Bab 6

10.5K 850 60
                                    

Menikah baru hitungan bulan kemudian bercerai. Terdengar konyol, memang. Tetapi siapa sangka jika itulah yang justru menjadi titik balik kehidupan seorang Reyhan?

Baru enam bulan, tapi segala hal yang berkaitan dengan Maysa seperti sudah melebur dengan diriku, membawa pengaruh yang begitu dahsyat bagi jiwaku. Jiwa yang selama ini melompong tanpa pengetahuan agama. Jiwa yang hampa tanpa diisi lantunan zikir dan ayat-ayat-Nya.

Aku bertekad memperbaiki diri. Bukankah cepat atau lambat kematian akan menghampiri? Apa yang akan kubawa jika nyawa sudah terpisah dari raga? Dunia yang berhasil kukumpulkan tidak akan sanggup menebus pedihnya siksa neraka. Iya, kan?

Sudah hampir satu bulan belajar tahsin di sebuah lembaga non profit dengan bimbingan seorang ustaz. Namanya Ustaz Hadi. Tahu umurnya berapa? 26 tahun, Men! Lebih muda empat tahun dariku. Awalnya malu. Benar-benar ... muka ini mau ditaruh mana? Dia yang masih belia sudah menjadi hafiz quran. Aku? Tilawah saja masih belepotan.

Namun ada yang bilang, jangan malu untuk urusan agama. Jadi, untuk yang satu ini, singkirkan jauh-jauh yang namanya gengsi.

Lagi pula, ustaz muda keturunan Arab yang mengajar ini, terlanjur membuatku nyaman. Sikapnya lembut, budi bahasanya halus. Cara menegurnya juga sangat sopan.

"Em ... kalau ada tanwin bertemu dengan wawu, bacanya mendengung, Pak. Jadinya begini, 'dzulumātuww wara'duww wabarq. Bukan dzulumātuw wara'duw wabarq." Agak sungkan, ia menegur lalu mengoreksi.

Aku hanya menggaruk-garuk kepala. Padahal itu materi dua hari lalu, tapi sudah lupa.

Melihatku salah tingkah, Ustaz Hadi tersenyum ramah dan berkata, "Enggak apa-apa, Pak. Pelan-pelan."

"Saya juga sering lupa, Pak," ujar Pak Zaid, disusul tawa pendek. Beliau teman belajar satu kelas denganku. Usianya sudah memasuki kepala lima. Biarpun sering salah baca, tapi semangatnya luar biasa.

Oh ya, di kelas ini cuma ada lima orang. Memang dibatasi agar proses belajarnya bisa efektif dan ustaznya tidak kuwalahan. Dari lima orang itu, tiga lainnya masih berstatus mahasiswa S1. Terbayang kan, betapa malunya kalau keliru?

Aku mengulangi. Pelan-pelan dan kali ini benar.

Ingat ya, Reyhan, nun sukun atau tanwin kalau bertemu dengan wawu, dibaca mendengung. Men-de-ngung. Itu bacaan idghom bighunnah. Hurufnya ada empat. Ya, nun, mim, dan wawu. Jangan salah lagi, plis!

Pukul 20.30 WIB, pelajaran selesai. Aku pulang, mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Ketika melewati sebuah komplek ruko, aku sengaja memperlambat laju kendaraan. Menoleh ke kiri jalan, fokus pada unit dengan tulisan 'Orchid Cake n' Bakery', toko kue milik Maysa. Sudah tutup, tentu saja. Aku menyemburkan napas kecewa.

Toko itu berdiri dua tahun sebelum kami menikah. Maysa sarjana ekonomi. Suka bisnis. Ketika masih mahasiswa, dia menyewa teras koperasi kampus untuk jualan kue. Bukan dia yang memproduksi, tapi teman-temannya dari Jurusan Tata Boga. Lalu bisnis itu berakhir ketika dia lulus sarjana, saat usianya 22 tahun. Uang hasil jualan di kampus yang dia tabung, rupanya cukup untuk menyewa unit itu.

Kadang aku heran dengan Maysa. Dia orang berada. Papanya seorang pejabat di salah satu perusahaan BUMN. Tetapi kenapa memilih hidup mandiri seperti itu?

Ah, rupanya waktu enam bulan belum cukup untuk membuatku tahu banyak hal tentang dirinya.

Aku menggeleng, mengusir rasa rindu yang tanpa ampun menggigit kalbu. Nyeri. Sakit. Sesak. Terpilin-pilin dalam satu waktu. Fix, aku butuh obat.

Begitu sampai rumah, aku duduk di teras. Ada satu kursi plastik berlengan. Biasanya Maysa duduk di sini. Memandangi bunga-bunga anggrek yang menjuntai dan bermekaran. Sesekali sambil menyemprotkan air dan membubuhkan pupuk. Atau menata ulang letak pot-potnya, yang kurang lebih ada dua puluh empat.

Usai Bercerai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang