AL

195 120 76
                                    

"Apa tidak sebaiknya kita menghampirinya berdua saja, mumpung aku masih disini" aku menatap adik ku yang sedang berbaring dan tidak berhenti menatap foto nya bersama seorang gadis yang katanya sahabat nya itu.

"Tidak mungkin kak, aku tidak mau dia tau yang sebenarnya"

"Lalu, apa tidak apa-apa jika aku menghampirinya setelah aku menyelesaikan studyku di luar negri?"

"Tidak apa-apa...mungkin"

Aku menghela nafas, menatap adik ku dengan tidak habis pikir. Aku memang akan selalu menuruti kemauan nya, apa lagi setelah ayah dan ibu meninggalkan kita hanya Dafi lah satu-satunya yang ku punya.

Tapi permintaannya kali ini apa tidak terlalu... Berlebihan?

"Daf, kenapa kamu masih saja berfikir keras hanya untuk gadis itu, bahkan kamu masih selalu berusaha memberi nya perhatian di saat sebenarnya kamu yang butuh perhatian"

"Aku sudah berjanji untuk mewujudkan sesuatu yang besar dalam hidup nya"

Aku tidak lagi menjawab setelah melihat ekspresi Dafi yang tersenyum kosong, tatapannya hampa seperti memang tidak ada lagi harapan untuk hidupnya.

"Kak, aku menjanjikannya sebuah... kebahagian" dia tersenyum samar, matanya mulai berkaca-kaca
"Aku tidak pernah menyesal telah membuat janji itu kepadanya walaupun pada akhirnya keadaanku seperti ini, kakak tau kenapa?"

Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya

"Karna aku yakin kakak bisa membantuku menepati janji itu. Aku yakin kakak bisa, walau mungkin kondisinya nanti yang akan membuat semuanya tidak mudah".

. . .

Aku menatap gadis di hadapanku ini, mencoba tenang dan tersenyum walaupun aku sendiri gugup setengah mati. Aku masih tidak bicara banyak karna takut salah bicara nanti nya. Kondisi Ara saat ini tepat seperti yang di ceritakan oleh Dafi dulu.

"Ara pasti merasa dikhianati, dia pasti akan merasa yang menjanjikan kebahagian untuk nya akan pergi meninggalkannya kak, dia akan menjadi Ara yang berbeda, aku tidak mau itu, kakak harus mengembalikan Ara ku seperti Ara yang sekarang"

4 tahun berlalu, pasti memang sangat mengejutkan untuk Ara karna aku datang tiba-tiba. Ara masih saja tidak mau bicara, keras kepala juga rupanya

Padahal aku tau dia bertanya-tanya dan menginginkan penjelasan lebih dariku, tapi dia justru memalingkan wajah, sepertinya dia menyembunyikan wajah nya yang mulai basah dengan air mata.

"Ara, aku datang bukan untuk membuat mu bersedih seperti ini"

"Lebih tepat nya, aku tidak pernah mengharapkan kamu datang!!!" Ara menjawabku tanpa mau menghadap ke arahku, suaranya parau, aku tau dia sedang susah payah menahan tangisnya.

"Kamu tau? Kata Dafi kalau kamu bersedih apa lagi sampai menangis, wajahmu akan jelek, mata mu merah menyeramkan seperti monster, ternyata benar"

Karna seperti tak akan ada jawab dari ara aku menghela nafas, berfikir harus nya ada satu kata-kata ku yang berhasil membuat gadis ini sedikit membuka hatinya untuk kehadiranku.

"Dafi juga bilang dari dulu kamu terlalu sering menangis, padahal kamu tidak sedang mengiris bawang, ternyata kamu masih sama seperti yang dulu"

"Aku bukan Ara yang dulu, Aku Ki na ra" Ara mengatakannya dengan penuh penekanan

"Dafi pasti merindukan Ara nya yang dulu"

"Tapi aku tidak akan mau merindukan Dafi lagi, sebenarnya apa maksudmu datang kesini hah?"

"Ara, izin kan aku membuka celah kebahagian untuk hidupmu"

"Aku tidak butuh kebahagian"

"Aku akan memaksa"

"Kamu akan mati" Tangis Ara pecah memenuhi ruangan

"Tidak apa, setidaknya aku memastikan Ara sudah bahagia, lalu aku akan mati dengan tenang"

Ara menelan ludah, menatap Al dengan tatapan datarnya yang banjir air mata

"Kalau begitu aku yang akan mati"

"Pasti Ara, semua yang bernyawa pasti akan mati, tapi tahan dulu kematianmu itu, aku baru saja menemukanmu dengan susah payah lalu dengan gampangnya kamu ingin mati?"

"Kamu akan menyakiti ku jika terus bertingkah seperti ini Al"

"Maka aku akan mencoba menghilangkan rasa sakitmu dan kamu tidak perlu merasa tersakiti lagi jika aku bertingkah manis seperti ini"

"Itu tidak mungkin"

Aku meraih kedua tangan Ara dan menggenggam nya, Ara semakin terisak pilu

"Ara, beri aku kesempatan sebentar saja, 3 bulan ya, jika dalam 3 bulan kamu masih saja terus merasa tersakiti dengan kehadiranku ini maka aku akan pergi"

. . .

Walaupun sempat tidak mengenalinya sama sekali, samar-samar aku ingat Al pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang kakak yang sekolah di luar negri bersama nenek nya.

Dan lekaki yang mengaku sebagai Al juga ini sedang menggenggam tangan ku, memintaku menyetujui keinginan nya untuk bersamaku selama 3 bulan.

Ini jelas tidak mudah bagiku, selama 4 tahun aku menutup diri rapat-rapat dari kehadirin seseorang yang mencoba mendekatiku bahkan walaupun hanya sekedar untuk berbicara. Tapi entah kenapa dengannya aku seperti berat mengatakan tidak.

Tunggu dulu

Ada yang belum bisa aku mengerti, kenapa dia datang dan menyebutkan nama panggilannya sama persis seperti nama panggilan adiknya? apa dia sengaja ingin mengejutkan ku?

"Ara, mulai sekarang biasakanlah menyuarakan semua pertanyaan yang bersarang dalam hatimu itu"

Ha?

Aku menatapnya tidak mengerti

"Namaku dan Dafi sama-sama berawalan dari kata Al, karena aku kakaknya sudah tentu aku duluan yang mempunyai panggilan itu, tapi suatu hari Dafi bercerita denganku, katanya dia berkenalan dengan teman sekolah nya menggunakan nama panggilan Al, dia mau nama panggilannya keren dan cepat dikenal agar mempunyai banyak teman, tapi ketika aku bertanya sudah berapa banyak teman yang dia dapatkan di sekolah dia justru hanya menyebutkan nama mu berkali-kali, supaya kedengarannya banyak" Al terkekeh menceritakannya

Entah kenapa aku juga tidak bisa menahan senyum di bibirku ketika mendengar cerita tentang nya.

"Ara, aku bersungguh-sungguh untuk menepati janji Dafi kepadamu, kamu tidak akan menghalanginya kan?"

Hidup Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang