Aku tidak kaget melihat ekspresi Ara akan sepanik itu. Apa dia bilang tadi? Dia merasa akan di bunuh jika di paksa kuliah?
menggemaskan sekali.
"Ara, perihal kuliah ini sebenarnya bukanlah permintaan, tapi ini perintah"
Aku terkekeh melihat wajah yang selalu datar itu, karena aku yakin di balik wajah datarnya itu tersimpan berbagai kekesalan terhadapku.
"Ini perintah langsung dari Om Nugroho"
"Papa?"
"Akhirnya kamu memanggilnya papa lagi"
"Kamu sudah bertemu dengan nya sebelum bertemu dengan ku?"
"Apa itu penting? Bukan nya kamu tidak suka membahas yang tidak penting?"
"Termasuk kuliah, sangat sangat sangat tidak penting menurutku. Ingat ya!!! itu 'menurutku' setiap orang punya pendapat masing-masing, jadi aku menolak keras untuk berurusan dengan kuliah, no debat"
Aku terkekeh, itu tadi adalah kalimat terpanjang yang Ara katakan selama dia bertemu denganku, aku yakin dia sedang kelelahan karena berbicara panjang lebar seperti itu.
"Baiklah, kalau begitu lupakan perihal kuliah"
"Sudah ku lupakan sedetik sebelum kamu berbicara barusan"
"Soal tempat tinggal mu ini, ku rasa aku menemukan yang cocok dan sesuai dengan permintaanmu"
Aku tersenyum melihat wajah nya yang masih saja datar tak berekspresi
"Berhenti berbicara dan berhenti menatapku seperti itu"
Yang di tatap ternyata merasa
"Berhenti memikirkan ku di dalam otak kotor mu itu"
Aku tertawa
"Aku suka memberikan lakban di mulut anak jelek di rumah ku kalau dia berisik, dan aku bisa lakukan itu juga terhadapmu"
Aku semakin tertawa, entah dari mana tiba-tiba lakban itu sudah ada di tangan Ara.
. . .
Sepertinya Al yang kuhadapi sekarang ini memang titisan setan. Bagaimana bisa suara nya, senyum nya, tawa nya, sanggup membuat jantungku berdebar kencang seperti irama musik dangdut yang sering di putar papa menggunakan pengeras suara dan berakhir pada terjadinya pecahan Dvd milik papa karena habis ku banting.
Apa mulut Al harus ku pecahkan juga?
Aku mengamati tempat di mana Al membelokan mobil nya, ahh iya ini pasti kos-kosan. Al pamit lebih dulu turun dan menyuruhku tunggu di mobil, sebenarnya aku paling tidak suka di perintah, tapi kali ini aku berikan kebijakan terhadap Al untuk bebas melakukan apa yang dia mau.
"Ayo turun"
Sepertinya Al memang benar-benar titisan setan, bagaimana mungkin tiba-tiba dia sudah ada di sampingku, dan aku tidak mendengar sama sekali suara pintu mobil dibuka.
Aku menganggguk dan mengikutinya.
Sampai di depan salah satu pintu aku harus menunggu Al membukanya. Ketika pintu nya sudah terbuka aku diam memperhatikan isi dari ruangan yang akan jadi tempat tinggal ku ini.
"Dasar bodoh!!!" Aku mendengus kesal "Katanya kamu tau tempat seperti apa yang aku mau, dan harus nya aku tau kalau dari awal kamu memang hanya sok tau"
Kesal sekali rasa nya ketika melihat isi kamar ini, seketika impian ku untuk tinggal di tempat idamanku hancur sudah.
"Aku mau cari tempat lain" aku menatap tajam Al yang dari tadi hanya tertawa
"Apa salah nya dengan tempat ini?"
"Bukan tempatnya, tapi kamu yang salah!!! Dari awal sudah ku bilang untuk mencari tempat yang kecil saja"
"Kalau ada yang besar kenapa harus yang kecil"
Setan itu semakin tertawa dan justru membuatku semakin kesal.
"Aku akan kerepotan membersihkan tempat ini"
"Tidak akan, karena aku akan datang setiap hari membantumu"
"Dan akan lebih merepotkan jika menerima tamu sepertimu setiap hari!!!"
"Oke baiklah"
Akhirnya dia menyerah juga, aku berbalik keluar untuk menuju mobil, dan langkah ku terhenti karena setan itu kembali bersuara
"Tinggal lah disini atau menggembel lah di jalanan sana"
Al terbahak-bahak
Detik ini aku menyesal dulu tidak pernah mau ikut ekskul bela diri, kalau tau aku akan bertemu orang seperti Aldevaro aku akan giat mempelajari jurus-jurus yang dapat mematahkan leher orang seketika.
. . .
Al memasuki kamar itu di ikuti dengan Ara yang membawa serta kekesalannya.
Tempat ini memang lumayan bagus untuk ukuran sebuah kos-kosan atau kontrakan. Tapi bukan ini yang Ara mau, bisa saja Ara sudah berharap hanya akan tinggal di kamar kos yang hanya berukuran sempit, dan sepertinya itu memang impiannya. Bukan Ara namanya jika tidak mempunyai impian-impian yang menyimpang dari orang-orang kebanyakan.
Saat ini Al sedang memikirkan sesuatu yang lumayan berat. Jika Ara tidak mau kuliah lalu apa yang akan dia lakukan berhari-hari sebagai makhluk hidup yang tinggal sendirian?
"Ara, apa hoby mu?"
Al berharap dengan mengetahui hal-hal yang Ara suka akan membantu menemukan ide apa yang harus dia lakukan untuk Ara, setidaknya dia akan membantu Ara lewat hal-hal yang Ara suka. Tetapi yang di tanya hanya diam sambil merebahkan diri nya di sofa.
"Apakah kamu punya banyak hobi sampai-sampai terlalu malas untuk menyebutkannya?"
Ara masih diam
"Setidaknya katakan salah satunya, lalu kita akan mengisi hari-hari nanti dengan sesuatu yang kamu suka"
Al tersenyum hambar melihat yang di ajak bicara masih diam, bahkan Ara sudah menutup matanya.
Mata Ara tertutup tapi justru mulut nya terbuka bersuara
"Kamu bertanya apa hoby ku kan?"
"Setelah aku mengatakannya berkali-kali apa kamu masih perlu menanyakan pertanyaan yang sudah jelas kamu dengar?"
"Setelah aku menjawabnya berkali-kali juga kamu masih tetap menanyakan hal yang sama"
Al menatap Ara dengan raut wajah tak mengerti
"Bahkan setiap pertanyaan ku hanya kamu balas dengan tatapan datarmu dan mulut mu yang terus saja diam tidak menja—"
"Karena hoby ku adalah diam!!! Berdiam diri tepatnya, dan aku tidak terlalu suka banyak mengeluarkan ataupun mendengarkan omong kosong sepertimu"
Al tidak habis pikir dengan gadis yang masih saja bersuara tanpa membuka matanya ini
"Jadi kamu suka yang diam-diam?" Al tersenyum lalu melanjutkan perkataannya "Apa kalau aku diam kamu juga akan menyukaiku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidup Untuk Ara
Teen Fiction[Ada baiknya untuk follow dulu baru lanjut baca] Manusia diseluruh muka bumi biasanya selalu berharap agar kebahagian selalu menghampiri kehidupannya, atau bahkan biasanya mereka cenderung berlomba-lomba untuk mencari kebahagian dengan berbagai cara...