Bab 5

11.4K 955 99
                                    


Mungkin tidak berlebihan jika kusebut sebagai patah hati paling parah sepanjang perjalanan hidup.

Ya, ketika kita menjatuhkan perasaan pada seseorang, tetapi terlambat. Karena dia telah pergi. Tanpa sorot mata yang menunjukkan, bahwa ada rasa senada yang ia miliki.

Dengan dada masih berdenyut nyeri, aku menyusul mobil yang ditumpangi Maysa. Logikaku mengatakan, aku harus tetap menjaganya. Harus kupastikan bahwa dia dalam keadaan aman, sopir taksi online tidak macam-macam, dan yang paling penting Maysa sampai rumah dalam keadaan baik-baik saja. 

Gerimis tipis mengguyur Jakarta. Aku yang mengendarai sepeda motor tidak terlalu menggubris. Mobil hitam dengan plat nomor yang sudah kuhafal itu harus berhasil kukejar. Dan misi baru tercapai setelah sepuluh menit menjadi pembalap dadakan.

"Motor pengkor!" rutukku kesal. Sebuah truk melewati kubangan air dan sialnya tubuhku kecipratan!

Namun apakah itu membuatku berhenti? Tentu saja tidak! Anggap saja pengorbanan meski tak seberapa.

Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil berbelok menuju komplek di mana orang tua Maysa tinggal. Debar-debar di dadaku tak terkendali. Selain takut ketahuan, lingkungan ini juga mengingatkanku pada pernikahan yang digelar enam bulan silam. Pernikahan kami.

Aku sedikit membuka kaca helm, menghirup udara dalam-dalam. Ingatan momen pernikahan membuatku hampir kehabisan napas.

Pernikahan itu .... Hari di mana seharusnya aku menjadi laki-laki paling bahagia karena mendapatkan wanita sebaik Maysa. Hari di mana harusnya aku move on dari masa lalu, dan menjadikan Maysa satu-satunya permaisuri di hatiku. Dan sekarang ... semuanya sudah terlambat? Aku berharap tidak, meski semesta seolah mengatakan sebaliknya.

Aku menghentikan motor di bawah tiang listrik, berjarak kira-kira 10 meter dari rumah orang tua Maysa. Mobil hitam tadi berhenti di depan pagar bercat putih. Kulihat Maysa turun dan si driver membuka pintu bagasi belakang, mengambil koper. Setelah benda itu berpindah tangan, Maysa mengangguk terimakasih, lengkap dengan senyum yang menawan.

Andai senyum itu untuk Abang, May .... Dan tanpa sadar, satu lenganku sudah memeluk tiang listrik. Tuhan ... sungguh aku cemburu dengan driver paruh baya itu!

Mobil bergerak menjauh ketika pintu pagar dibuka seseorang. Maysa masuk dan lekas memeluk sosok itu.

Bibi Salamah, ART keluarganya.

Aku bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Sebuah drama kepulangan seorang wanita setelah menjadi janda. Aku membuang napas kasar. Sungguh miris saat mengingat bahwa akulah pelakunya.

***

Pulang kerja dan tidak ada yang menyambut seperti biasa. Bukan hanya berbeda, tetapi keanehannya benar-benar terasa.

Rumah sepi. Tidak ada suara lembut dan tegas itu lagi. Yang menyuruhku mandi, ganti baju, salat, dan makan malam. Tidak ada bebunyian yang berisik dari dapur sana. Juga tak ada lagi suara perabotan jatuh yang mulai akrab selama sebulan terakhir ini.

Rumah ini seperti raga kehilangan nyawanya. Dingin dan sunyi.

Aku merobohkan tubuh di sofa, menyalakan televisi. Dan masih saja seluruh tayangan tampak hambar di mata. Ya, bagaimana bisa menikmati sesuatu dengan hati yang separuhnya dibawa pergi?

Maysa ... kapan engkau kembalikan hati Abang yang separuhnya lagi?

Aku mendesah lesu saat ada telepon masuk dari Ratu. Entah kenapa, kali ini aku tidak ingin diganggu. Kubiarkan ponsel terus berpendar hingga cahayanya kembali pudar. Lalu hapeku berdenting beberapa kali, tanda ada pesan baru. Ah, aku belum bernafsu berinteraksi dengan siapapun di dunia ini. Ya, siapapun.

Usai Bercerai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang