10

24 1 0
                                    

Aku melihat jam, ternyata sudah jam 7 kurang 10. Sejujurnya aku sangat gugup, kemana Martin akan membawaku, ya? Walaupun Julian sudah bilang tidak apa-apa, namun tetap saja aku gugup. 

Sebelum turun, aku merias wajahku supaya terlihat lebih manis di hadapan Martin dan mengecek penampilanku sekali lagi didepan cermin. Ini first date ku dengan Martin! 

Aku turun kedapur menemui Mam, tenang saja, kali ini aku tidak menggelinding dari tangga.

"Hey Sweetie." Sapa Mam dengan senyumnya yang hangat.

"Hi Mam! Do I look pretty?" Tanyaku sambil memutar badanku layaknya mengibaskan rok. Padahal aku pakai celana.

"As always, darling," Jawab Mam, "Mau kemana, sayang?"

"Umm, aku izin mau pergi dulu ya, Mam," Ucapku lalu langsung lari keluar, "Bye!"

Aku memutuskan untuk menunggu Martin di luar, aku malu kalau harus di tanya banyak hal oleh Mam, belum lagi kalau Dad ikut nimbrung, belum lagi kalau Brandon! Ugh, aku sangat menghindari hal-hal tersebut terjadi!

Aku menunggu sambil melamun, aku memutuskan untuk tidak membawa handphoneku. Menuruti katanya Martin. Aku takut terjadi apa-apa dengan handphoneku nantinya.

25 menit berlalu, Martin tak kunjung datang. Diluar sudah semakin dingin, dia dimana, sih?

"Laur!" Teriak seseorang dari kejauhan, ternyata dari kananku.

Oh, Martin.

Loh tapi, jalan kaki?

"Hey." Sapaku. Bajunya juga serba putih, ada apa sih, ini?

"Sudah siap?" Tanyanya dengan senyum yang selalu bisa meluluhkan hatiku.

"Hu-um, siap," Ucapku, "Kita mau kemana?"

"Ikut saja, yuk" Martin meraih tanganku dan menggandengku.


Kami sampai disebuah tempat. Suasananya sungguh mencekam, aku dan Martin berada di sebuah jalan yang sempit, minim penerangan, dingin, tempat apa ini?

Kami menaiki beberapa anak tangga, lalu masuk ke salah satu pintu.

Bug!

"Eh?!" Aku terkejut dan berlindung di balik punggung Martin, "Suara apa itu, Martin?" Bisikku.

"Martijn Garritsen! Welcome home!" Teriak seseorang dari kejauhan. 

Pakaiannya serba hitam, seorang laki-laki, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena ruangan ini minim penerangan, ya penerangannya mirip seperti di bar, agak samar, namun aku tahu pasti, orang itu tidak terlalu tua.

Laki-laki itu berjalan mendekati kami. Aku melihat seseorang tergeletak di lantai, dan beberapa laki-laki yang sedang lalu lalang di belakang, ada yang minum, ada yang mengobrol, ah, tempat apa sih ini?

"Elijah, long time no see." Ucap Martin.

Martin dan temannya yang bernama Elijah-Elijah itu sedang mengobrol. Pandanganku fokus melihat laki-laki yang tergeletak itu.

"Big boss, ini barangnya, sesuai dengan yang big boss inginkan."

"Bodoh! Barang apa ini?!"

"Tapi ini barang yang biasa saya antar, big boss. Tidak ada bedanya."

"Kau bohong berarti kau siap mati."

"I'm very sorry big boss! Please stop!" 

"Why should i stop?! You should die! You never did everything right. You don't deserve anything in this world. Just. Die. You. Piece. Of. Shit."

Aku memecah lamunanku, barang apa yang dia bicarakan? Kenapa laki-laki itu dipukuli temannya Martin sampai terkapar begitu? Kenapa aku bisa melihat semuanya yang terjadi? Ada apa denganku?

Aku masih berlindung di balik punggung Martin, bahkan saat dia masih asyik berkomunikasi dengan Elijah, aku sama sekali tidak mendengar perkataan mereka karena pengelihatan yang tadi terbesit.

"Laur? Laury? Hey," Martin mengoyakkan badanku, "Laury?"

"Um yes Martin." Aku tersenyum kepadanya.

Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, matanya menatapku dengan dalam, aku melihat sesuatu di matanya, ia berbisik kepadaku, "Kita harus kabur, persiapkan dirimu untuk lari, jangan berteriak, jangan bicara, hanya perlu lari, okay?" Ia tersenyum dan mendorongku sampai benar-benar berdiri dibelakang punggungnya.

Martin mengeluarkan pistol dari kantung belakang celananya, ia menembak semua orang yang ada disana, ia menembak semua laki-laki yang sedang minum, yang sedang mengobrol, ia menembak laki-laki yang sudah terkapar dilantai, bahkan ia menembak temannya, Elijah.

Martin menggenggam tanganku, kami segera lari sekencang-kencangnya. Aku bisa mendengar Elijah berteriak memaki Martin dengan suaranya yang merintih kesakitan. Kami berlari keluar dari bangunan tersebut. Di ujung jalan aku melihat sebuah mobil hitam, kami berlari ke arah mobil itu. Mobil Martin.

Kami masuk mobil Martin, aku sangat shock dengan keadaan yang baru saja terjadi, aku tidak bisa berkata apapun, aku benar-benar shock.

Martin tancap gas pergi dari jalan itu, ia terlihat tenang, tidak ngos-ngosan ataupun panik, kenapa ia bisa begitu tenang?

"Laury, are you okay?" Tanyanya memecah keheningan di antara kami berdua.

"I don't know what to say Martin." Aku benar-benar shock, aku tidak tahu harus berkata apa.

"I love you, Laur. I love you." Ucapnya dengan suara yang tenang nan lembut, manis, seperti ia yang biasanya.

Entah apa yang Martin lakukan, entah sihir apa yang ia gunakan, namun ucapannya barusan benar-benar menenangkan perasaanku. Aku merasa damai, aku merasa semua sangat baik-baik saja.


Martin menghentikan mobilnya di jalan raya. Aku melihat jam, sudah menunjukkan pukul 10 malam. Entah seberapa jauh ia mengendarai mobilnya, namun waktu berlalu begitu cepat saat bersamanya.

"Laur, listen," Ia menghadapkan wajah dan tubuhnya kehadapanku, "I love you so much."

Aku terdiam, menghadapkan wajahku ke wajahnya. Bibir tipis, jawline tajam, mata yang indah, hidung yang sempurna. Terima kasih Tuhan atas makhluk ciptaanMu yang ada di hadapanku ini. Ia yang aku inginkan, aku mencintainya juga.

"I love you, Laur. I want to tell you the truth," Martin mengambil dan menggenggam kedua tanganku, "I'm not just an ordinary person, Laur. Aku pengedar barang terlarang. Barang yang barusan aku dapatkan adalah barang yang aku cari. Dan Elijah, ia teman lamaku, tapi namanya sudah tercium oleh para polisi, ia tidak bisa lagi aku percayai, aku juga membencinya, jadi aku membunuhnya. Dan aku tidak merasa bersalah sudah membunuhnya, 'cause he deserves that."

Aku mencintainya, bahkan dengan pengakuan dosanya ini pun, aku tetap mencintainya. Sihir apa yang Martin gunakan kepadaku?

Martin menggenggam tanganku lebih erat, ia memajukan wajahnya mendekati wajahku. Matanya beradu dengan mataku, ia benar-benar indah. Sungguh, aku terbuai dengan dirinya, dirinya yang seperti ini. 

Tak sadar, aku memejamkan mataku, Martin semakin dekat. Cinnamon. Ia menciumku. Ia menciumku tepat di bibirku. 

Kami bercumbu hangat dan mesra. 

Aku tidak mau pergi dari moment ini. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Psycho [Martin Garrix fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang