Ayah

711 27 2
                                    

Detik ini, linglung masih memenuhi otak.

Detik selanjutnya, jari jemari mulai merangkai kata.

Terkadang rasa sulit untuk dijabarkan. Jangankan dengan lisan, melalui aksara saja kelu dibuatnya.

Mungkin itu gunanya batin–memberi koneksi kala gengsi merajai.

Mungkin itu gunanya rasa sesal–memberi pelajaran yang kekal pada akal.

Mungkin itu gunanya tangis–memberi rasa pada logika yang tak logis.

-

Jadi begini,

Ada hari lalu yang ingin saya ceritakan

Kebetulan malam masih setia menggiring insomnia pada mata

Inginnya berterimakasih

Tapi lelah juga ternyata

-

Hari ini adalah hari dimana ayah saya dilahirkan.

Dari kecil saya tak pernah mengingat hari lahir beliau.

Mungkin baru hari ini saya mengingatnya tanpa diingatkan.

Lucu rasanya.

Berusaha menjaga jarak pada lelaki sedarah karena ketidak-akraban.

Dan berujung dengan persetujuan semesta.

Seolah semesta berkata seperti ini:

"Biar kami yang memberi jarak, jikalau memang kamu rela"

Dan mungkin ini jawaban saya:

"Silahkan"

Tidak, saya tidak benar-benar berkata seperti itu.

Mungkin itu perumpaan. Atau mungkin visualisasi kisah dari penyesalan seorang bungsu.

Yang pasti, rasa sesal benar-benar tak terduga. Kini jarak bukan sekedar jalanan yang harus ditempuh. Lebih dari itu, mencakup rindu yang bukan sekedar rindu.

Surga-dunia

Butuh berapa lama saya sampai disana? Bisakah saya gunakan sepeda usang yang ayah belikan?

Walau saya tak tau dimana sepeda itu berada.

Tapi jika diperbolehkan, saya akan mencarinya. Apapun caranya.

Mungkin dengan berjalan menuju masa lalu menggunakan mesin waktu yang saya ciptakan di imajinasi.

Apapun itu.

Saya lakukan.

Rasa sesal ini begitu menjengkelkan.

Saya ingin merampungkannya.

-

28 Maret, hari lahir ayah.

Kata Hati, Hari Ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang