir bahwa tidak akan ada pesta untuk dikunjungi di alam kubur sana.
Marko mulai memimpin pelayat menyanyikan beberapa lagu pujian. Saya masih tidak sanggup berdiri, hanya diam di kursi samping peti.
Saya perhatikan sosok bak patung lilin itu. Dia pernah tinggal sangat lama di dalam hati dan pikiran saya. Pernah berbagi atap dengan saya.
Renjana Hujan.
Jauh di sana, saya bisa mendengar gemuruh.
Hujan datang, hujan memanggil saya.
To be Continued