Bab 11

17.2K 1.2K 138
                                    

"Gimana kabar Maysa?"

Entah pertanyaan itu sudah kuulang berapa kali. Sejak bangun dari tidur yang agak panjang, pikiranku terus terpaku pada si pembawa separuh hati.

Mama hanya mendesah lesu, lalu memberi jawaban yang sama. "Terakhir Mama lihat, belum siuman."

Di hadapanku tersaji sarapan. Nasi, sup ayam dan sayur, tempe goreng, dan puding buah. Seluruhnya terlihat pucat. Entah, mungkin pandanganku yang sedang bermasalah. Sudah berkali-kali Mama memintaku makan, tapi seleraku menguap, hilang.

"Rey, obatnya harus diminum. Makan dulu, ya?" Mama kembali membujuk.

"Obat apa sih, Ma? Palingan antibiotik sama pereda nyeri."

"Biar cuma antibiotik tapi kan penting. Biar lukamu cepet sembuh."

Akibat tertimpa reruntuhan kemarin, kepala bagian belakang mengalami cidera. Lukanya cukup lebar. Sekarang kepalaku dililit perban. Punggung juga memar. Efeknya, aku tidak bebas menggerakkan badan. Nyeri dan kaku seperti habis dikeroyok puluhan orang.

Menit kemudian, Papa masuk. Cukup mengejutkan karena di balik punggungnya ada seseorang. Papa Mertua. Atau mantan papa mertua? Apapun sebutannya sekarang, aku tetap memanggilnya Papa.

"Gimana kabarnya, Rey?" tanya Papa Mertua.

Beliau lebih ramah dari pada Mahesa. Meskipun sama-sama sering kambuh dengan sikap dinginnya. Aku baru tahu kalau sifat adalah manifestasi yang bisa menurun. Kadang-kadang Maysa juga membeku seperti itu.

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Mau bilang baik, tapi tidak sedang baik-baik saja. Mau bilang mendingan, tapi badan masih sakit semua.

Papa mempersilakannya duduk di sebelah ranjang. Posisi kami kini sejajar. Sedangkan Mama memindahkan sarapan yang belum tersentuh ke atas nakas. Setelahnya, orang tuaku beranjak keluar, meninggalkan kami berdua. Aku yakin ada hal serius yang ingin dibicarakan oleh Papa Mertua.

"Saya ingin berterimakasih," ucapnya seperti menyampaikan pidato resmi.

Ya ampun, aku tahu beliau ini pejabat. Tapi sama mantan menantu jangan sekaku ini, please.

"Terimakasih sudah menyelamatkan Maysa. Waktu dapat telepon dari pihak polisi, pikiran saya sudah kalut. Tidak bisa dibayangkan jika detik itu harus kehilangan anak sebaik dia."

Aku menyentak napas lirih. Mungkin, ketakutan kami berdua setara.

"Maysa sudah sadar. Dia langsung menanyakan keadaanmu," tutur Papa Mertua dengan selarik senyum di bibirnya.

Aku menatap mata beliau lekat-lekat. Mencari kebenaran atas ucapannya.

"Dia khawatir."

Mendengar itu, rasanya seperti minum sekaleng soda dingin. Melepas dahaga sekaligus menyegarkan, dengan bonus sensasi cekit-cekit menyenangkan di dada sini. Percaya atau tidak, ada senyuman yang kutahan-tahan. Gengsi lah tampak merona di depan mantan mertua.

"Untuk masalah kalian, saya sebagai orang tua hanya berharap segera diselesaikan. Dan mendoakan yang terbaik."

Aku menghela napas. Teringat berkas-berkas untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

"Saya sangat kecewa, Reyhan. Hanya dalam hitungan bulan, rumah tangga kalian berakhir begitu saja. Dan, ayah mana yang sanggup melihat putrinya terluka? Tidak ada."

Ya, aku paham betul soal itu.

"Reyhan, dengar. Dulu saya sangat berharap sama kamu, bahwa kamu akan menjadi laki-laki yang membahagiakannya. Seumur hidup. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan sebagai ayahnya."

Usai Bercerai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang