Renjana Hujan telah menjadi satu dengan tanah yang gemar ia hirup aromanya apabila basah selepas gerimis yang ramai.
Saya ditinggalkan sendiri dan terluka.
Ruang tengah rumah kami tidak pernah sedingin ini sebelumnya. Selalu ada sapa Hujan yang menanti di ujung hari menghangatkan saya.
Saya duduk di bangku berlapis kain satin merah yang dipesan khusus oleh Hujan untuk menemaninya minum kopi di sore hari.
Bangku menghadap langsung ke taman belakang rumah yang disekat jendela besar.
Berkas-berkas cahaya pukul empat sore jatuh pada jajaran bunga begonia di luar sana.
"Hujan," saya memanggilnya. Bisa saja dia akan muncul dari dapur dengan apron penuh noda tepung, bisa saja kematiannya hanya mimpi atau delusi. Bisa saja dia sedang tertidur di kamar kami, terlalu lelah dengan tugas kantor yang selalu datang ke meja kerja.
Tapi Renjana Hujan selalu datang setiap saya hadir. Dia separuh saya, ah, atau bahkan porsinya tiga perempat dari saya.
Renjana Hujan baru berumur 24 ketika bertemu dengan saya dan memutuskan menyerahkan sisa umurnya untuk menjadi teman hidup saya.
Perempuan kecil yang tangguh. Tingginya bahkan hanya mencapai telinga saya, tapi bahunya kuat untuk menghadapi badai dan kesah.
Bercinta dengannya tidak pernah terasa salah sampai pada suatu malam di bulan Januari, dia menyebutkan nama yang bukan nama saya. Berulang kali. Membuat saya tersadar bahwa meski saya ada di dalam tubuhnya, jiwanya sudah tidak lagi berada di sana.
Renjana Hujan telah pergi.
Selang beberapa saat, saya merasakan pipinya basah menyentuh kulit dada saya.
Peluh atau air mata kah, saya tidak bisa menerka.Saya ingin menatap matanya, namun dia menenggelamkan wajah pada ceruk leher saya. Enggan untuk menghadap.
Saya berusaha menggapai bibirnya untuk memastikan beberapa hal, barangkali ini hanya bagian dari sandiwara yang biasa dia pentaskan setiap malam minggu di gedung teater kota.
Barangkali kali ini, perannya benar-benar membuatnya hanyut dan sulit membedakan mana skenario buatan, mana yang bukan.
Tapi nafas yang memburu berevolusi menjadi tangis. Saya menjadi engah bahwa dia telah kehilangan seseorang yang tempatnya tidak akan pernah saya gantikan.
Saya kalah.
Dalam kegamangan, Hujan melepas pelukan saya yang melonggar. Dipungutinya piyama tidurnya kemudian beranjak ke kamar mandi.
Meninggalkan saya dengan otak yang keruh.
Malam tidak segera beranjak. Dalam gelap kamar, cahaya bulan masuk lewat kisi-kisi jendela, menertawakan saya.
//
Saya hanya ingin memastikan bahwa hanya saya yang Hujan cintai.
Tapi semuanya menjadi kacau dan mengerikan. Semuanya di luar kendali dan ingin saya.
Hujan geming seperti arca, berusaha menenggelamkan diri dalam rendaman sabun madu yang selalu dia klaim bisa meredakan penatnya setelah bekerja sehari penuh.
"Kita sudah lima tahun menikah, saya perlu tahu siapa Yutaka yang kamu sebut," Pinta saya sebisa mungkin menjaga nada bicara. Namun sabar saya membeku tepat setelah mendapati jari manis Hujan sudah bebas dari cincin nikah kami.
"Kamu selingkuh?"
Suara air yang meluap menjadi satu-satunya tanggapan dari pertanyaan saya.
"Jawab!"
Arah pandang Hujan beralih dari langit-langit menuju wastafel di belakang kepala saya. Masih tidak berani untuk menatap wajah saya yang sudah tidak saya ketahui warnanya apa.
"Kamu terlalu baik untuk diselingkuhi," Hujan membuka mulut.
Saya hampir frustasi berhadapan dengan Hujan yang tanpa ekspresi.
Selama lima tahun ini saya pikir sayalah orang yang paling mengenalnya, tapi nyatanya banyak sisi dari Hujan yang masih asing dan tidak saya temukan sebelumnya."Tapi, masalah perasaan, aku nggak bisa bohong, Yutaka masih nomor satu," lanjutnya yakin. Keyakinan yang menggerus harapan saya.
"Kamu udah gila ya? Saya ini suami kamu?!"
Hujan tersenyum lemah. Seperti sudah hilang arah.
Semuanya menjadi kacau dan mengerikan. Semuanya di luar kendali dan ingin saya, ketika satu peluru berhasil lolos dari chamber revolver menembus lantai kamar mandi. Saya pelakunya.
"Kamu beda dari Yutaka, kamu beda dari aku," bisik Hujan dengan mata tersaput kabut, terlihat kalut dan sedikit takut, "kamu selalu ingin jadi tokoh utama, kamu egois Taslim! Kamu selalu pengen jadi pihak yang menang! Kamu nggak bisa paksa orang, kamu nggak bisa paksa aku!"
"Diam!"
"Kamu selalu berusaha merubah aku jadi seperti yang kamu mau! Aku nggak bisa, aku nggak tahan!" Lanjut Hujan dengan semua emosi yang tersisa, "Aku mau berhenti. Kalau kamu nggak bisa menerima aku yang apa adanya, lebih baik kamu cari perempuan lain yang bisa memenuhi kriteria kamu!"
Satu peluru kembali melesat. Kali ini benar-benar berhasil membuat Hujan tidak lagi memprotes saya. Yang satu ini berhasil membuat Hujan kehilangan suara untuk selamanya.
Satu-persatu ikatan terlepas. Waktu kembali berjalan, malam setuju untuk pergi.
Pukul tiga dini hari, Renjana Hujan pergi.
Matanya masih secemerlang kemarin pagi, saat dia menatap cemas saya yang keluar dari kamar mandi dengan luka di pipi akibat tergores pisau cukur.
END
TERIMAKASIH BUAT KALIAN YANG UDAH BACA TRESNA. CERITA INI SEKALIGUS MENUTUP RANGKAIAN CERITA DI BUKU INI.
SEE YOU WHEN I SEE YOU
![](https://img.wattpad.com/cover/176030217-288-k172559.jpg)