a reason

27 6 21
                                    

Lica mendelik kesal ketika ucapannya sama sekali tidak ditanggapi oleh Bagas. Ia mengambil tasnya yang tergeletak di lantai dan memutuskan keluar dari gudang karena sedang tidak ingin menanggapi lelaki sialan itu.

"Cuma murid gak waras yang berani ngrokok di area sekolah."

Langkah Lica yang semula sudah hampir mencapai pintu terhenti ketika mendengar ucapan Bagas. Tangan yang berada di kedua sisi tubuhnya mengepal erat. Emosinya berhasil tersulut sempurna. Ia membalikkan badan, menatap tajam Bagas yang berdiri menghadap ke arahnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana. Cuih, sok keren!

"Kenapa sih lo selalu ikut campur urusan gue?! Jadi Ketua OSIS masih bikin lo kurang kerjaan ya?"

"Percaya diri banget lo. Kalau aja lo lupa, tugas gue emang gini. Gak cuma ke lo doang kali. Memang apa sih enaknya rokok? Lo buta sampai gak bisa baca peringatan yang ada di bungkusnya ya?"

"Kenapa? Pengen juga lo?" Lica menyeringai, sepertinya memang pertemuan dirinya dan lelaki itu tidak akan pernah berakhir damai.

Bagas menghela napasnya lelah. Sebenarnya ia malas memperingati gadis itu, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan ada murid yang merokok di area sekolah, tepat di depan matanya pula.

"Kalau emang lo mau merusak diri lo sendiri, setidaknya jangan di lingkungan sekolah. Kalau emang gak bisa bawa harum nama sekolah, setidaknya jangan memperburuk."

Kalimat yang dilontarkan Bagas berhasil membuat ego Lica tersentil. Wajahnya mulai merah padam menahan amarah.

"Lo dilantik jadi Ketua OSIS emang tugasnya buat bacot kaya gini ya?"

"Gue sama sekali gak ngomongin tentang jabatan gue lho dari tadi. Kenapa lo terus-terusan permasalahin itu?"

Lica terdiam sebentar, sebelum kemudian membalas ucapan Bagas.

"Soalnya gue muak sama orang-orang yang sok suci kaya lo," Bagas yang mendengarnya hanya mendengus.

"Basi. Itu cuma alasan klasik murid-murid yang punya dendam ke OSIS, padahal emang dia sendiri yang gak bisa disiplin sama aturan sekolah."

Tanpa harus Lica katakan pada dirinya pun Bagas sudah sering mendengar kalimat itu dari teman-teman sekolahnya. Menjabat sebagai Ketua OSIS selama hampir setengah tahun tidak hanya membuat orang-orang semakin segan padanya, tetapi juga membuat beberapa orang membencinya, terutama orang-orang sombong yang tidak mau tunduk pada aturan sekolah. Contohnya gadis yang berada di depannya saat ini.

Melihat Lica yang tidak membalas, Bagas melanjutkan ucapannya.

"Sok suci dari mana kalau gue cuma negur murid yang melanggar aturan?"

Lica masih terdiam dengan tatapan matanya yang semakin menajam. Mau tidak mau ia membenarkan ucapan Bagas. Ia merutuki dirinya sendiri karena salah menjawab. Namun, egonya yang tinggi tentu saja tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebelum ia sempat membalas lagi, tiba-tiba suara seseorang menghentikan niat Lica.

"Wush, kalem my bro! Jangan kasar-kasar sama cewek gitu lah."

Lica dan Bagas serentak menoleh dan mendapati Dio bersandar pada pintu gudang. Baju Dio sudah acak-acakan keluar dan semua kancingnya terbuka memperlihatkan kaos hitam yang dipakainya, tipikal orang yang tidak disukai Bagas, tidak bisa rapi.

Sadar bahwa ucapannya itu berhasil mengalihkan perhatian Lica dan Bagas, ia melangkah masuk lalu merangkul bahu Lica santai. Melihat perempuan itu dimarahi membuat jiwa lelakinya tiba-tiba meronta. Dio terkekeh kecil dengan pikirannya sendiri.

"Lo pergi sana deh. Tadi kayanya lo dicariin si Yono." Dio mengarahkan dagunya ke arah pintu, mengusir Bagas terang-terangan.

"Lain kali kalau masih jam sekolah dan gue lihat baju lo acak-acakan begitu, gue gak akan segan ngasih peringatan ke lo ya, Yo. Baju lo gak pantas dilihat sama guru."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Other PerspectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang