Bab 8

9.7K 891 36
                                    

Mantan suami Ratu meminta waktu. Sebentar katanya. Aku mengiyakan dan mengajaknya duduk di lobby utama. Tempatnya luas dan yang penting tidak banyak pegawai yang singgah di sini. Jadi aman dari mereka yang biasanya suka curi-curi dengar.

Tunggu. Bagaimana Sony bisa menemukanku? Kesasar atau sengaja?

"Perusahaanku jadi mitra kantor ini. Tadi mengantarkan beberapa berkas untuk diperiksa dan ditindaklanjuti. Dan ... enggak nyangka malah ketemu kamu." Ia menjelaskan kehadirannya yang cukup ajaib, tanpa diminta.

"Oh," sahutku datar.

"Sudah berapa lama jadi abdi negara?"

"Baru tiga tahunan." Dalam hati, aku ingin bicara dengan nada ketus. Ngapain nanya-nanya? Tapi sepertinya tidak elok. Yah bagaimanapun, perusahaannya adalah mitra.

Sony manggut-manggut. Ia lalu mengedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Mungkin membandingkan suasana kantor ini dengan kantornya. Entahlah. Tidak penting juga.

"Jadi ... Han, kamu tahu di mana Ratu sekarang?" tanya Sony tanpa lagi basa-basi.

Kedua alisku mengkerut. "Kenapa emangnya?"

Sony menghela napas. "Sudah hampir tiga minggu Bastian belum dipulangkan. Nomor Ratu enggak bisa dihubungi."

Dari caranya bicara dan menatap petak lantai marmer, sepertinya dia menyimpan masalah besar.

"Bastian sama ibunya. Kupikir, enggak ada yang perlu dikhawatirkan."

Sony mengangguk-angguk. "Kamu benar. Tapi masalahnya ... yang jadi ibunya adalah Ratu."

Alisku berjingkat sebelah. "Maksud kamu?"

Sony menyugar rambut lurusnya yang agak panjang. Penampilan lelaki ini mengingatkanku pada Jerry Yan. Aktor Taiwan yang tenar di awal tahun 2000-an. Bedanya, ini versi kulit sawo matang dengan tubuh agak lebar.

"Sudah berapa tahun kenal sama Ratu?"

Aku berdecak. "Langsung ke intinya sajalah." Untuk apa menanyakan hal yang tidak substansial?

Sony tertawa pendek dan lirih. Terdengar getir. "Han, Ratu yang kamu kenal sekarang, bukan Ratu yang dulu." Ia tersenyum sekilas setelah menatap wajah heranku. "Sebelum Bastian lahir, dia jadi istri yang penurut, menyenangkan. Walaupun aku tahu dia menerimaku dengan hati terpaksa, tapi dia bisa bersikap manis. Tapi semuanya berubah begitu anak kami lahir. Dia sering marah-marah enggak jelas. Bahkan bayi yang enggak tahu apa-apa juga dimarahin. Setelah konsultasi ke sana-sini, ternyata dia stres karena merasa enggak bebas ke mana-mana lagi. Merasa kehadiran Bastian serba membatasi."

"Sori," aku menyela, "memangnya aktivitas Ratu sebelum melahirkan ... apa?"

"Ke butik. Aku buatin dia butik. Mungkin karena itu, dia jadi penggila fashion. Sering hunting baju-baju keluaran baru untuk ngisi butik. Meskipun hamil besar, dia masih aktif di luar, berburu baju."

Aku berusaha mencerna penjelasan Sony, lalu membuat kesimpulan sendiri. Kalau memang kelahiran Bastian dianggap membatasi, kenapa waktu itu dia ngotot ingin bawa Bastian. Sampai wajahnya memar karena Sony? Tidak masuk akal.

"Bentar, Son. Aku enggak paham sama cerita kamu. Setahuku Ratu benar-benar menginginkan Bastian ikut sama dia. Buktinya malam itu ..., maksudku sebelum kalian benar-benar cerai, katanya Ratu sempet pulang untuk ngambil Bastian. Terus rebutan sama kamu sampai ... kamu mukul ... dia, kan?"

Sony lagi-lagi tersenyum getir. Tangannya mengurut kening seperti orang pusing. "Playing victim."

Aku terdiam. Semakin tidak paham dan semua jadi semakin janggal. Siapa yang harus kupercaya sekarang? Laki-laki ini atau Ratu?

Usai Bercerai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang