Bab 9

9.7K 931 80
                                    

"Han ..., tolong ...." Suara Ratu tersendat-sendat di telepon.

Ya, ia baru kembali menghubungi setelah satu bulan menghilang. Aku pun tidak berniat mencari tahu keberadaannya. Karena aku yakin, dia akan kembali muncul ketika butuh. Lalu hari ini, terbukti. Ck! Aku jadi merasa hanya dimanfaatkan saja.

"Kenapa, Ra?" tanyaku memberi kesan biasa saja. Kedua mataku tetap fokus pada kumpulan data di layar laptop, sedangkan tangan kananku memainkan pointer.

"Bastian masuk rumah sakit."

Pergerakan tanganku terhenti. Aku menghela napas perlahan. "Udah ngasih tahu Sony?"

Tidak ada jawaban, kecuali suara isakan diselingi susutan ingus.

Aku menunggu. Sejak frasa playing victim mencuat dari mulut mantan suaminya, rasa empatiku pada Ratu mulai pudar.

Hingga hampir dua menit, akhirnya kesabaranku habis. "Ra?"

"Han ... aku butuh kamu."

Aku menganjur napas. Ya, sudah kuduga. "Aku lagi banyak kerjaan, Ra. Maaf."

Setelah hening beberapa saat, Ratu menimpali, "Oke. Maaf udah ganggu." Dan telepon begitu saja ditutup.

Berurusan dengan wanita memang serumit ini. Aku mengurut kening sembari memandangi sederet angka berawalan +62. Aku pun mengirim pesan pada nomor itu.

Jam istirahat aku usahakan ke sana. Di rumah sakit mana?

Ratu mengirimkan titik lokasi sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Pusat lengkap dengan nomor ruangan di mana Bastian dirawat.

Sesuai janji, aku meluncur ke sana di jam istirahat. Begitu tiba, Ratu menghambur, memelukku. Namun aku mendorong tubuhnya perlahan-lahan. Aku tahu mendekap yang bukan mahram adalah perbuatan yang dilarang.

"Maaf ...," lirihnya menyadari aku tak berkenan.

"Sakit apa?" tanyaku seraya melangkah ke ranjang Bastian. Balita itu tergolek lemas. Ada selang infus yang dibebat perban di tangan kanan. Ia tidur lelap dengan mulut sedikit terbuka. Terlihat polos sekali. Sungguh kasihan jika jadi korban perceraian.

"Demam tinggi. Terus tadi pagi kejang. Makanya aku bawa ke sini."

"Apa kata dokter?"

"Belum bisa nyimpulkan. Nunggu hasil lab."

Aku mengusap kepala Bastian. Panas. Kekhawatiran Sony waktu itu .... Oh, bisa jadi, dia rindu papanya.

"Sony udah tahu?" tanyaku, menoleh wanita itu.

Sebagaimana di telepon, Ratu hanya diam ketika nama itu kusebut. Aku pun mendecak malas. "Ke mana aja sebulan ini?" Aku bertanya lagi.

"Enggak ke mana-mana. Cuma cari duit," jawabnya. Terkesan sekenanya.

"Bastian?"

"Ada pengasuh yang jaga."

"Kenapa nomornya enggak aktif? Sony nyariin kamu. Kangen sama anaknya."

Ratu tetap diam. Ia lalu melangkah menuju sofa dan mengempaskan tubuh di sana.

"Kamu sengaja mangkir dari papanya Bastian?"

Ratu tersenyum miring. "Itu urusanku."

Ok, fine! Jawaban itu benar-benar memancing emosi. Aku pun mengangguk-angguk. Ada rasa getir menyentil hati. "Oke. Kalau gitu, jangan pernah libatin aku lagi."

Kesal, aku beranjak keluar.

"Han, tunggu!" Ia berdiri mencegah, menghadangku di depan pintu. "Oke. Aku akan jelasin semuanya."

Usai Bercerai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang