"Sudah malam, lo harus tidur," ucap Reval sedikit tertahan. Ia tidak mau orang di hadapannya curiga dengan raut muka kesakitannya. Namun, Revan bukanlah orang yang tidak peka akan keadaan. Revan melihat jelas bagaimana adiknya menahan sesuatu.
"Gua juga udah pulang, kan? Tidur! Biar besok fresh waktu sekolah." Reval langsung meninggalkan Revan sendirian di tempatnya. Peemuda itu masuk ke kamarnya dan mengunci kamar itu dari dalam.
Akhirnya, Reval bisa berteriak sesuka hatinya. Reval tidak kuat dengan rasa sakit ini, rasanya seperti tertusuk-tusuk.
Sakit di kepalanya sudah tidak bisa di tolerir, hingga membuat Reval ambruk di samping tempat tidurnya. Reval berusaha merangkak menuju nakasnya, mencari tabung berisikan pil pahit yang akhir-akhir ini ia konsumsi. Tiga buah langsung ia masukan tanpa bantuan air mineral untuk mendorongnya.
"Terima kasih."
Di meja makan yang kecil itu, sudah tersedia berbagai macam makanan yang menggugah selera. Revan sudah berada di sana, mulai menyantap makanannya perlahan-lahan. Lalu datang sosok pria dengan kemeja dan jas di bahunya, Rangga, ayah Revan.
Rangga Pratama, putra pertama dari seorang Johan. Sosoknya yang tegas sangat mencontohkan pemimpin keluarga. Karyawan di kantornya bilang Rangga itu sangat ramah dan dermawan. Tak jarang dirinya yang menyapa karyawannya terlebih dahulu. Padahal, jarang sekali sosok pemimpin seperti itu. Rangga juga sering memberikan makan siang gratis kepada karyawannya, anggap saja makan bersama. Rangga itu seorang workaholic, kejatuhannya pada masa lalu membuat dirinya tidak ingin kembali merasakan hal itu lagi.
"Bi! Revalnya belum bangun?" tanya Revan. Sosok Fatimah baru saja datang dari dapur, ia menenteng gelas kosong dan susu murni ke atas meja makan. Dia meletakkan semua barang tadi perlahan-lahan. "Mohon maaf, Den, Bibi belum melihatnya dari tadi, perlu Bibi bangunkan?"
Fatimah bukannya tidak mengetahui ke mana Reval pergi. Hidup menjadi seorang pelayan di rumah ini membuat wanita tua itu mengetahui banyak hal, termasuk kelakuan tuan mudanya yang satu lagi.
"Bi, saya mau dibekalkan nasi untuk makan siang nanti! Pakai lauk yang ini aja, nasinya juga di lebihin," ucap Rangga memotong perbincangan mereka. Pembantu itu melesat ke dapur untuk menuruti perintah tuannya.
"Males keluar lagi, Yah?" tanya Revan melanjutkan sarapannya.
"Iya, hari ini akan ada meeting dengan client dari Aussie, bakalan repot kalau menyiapkan presentasi sambil makan di luar kantor atau ikut ambil makan di kantin bareng karyawan," jawab sang Ayah dengan senyum hangatnya. "Obat kamu sudah diminum?" tanya Rangga.
"Obatnya habis, jadi belum minum obat," jawab Revan dengan cengiran khasnya yang sangat manis. Jawaban itu mengundang marah dari sosok tegas di hadapannya untuk melakukan tatapan tajam kepada anaknya.
"Kenapa enggak bilang sama Ayah kemarin? Kan bisa ayah beliin," sahut sang ayah dengan nada marah. "Nanti berangkat bareng Ayah, kita mampir apotek sebentar baru ke sekolah."
"Yah!" keluh Revan sambil merapikan tas sekolahnya. "Sorry, Revan ada piket pagi ini. Revan berangkat sekarang," kata Revan mecium tangan Ayahnya.
"Revan---"
"Revan janji akan baik-baik aja, serius deh. Pulang sekolah nanti Revan ke apotek, " potong Revan yang mengetahui ayahnya akan berucap apa.
Revan langsung meninggalkan ayahnya yang melihat kepergian anaknya terburu-buru itu. Bukan tidak tahu, Revan pasti hanya alasan untuk menghindari obatnya pagi ini.
Gerbang besi dengan susunan kayu di tengahnya mulai bergerak, terbuka dan menampilkan rumah megah di kawasan elite Jakarta. Sosok yang menggeser gerbang pun terlihat, satpam yang sudah mengenali pemuda tampan yang tidak jauh dari hadapannya ini.
"Nak Reval sedang apa di sini? Kok Bapak nggak lihat kapan datangnya?" tegur Pak Sukur dengan ramahnya ketika melihat Reval yang sedang duduk di atas motor.
"Bapak asik ngopi sih dari tadi, sampai nggak denger suara motor saya, kan," jawab Reval. Dia meletakan helm fullface yang menutupi wajahnya ke depannya.
"Siapa pak?" tanya pemuda di belakang Pak Sukur dengan nada keingintahuanya. "Ngapain, lo?" tanya pemuda itu, ketika melihat wajah Reval di hadapannya.
"hmmm ...," gumam Reval. "Berangkat bareng gue, yuk! Nanti pulang juga gue anter," kata Reval.
"Ogah!" Jawab pemuda itu dengan tegas dan berniat meninggalkan Reval dengan Pak Sukur. Belum sempat Alvin melangkah, suara Reval kembali terdengar.
"Alvin, gue may ngomong sama lo! Please bareng gus aja berangkatnya ...," bujuk Reval.
"Kalo gue enggak mau?" tanya Alvin dengan raut muka yang sangat Reval benci. Itu tandanya Alvin sedang marah padanya, dan Reval sangat paham dengan hal itu. Bagaimana tidak, hampir tujuh tahun bersama, satu sekolah, satu kelas, dan bahkan bersebelahan tempat duduk, bukan perkara kecil lagi kalau temannya sudah sedikit berbicara seperti sekarang.
"Ya udah, sorry. Gue duluan, ya ...," sahut Reval dengan nada lesunya.
Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menuruti kemauan Alvin saat ini, memaksanya pun akan sia-sia. Alvin orang yang keras kepala, buang tenaga saja namanya jika seperti itu. Reval langsung memakai pelindung kepalanya.
DRAP!
^^^
Halo Guys! jangan bosen-bosen untuk membaca cerita ini ya :)
Jangan lupa untuk vote, komen, dan share ke teman-teman kalian yaaaaaaa hehehehe.
Sampai jumpa di part berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVAL
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Perjanjian itu juga akhirnya adalah kematian Reval! Reval nggak bodoh untuk menyadari kalau jantung Reval diambil, Reval akan mati." "Boleh peluk gue nanti kalau lo bangun? Gue kangen sama lo." #1 SAD (19-11-21) #1 SAD (20...