Part 6

5.2K 487 72
                                    

Sudah pukul 02:00 WIB, entah ke mana pemuda itu sebelum pulang ke rumah ini. Padahal jam kerjanya berakhir tiga jam yang lalu. Jalanan juga tidak sedang macet pada saat itu. Rumahnya saja sudah gelap, orang di dalam sana mungkin saja sudah tidur, atau mungkin masih ada yang terjaga matanya, Reval tidak tahu.

Langkah gontainya perlahan membawa dirinya untuk memasuki rumah itu. Dibukanya pintu perlahan, dan perlahan pula cahaya rembulan masuk ke dalam rumah yang megah itu. Dari gemerlapnya keadaan rumah, Reval dapat melihat seseorang yang sedang berdiri di dekat tangga sana, sambil bersedekap tangan di dadanya. Ayahnya, menatap tajam ke arah Reval, menusuk langsung ke iris mata pemuda yang jauh dari hadapannya. Reval langsung menegang di hadapannya, terlalu kelu bibir itu untuk mengucap kata selamat malam.

Reval segera menundukkan wajahnya, tidak berani melihatnya atau mengucap. Hanya melihat lantai di bawahnya sambil menutup pintu perlahan. Langkah keras pria itu mulai terdengar di telinga Reval. Reval tahu ayahnya itu sedang menuju ke arahnya, Reval juga sudah siap apa yang akan ia dapatkan malam ini.

PLAK ! ! !

Guratan merah di pipi kanan Reval mulai muncul, elusan tangan sang ayah begitu indah menurut Reval. Reval tersenyum mendapat perlakuan itu, wajahnya masih saja ditundukkan, tak mampu menatap wajah ayah yang berada di depannya.

"Pergi ke ruangan saya!"

Sentakan itu membuat Reval berjalan dengan perlahan meninggalkan sosok Rangga yang masih diam menatap kepergian Reval dari hadapannya.

Reval hanya berharap malam ini akan segera berlalu. Reval juga berharap bahwa sakitnya tidak muncul saat di hadapan sang Ayah. Reval tidak mau terlihat lemah, Reval tidak ingin ayahnya khawatir dengan dirinya.

Langkah itu membuat Reval memasuki ruangan yang diperintahkan ayahnya. Ruangan yang selalu Reval ingat sepanjang malam, ruangan yang menjadi saksi tentang hidupnya. Ruangan dengan banyak bingkai foto beserta fotonya yang terlihat sangat bahagia di foto itu. Mungkin, untuk membangkitkan semangat ayahnya dalam bekerja.

Pintu itu tertutup sangat keras, membuat Reval kembali menghela napasnya dengan sangat berat. Setiap kali debuman pintu itu berbunyi, Reval selalu merasakan hal aneh, seperti kalian menonton adegan dalam film horror atau menegangkan. Padahal, ini bukan pertama kalinya bagi Reval tetapi, tetap saja selalu merasakan hal seperti itu,

"Saya tidak perlu mengingatkan tentang perjanjian kita, kan?" ucap Rangga menghampiri Reval di tengah ruangan. Rangga mengambil posisi tepat di hadapan Reval yang sedang menunduk dalam.

"Lihat mata orang yang berbicara denganmu!"

Sekali lagi, tidak ada nada bicara santai antara anak dan ayah. Rangga selalu bersikap formal dengan Reval.

Perlahan Reval mengangkat wajahnya dengan keraguan yang begitu menyelimuti dirinya. Reval sangat tidak suka keadaan seperti ini, Reval lebih memilih berhadapan dengan pak Imron dibandingkan dengan ayahnya.

"Ti-tidak perlu, Ayah," jawab Reval terbata-bata. Suaranya pun sangat tertahan sehingga membuat Rangga hampir saja tidak mendengarnya jika ruangan ini tidak hening.

"Lalu, apa yang kamu ingat?" tanya Rangga.

Reval tahu dirinya salah, Reval ingin sekali meminta maaf, Reval ingin mengungkapkan semua yang ia tahan selama ini. Perlahan keadaan itu membuat Reval merasakan sakitnya kembali. Sakit itu mulai membuat Reval semakin lemas, membuat dirinya semakin gemetar. Tolong, jangan sekarang, Reval tidak akan menolaknya nanti, Reval mohon jangan sekarang.

"APA?!"

BUGH!

Revan berusaha menyembunyikan sakitnya, pukulan yang dihadiahkan sang ayah memang sangat menyakitkan, Reval memegangi perutnya yang benar-benar sakit saat ini. Ditambah sakit di kepalanya belum juga menghilang, lengkap sudah apa yang Reval dapat malam ini.

"Bangun!" Rangga menarik tangan Reval agar anak itu segera berdiri.

"Apa?" tanya Rangga.

Reval sangat tahu ke mana tujuan pertanyaan itu, sangat ingin menjawabnya saat ini, guna mengurangi obrolan singkat ini. Namun, sakit yang dirasakan begitu menggerogoti pikirannya, Reval sampai tidak bisa merasakan sakit di perutnya lagi.

"Reval ---" jawab Reval tersendat, mencoba menahan sakit di kepalanya.

"Reval harus menjaga Revan sampai kapan pun, bahkan nyawa Reval taruhannya." Reval berusaha menahan sakit di kepalanya, hanya untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

"Revan masuk rumah sakit hari ini, apa yang telah kamu lakukan?" tanya Rangga.

Reval sungguh tidak bisa menjawabnya lagi kali ini, Reval sanggup menerima apa pun malam ini. Reval menyerah, Reval diam menunggu apapun yang akan ayahnya lakukan. Namun, ayahnya justru pergi meninggalkan dirinyadari ruangan itu.

"Maaf, Yah. Terima kasih," ucap Reval pelan.

Reval langsung meluruhkan badannya, menumpahkan semua rasa sakitnya bersamaan dengan aliran air matanya. Sungguh, Reval tidak bisa seperti ini, apa yang terjadi pada dirinya, Reval sering merasakan sakit akhir-akhir ini.

Reval segera bangkit dari lantai dingin itu, Reval tidak ingin merasakan sakitnya di ruangan ini, Reval harus kembali ke kamarnya. Reval telah berdiri sekarang, namun kakinya sungguh lemas, tidak bisa digerakkan sama sekali, pemuda itu mencoba merangkak untuk membuka pintu ruangan ini. Beruntung tidak ada yang melihatnya malam ini.

Reval harus buru-buru ke kamarnya, berusaha berjalan sambil memegang tembok yang tak bisa ia genggam. Menaiki tangga rumahnya yang sangat tinggi rasanya malam ini. Langkah demi langkah Reval lakukan, berusaha mencapai tangga terakhir.

Hingga akhirnya Reval sampai di kamarnya, mengunci pintu kamar itu dari dalam dan langsung merangkak menuju nakas. Reval berusaha mencari pil itu, dengan gemetar tangannya mengambil hingga membuat pil itu berserakan di lantai. Reval masukan tiga butir tanpa air mineral lagi untuk mendorongnya. Sangat pahit rasanya, meminum dengan bantuan air saja sudah pahit, apalagi tanpa bantuan air mineral.

Reval lelah dengan dunia ini, Reval sungguh lelah dengan hidupnya. Katanya, pelangi itu akan datang setelah hujan. Katanya, sabar itu dapat menghasilkan buah terbaik. Katanya, dunia ini sudah adil. Banyak sekali kata orang yang membuat pemuda itu meneteskan air matanya kembali, menelan pahitnya dunia yang saat ini ia rasakan.

Sakit di kepalanya memang sedikit menghilang, namun sakit yang lain belum juga menghilang, sakit yang tidak bisa disembuhkan dengan pil pahit yang biasa ia konsumsi, atau dengan bantuan dokter sekalipun. Obatnya ada pada orang yang saat ini Reval rindukan, obatnya ada pada orang yang baru saja membuat dirinya hampir mati berdiri.

Reval tidak bisa menghilangkan rasa sakit ini. Semakin ia mencoba, rasa sakit itu semakin menguasai dirinya. Pemuda itu mencari benda yang mungkin bisa membuat dirinya senang, benda yang selama ini menemaninya menghadapi rasa sakit ini.

Reval pikir satu atau dua goresan sudah cukup untuk membuat dirinya membaik. Perlahan cairan merah itu keluar dari kulit halus Reval, mengalir deras hingga menetes ke lantai kamarnya, membuat sang empunya meringis kesakitan.

Hal itu seolah tidak membuat dirinya puas. Reval butuh yang lain, goresan yang panjang dan lebih dalam kembali Reval buat di lengan kirinya. Membuat Reval semakin meringis kesakitan dan perlahan menutup matanya. Reval berharap ini yang terakhir kali ia melihat dunia yang kejam.

--------------------

HALLOOOOOO GAISSSS, Yeay Aku boom part lagi niih biar makin penasaran hehehe.

makin penasaran sama Reval gak kalian? hehehe, kalau makiin penasaran, tungguin terus part selanjutnya yaaa.

jangan lupa untuk vote dan komen yaaaa hehehe.

REVALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang