Bab 7

9.9K 804 46
                                    

"Ya Allah, bolehkah hamba geer?"

Aku mengangkat kedua tangan di sepertiga malam terakhir. Rutinitas beberapa pekan belakangan. Selain memohon ampunan, juga meminta petunjuk. Bagaimana meraih kembali Maysa Al-Mahira. Lalu aku merasa ... Allah telah membuka jalan itu perlahan-lahan.

Jadi, bolehkah aku yang selama ini jauh dari kata takwa, jauh dari-Nya, tiba-tiba kegeeran, merasa apa yang telah dipinta mendapat jawaban?

Sejak bertandang ke rumahnya hari itu, aku merasa jalanku buntu. Meski kadang terbesit untuk mengunjungi toko kue miliknya, tapi aku takut tidak berani menyapa. Ada pegawai-pegawainya yang mengenalku. Aku yakin, mereka sudah mencapku sangat buruk karena telah menceraikan wanita sebaik bosnya.

Hampir setiap waktu aku berharap, Allah mempertemukan kami kembali. Entah di jalan, di warung makan, di tempat tambal ban, di tempat wisata, di mana saja. Lalu tiba-tiba di tempat itu, yang sama sekali tak terduga. Meskipun memang belum berjumpa, tapi peluang itu seakan nyata.

"Semoga ini awal yang baik," bisikku dengan tekad yang kuat.

Paginya, aku menjalani hari yang tak biasa. Seluruh sel dalam tubuh seakan riuh, bersemangat. Urat nadi berlompat-lompat. Aku merasakan lonjakan energi yang berlebihan, butuh diluapkan.

Sembari bersenandung kecil, aku membereskan rumah yang ... penampakanannya hampir mirip gudang. Wajar. Dua bulan tidak mendapatkan sentuhan wanita dan bagi laki-laki sepertiku, yang penting bisa lewat dan tidur nyenyak. Itu sudah cukup. Lalu pagi ini, aku benar-benar beberes seolah ada seseorang yang istimewa yang akan singgah dan menilai.

Setelah rumah terlihat layak, aku menyiram anggrek. Menata ulang pot-potnya, dan memotong daun-daun yang sudah tak enak dilihat. Kupastikan Maysa akan senang melihat bunga kesayangannya tumbuh indah dan sehat.

Maysa akan ke sini? Em ... mungkin bukan hari ini atau besok atau lusa atau pekan depan. Tapi suatu saat nanti.

Ya, suatu saat nanti jika Allah menghendaki.

***

Selama di kantor, pikiranku sibuk mengatur strategi. Bagaimana agar bisa bertemu Maysa esok hari. Setengah mati otakku berusaha konsentrasi pada laporan audit yang sudah ditagih berkali-kali. Namun ... argh! Gagal lagi dan gagal lagi!

"Maysa ...," aku mendesis geregetan, "bisa-bisanya kamu ...." Tanganku mengepal, mengambang. Lekas bibirku beristigfar berulang-ulang. Meredam gejolak yang kian menggila dan garang.

"Hei, Reyhan! Kenapa?" Bu Maya, kepala sub bidang, menegur. Mungkin aku terlihat seperti orang frustasi?

"Enggak papa, Bu." Aku menyandarkan punggung di kursi, berlagak santai sambil meniup-niup ujung rambut yang menjuntai di kening. Baru sadar sudah sepanjang ini.

"Pusing sama temuan, kali, Bu," seloroh yang lain.

Bu Maya terbahak menanggapi. "Biasa kalau temuan banyak, mah. Migas, gitu loh! Nikmati aja, Rey."

Aku menyemburkan napas. Lega. Kecurigaan di wajah wanita menjelang paruh baya itu telah sirna.

"Oke, Bu. Dinikmati sambil minum kopi kayaknya enak, ya?" Aku beranjak, menuju 'pojok makanan' ruangan. Membuat kopi hitam sambil menanggapi celoteh orang-orang, yang kutahu tujuannya cuma meredam stres akibat laporan yang penuh dengan temuan.

Beginilah audit obyek strategis negara. Anggaran yang digunakan besar. Sudah pasti banyak dana yang penggunaannya melenceng dari aturan.

Begitu kembali ke kursi, aku memusatkan konsentrasi pada layar laptop 11 inchi. Memandangi tulisan-tulisan yang begitu memusingkan. Aku pun menyeruput kopi yang hanya kububuhi sedikit gula. Biasanya sih, rasa pahit berpadu panas membantu otak kembali segar.

Usai Bercerai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang