broken wings

49 13 18
                                    

Setelah menyelesaikan hukuman yang diberikan Bagas kepadanya tadi sepulang sekolah, Lica memutuskan untuk singgah ke rumah Steffi sebelum pulang ke rumah. Rumah sahabatnya itu adalah tempat yang selalu dikunjunginya sepulang sekolah. Rumah Steffi yang besar dan sepi, membuatnya merasa nyaman dan bebas karena kedua orang tua Steffi yang jarang pulang.

Lica mungkin dianggap aneh karena ia tidak betah berada di rumahnya sendiri, apalagi kalau kakak perempuan satu-satunya, Lifka, sedang libur dari pekerjaannya dan memilih berdiam diri di rumah.

Menjadi anak kedua dari keluarga Brahmanta tak membuat Lica bersyukur. Padahal, hidupnya tak kekurangan suatu apapun. Namun, semenjak kakaknya berhasil menjadi dokter seperti yang diinginkan oleh orang tuanya, ia merasa dituntut untuk menjadi sempurna. Tepatnya, dituntut untuk menjadi seperti kakaknya.

Tak jarang, ia mendapat amukan papanya karena nilai biologinya yang tak sebagus milik kakaknya. Padahal, nilai mata pelajaran lainnya, khususnya matematika, cukup bagus. Papanya selalu menganggap jika ia akan lebih mudah diterima di fakultas kedokteran jika memiliki nilai biologi bagus. Memang benar, tapi ia selalu kesulitan ketika menghafal sesuatu sehingga ia lebih menguasai mata pelajaran matematika yang lebih mengandalkan hitungan daripada biologi yang kebanyakan menghafal.

Terkadang memiliki saudara yang lebih cerdas tidak selalu menguntungkan. Kata semua orang, memiliki kakak seperti Lifka yang sekaligus bisa menjadi guru privat adalah suatu hal yang menyenangkan.

Omong kosong!

Hal itu akan terjadi jika kamu memiliki kecerdasan yang sama dengan kakakmu. Atau mungkin jika kedua orang tuamu tidak pernah membanding-bandingkan antara kamu dengan kakakmu. Lica tidak pernah sepaham dengan kakaknya dalam hal pelajaran. Entah karena kakaknya yang terlalu cerdas hingga bahasanya sulit untuk dipahami, atau dirinya saja yang memang terlalu bodoh. Ia juga seringkali dibanding-bandingkan dengan kakak satu-satunya itu yang membuat ia malas berurusan dengan Lifka jika menyangkut tentang pelajaran.

Lica menoleh pada Steffi yang sedang asyik menonton film di laptop. Keduanya masih belum beranjak dari kasur kamar Steffi, padahal langit sudah berubah petang yang menandakan hari segera berganti malam.

"Kalau gue deketin nih cowok, gimana menurut lo, Stef?"

Lica menunjukkan foto seorang lelaki kepada sahabatnya yang sedang berbaring telungkup di sampingnya.

"Lumayan sih dari mukanya. Namanya siapa tuh?"

Steffi hanya melihat sekilas foto yang diperlihatkan oleh Lica. Film yang ditontonnya masih belum selesai.

"Kak Iko. Nama lengkapnya Keiko Surya Abraham. Kelas 12 IPA 2. Sayangnya dia udah punya pacar."

Lica tersenyum menatap wajah kakak kelasnya yang ada di layar ponselnya. Ia mencuri foto itu dari akun instagram lelaki tersebut. Lumayan tampan meskipun tidak terlalu terkenal. Tidak apa-apa menurutnya, yang penting tidak memalukan ketika dipamerkan kepada teman-teman Lica.

"Kakak kelas dong? Ganti aja deh. Udah punya pawang kaya gitu juga masih mau aja lo."

"Sorry, Stef. Lica Azzura tuh nggak mengenal kata menyerah. Pokoknya sebelum janur kuning melengkung, gue tetep bakal deketin nih cowok."

Lica melanjutkan acara stalking pada gebetan barunya itu. Untuk memulai langkah pertamanya, ia akan follow akun instagram milik Iko.

"Mulai deh gilanya. Musuh lo ntar tambah banyak, Ca. Gue gak mau ikut-ikutan ya kalau ntar lo dilabrak ceweknya."

Steffi hanya bisa menggelengkan kepalanya heran. Keiko sudah menjadi target korban Lica yang kesekian kalinya. Lihat saja beberapa minggu atau bulan lagi, Lica pasti akan mengeluh pada Steffi karena bosan dengan gebetannya.

Other PerspectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang