Ruang tengah yang merangkap ruang keluarga itu kini tampak ramai oleh celotehan tak jelas dari bibir kecil Ara. Semuanya baik Pak Hadi, Bu Ratri, Dian, Arya serta Kinan, perhatian mereka terarah pada satu obyek yang sama yaitu primadona baru di rumah ini. Salah satu cucu keluarga Pramono itu kini sedang dalam masa lucu-lucunya. Apapun yang Ara lakukan pasti akan mengundang gelak tawa dari seisi penghuni rumah. Seperti malam ini ketika Arya mengajarinya berdoa.
Pak Hadi dan Ibu Ratri duduk di sofa. Sedangkan Arya, Kinan dan Dian duduk di karpet. Sementara Ara sendiri malah berlari kesana-kemari. Anak itu akan berhenti dengan sendirinya jika ada hal yang menarik perhatiannya.
"Ya Allah." ucap Arya seraya menengadahkan kedua tangan. Diikuti oleh anggota keluarga lain agar Ara juga ikut melakukan hal yang sama. Dan berhasil, anak itu berjalan mendekat pada sang ayah. Mengamati Ayahnya yang tersenyum. "Ya Allah." ulang Arya karena Ara belum membuka suara. Ia angkat tangannya agar Ara melihatnya.
"Ya Awoh." Bibir kecil Ara mulai meniru. Kedua tangan gempalnya juga ikut menengadah, tapi matanya selalu melihat ke banyak arah. Sepertinya anak itu sedang memastikan jika yang lain juga masih berada di posisi yang sama.
"Semoga ...."
"Emoda."
"Ara ...." ucap Arya menyebut nama anaknya itu.
"Aya."
"Bisa bicara yang jelas." lanjut Arya seraya menatap mata bulat anaknya.
"Elas." kata Ara hanya meniru kata terakhir.
"Jangan panjang-panjang lah, Mas." protes Dian sambil tertawa. Menatap Ara yang terlihat kebingungan karena semua orang malah tertawa. Tak lama kemudian, anak itu malah ikut tertawa hingga menampakkan gigi-giginya yang kecil teratur.
"Cucunya Kakek ini diketawain kok malah ikut ketawa, sih." Pak Hadi yang kebetulan ada di belakang Ara langsung menarik cucunya itu. Memangkunya dan menciuminya berulang kali.
Ara menggeleng-gelengkan kepala sambil tangannya bergerak menolak sang Kakek. Rasanya sangat sesak ketika dipeluk dan dicium seperti itu.
"Ampun, Eyang Kakung." ucap Bu Ratri yang berada di samping suaminya. Berkata pelan agar Ara menirunya.
"Apo ... Apo ... Tung ...." Ara menirunya dengan logat cadel. Tangan-tangan mungilnya masih berusaha menolak sang kakek. Setelah beberapa saat, akhirnya ia dilepaskan juga oleh Pak Hadi. Muka bulatnya sudah merah menahan tangis.
Setelah lepas, Ara berlari menuju perempuan berjilbab yang duduk di karpet. Tapi, seperti rem cakram di sepeda motor, langkahnya langsung terhenti di depan Dian yang sudah melebarkan kedua tangan. Rupanya bocah itu salah orang. "Mam-ma ...." gumamnya lalu beralih ke perempuan berjilbab yang satunya.
"Jangan, ini Mamaku." Arya yang berada didekat Kinan lantas memeluk istrinya itu dari samping. Menghalangi anaknya sendiri yang akan datang pada sang ibu.
Bibir kecil Ara sudah melengkung ke bawah. Kedua matanya sudah mulai berair. Sementara Kinan juga berusaha melepaskan pelukan Arya. Dia sangat malu diperlakukan seperti ini di depan kedua mertuanya dan juga Dian. "Ma-maaaa huaaa ...." Akhirnya tangis Ara pun pecah saat Arya tak kunjung melepaskan ibunya. Anak itu sudah berusaha menarik lengan sang ayah disertai dengan pukulan kecil yang sudah agak terasa sakit di permukaan kulit Arya.
"Mas, lepasin." gumam Kinan setengah berbisik. Dia sangat risih menjadi pusat perhatian malam ini.
"Sayang Papa dulu." Masih memeluk Kinan, Arya memberi penawaran pada Ara dengan menyodorkan pipi. Bukannya dicium, pria itu malah mendapat pukulan di hidungnya yang mancung. "Aduh." Arya mengaduh kesakitan saat pukulan Ara kali ini sangat terasa. Pukulan itu berhasil membuat Arya menarik tangannya hingga membuat pelukannya terlepas. Ia menggosok-gosok hidungnya yang perih.
Ara tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia langsung menubruk sang ibu yang sudah sangat siap menerimanya. Duduk di pangkuannya yang hangat seraya melihat Arya yang masih kesakitan. "Pa ...."
"Huhuhu ... Papa dipukul Ara. Sakit banget." ucap Arya sambil pura-pura menangis. Pria itu melirik anaknya yang malah tersenyum senang.
"Sukurin lo." Dian yang baru saja menurunkan gawainya itu lalu berucap mengejek sang kakak. Gadis itu tadi sempat mengabadikan momen lucu itu dalam bentuk video.
"Papa sayang dulu biar nggak sakit." Arya menundukkan wajahnya, menyodorkan pipinya lagi di depan Ara. Tak menggubris ejekan Dian.
Ara berdiri lagi lalu menyondongkan tubuhnya ke depan. Ia bukannya mencium pipi Arya seperti titah ayahnya itu. Tapi dia malah mencium hidung mancung Arya dengan hidungnya yang pesek dan kecil. Bibirnya menggumamam kata emh saat indera penciuman itu saling menempel.
"Duh, duh, duh. So sweet sekali." Komentar Dian yang mendadak menjadi fotografer yang terus mengabadikan tingkah lucu Ara malam ini. Ia sudah agak mendekat kepada keluarga kecil itu agar bisa membidik mereka dari sudut yang pas. "Tante juga mau dong disayang."
Ara yang mendengar kata sayang terucap dari mulut Dian, lalu menoleh pada tantenya tersebut. Bocah itu kemudian berlari kecil kearah Dian dan langsung mencium pipinya cukup lama. Memeluk leher Dian hingga gadis itu tak bisa kemana-mana. Mengikhlaskan pipinya menjadi penuh dengan liur Ara. Tapi itu bukan masalah baginya. Dian tidak merasa jijik dengan air liur tersebut.
Pak Hadi dan Ibu Ratri hanya tersenyum bahagia melihat itu semua. Mereka gantian meminta ciuman dari Ara, tapi cucu mereka itu tak mau memberikannya.
"Oh ya, Mas. Gimana pembangunan rumahnya? Udah sampai tahap mana?" tanya Ibu Ratri kepada Arya yang punggungnya bersandar di kaki sofa.
"Lagi bikin pondasinya, Ma." jawab Arya sekilas menoleh pada sang ibu.
"Kok pondasi terus, sih. Udah sekitar satu bulan kan." protes Ibu Ratri yang tak paham tentang proses pembuatan rumah.
Pak Hadi hanya menggeleng mendengar celotehan sang istri. "Kalau bikin pondasi kan harus gali tanahnya dulu, Ma. Dengan kedalaman yang sudah diperhitungkan oleh arsiteknya. Nggak bisa langsung pasang batu sama besinya asal-asalan."
"Iya, Papa bener. Lagian dua minggu pertama itu kan baru bikin desainnya dulu, Ma. Nunggu Raka sama Dean longgar juga." ucap Arya menimpali ayahnya.
"Emang nggak bisa minta duluan. Kamu kan temen mereka."
"Ya, nggak bisa seenaknya gitu juga dong, Ma. Mereka kan ada pekerjaan lain. Kalau bukan Arya sama Kinan nih yang mau bikin rumah, mereka pasti nggak mau nerima." tutur Arya karena biasanya orang yang akan menggunakan jasa Raka maupun Dean harus daftar dan antri terlebih dahulu. Mereka bukan arsitek main-main. Selain membangun perumahan, apartemen dan perhotelan, Raka juga menyediakan jasa desain bangunan bagi keluarga yang akan membangun rumah sesuai keinginan sendiri. Dan walaupun Dean bekerja pada Raka, tapi kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Pria itu bisa mendesain bangunan sekaligus interiornya.
Arya memang berencana membuat rumah sendiri. Tentu atas persetujuan Pak Hadi dan Ibu Ratri yang otomatis merelakan keluarga kecilnya itu pindah dari rumah ini nantinya. Kedua orangtuanya bukan orang yang kolot, mereka malah mendukung Arya dan Kinan yang akan membangun rumah tangganya sendiri. Toh, lokasi rumah baru mereka tak jauh dari rumah ini. Jadi mereka masih bisa sering bertemu.
Bersambung.
Maaf update lama 🙏🙏🙏
Semoga part gaje ini bisa mengobati rindu kalian pada keluarga Arya 🤭Terima kasih dan selamat menjalankan ibadah puasa ramadan.
29 April 2020
Nb: kalau udah 2.5k vote akan langsung update part selanjutnya 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Undesirable Baby 2 : With You
General FictionSekuel Undesirable Baby. "Mas!" "Sayangku, kan kita mau pacaran. Masa ngajak anak, sih." sahut Arya kala mendapat sambaran maut dari wanita berhijab coklat disampingnya itu. Kinan mengalihkan pandangannya, tak menatap Arya lagi untuk menyembunyikan...