"Kamu tuh kenapa sih, Ca? Gak bisa ya gak bikin ulah sebentar aja? Mama malu dipanggil terus sama sekolah kamu, Ca."
"Bodoh, anak durhaka. Mau jadi apa kamu nanti?"
"Lihat tuh Kak Lifka, dia dulu tuh waktu SMA dapat perak OSN Biologi tingkat nasional. Kamu disuruh ikut OSN aja gak mau. Pusing Papa, Ca."
"Gak habis pikir gue sama lo. Gue kira lo masih bisa berubah ya, Ca. Lo tau gak sih akibat dari kelakuan lo yang kaya gini?"
"Dia tuh cuma jadi aib di keluarganya. Kakaknya aja dokter loh, dia malah berandalan kaya gitu. Orang tuanya pasti malu banget deh punya anak kaya dia."
"Pak Guru sudah bilang berapa kali?! Kamu itu perempuan, Lica, nggak pantas bertingkah seperti ini. Perempuan itu anggun, feminim, nggak berandalan seperti kamu."
"Lo itu murahan!"
"Dasar cewek gak bener!"
Semua perkataan buruk tentang dirinya satu-persatu terngiang di kepalanya. Ia terus saja menelungkupkan kepalanya di antara lipatan kedua lutut kaki. Kepalanya mendadak pusing mengingat semua makian yang dilontarkan kepadanya itu. Hebatnya, ia masih berhasil untuk tidak menangis. Hanya beberapa kali mendengus kasar dengan posisi yang masih sama dari satu jam yang lalu.
Di belakang pohon itu, ia memperlihatkan dirinya yang sedang terpuruk pada semesta, Lica Azzura yang ternyata juga hanya seorang manusia biasa.
"Lica, are you okay?"
Lica mendongak. Melihat wajah seseorang yang baru saja memanggilnya ternyata berhasil meluruhkan pertahanannya. Air matanya berhasil menetes untuk pertama kali setelah sekian lama ia mencoba menguatkan diri.
"No. I'm not."
Setelahnya, Lica menangis terisak. Dadanya sesak, entah karena menangis atau terlalu lama menahan beban yang sudah lama ia simpan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Perspective
Teen FictionMembolos, merokok, membully, merebut pacar orang, hingga mencelakai pacar dari cinta pertamanya hanyalah sebagian kecil kenakalan dari seorang Lica Azzura. Dianggap nakal, kejam, egois, dan gadis tak berperasaan sudah sering ia dengar dari mulut tem...