2. Philopobia

4 1 0
                                    

Tidak ada yang tahu. Bahkan mereka, orang tua Nana juga tidak tau. karna memang semua orang punya rahasia.  Dan Nana, gadis itu juga punya satu rahasia.Rahasia yang tidak bisa diungkapkan sedekat apapun kamu dengan orang lain. Ia adalah pasien philopobia. Nana juga sempat menderita depresi berat dua tahun lalu, tapi keadaanya membaik. Hanya saja, fobia yang satu ini masih menjadi misteri pada dirinya.

Ketakutan pada jatuh cinta juga pada lawan jenis.

"Pagi! Luna! Gimana dua minggu ini? Baik?" sapaan lembut itu langsung terlontar ketika Nana memasuki ruangan ini. Psikolog yang sudah menanganinya hampir dua tahun setiap dua minggu sekali.

Farah namanya. Psikolog yang menemukan Luna Ava dalam kondisi terpuruk, perempuan yang merangkulnya ke ruangan ini, merangkulnya perlahan melewati segala permasalahanya.

Bagi Farah, Nana seperti adik yang amat sangat rapuh. Dan bagi Nana, Farah adalah penyelamatnya dari keputusasaan

"Gak ada yang spesial kok, kak. Setiap hari sama, sekolah, belajar. Rutinitas yang berulang," Farah mengangguk sambil tersenyum. Menangani korban trauma memang tidak lah mudah.

"Kenapa gak cari kegiatan organisasi? Sekalian nyari pacar yakan?" goda Farah pada gadis itu.

Pacar ya?

"Kakak tau kan aku takut sama laki-laki. Gimana bisa punya pacar kalau di dekat mereka udah keringat dingin?" Farah menatapnya penuh iba. Merasakan rasa sakit yang begitu dalam. Karna sebaik apapun, sepintar apapun gadis itu menutupinya dengan senyuman keceriaan, Farah tahu menyatukan kepingan hati yang telah pecah tidak semudah itu.

Tidak semudah itu.

Luna Ava. Sejak kecil gadis itu memang tidak tumbuh dari keluarga yang baik. Ayahnya di phk dan pengangguran bertahun-tahun, ibunya selingkuh di depan matanya sendiri, kakak pertamanya di D.O, kakak keduanya menghamili pacarnya dan seluruh keluarga besar meremehkanya. Keluarganya hancur. Masa kecilnya tak terbayangkan pahitnya dan segalanya selalu ia pendam sendirian, menutupinya dengan kecerian.

Nana sudah menyerah pada keadaan, menerima segala takdir yang tuhan berikan. Kadang ia selalu berharap dilahirkan dari keluarga yang baik-baik saja yang setiap malam makan di meja yang sama, hari minggu pergi ke puncak atau setidaknya sekedar kumpul di ruang keluarga menonton film kesukaan mereka.

Ia tahu bahwa itu tidak akan terjadi.

Tapi bodohnya gadis itu masih berharap. Berharap bahwa sembilan tahun setelah perpecahan ini hanyalah mimpi buruk dan ia akan terbangun di pelukan ibunya.

"Kakak gak tau harus gimana, Na. Tapi saran kakak, kamu harus mencoba membiasakan diri. Gak semua laki-laki seperti ayah dan kakak-kakakmu," mendengar itu membuat Nana tersenyum kecut.

Mereka sama kak. Semua laki-laki sama brengseknya.

"Aku juga pengen. Tapi gak bisa. Selalu gak bisa. Untuk sama Jesse aja aku butuh satu semester untuk sedikit nyaman,"

"Aku takut jatuh cinta. Aku gak mau tersakiti. Aku gak mau. Tapi aku tau ini salah dan harus diperbaiki. Tapi aku bener-bener gak mengerti gimana cara memperbaiki semuanya kak..." Penjelasan ini lebih membuat Farah terasa amat iba.

Semuanya sudah hancur sejak sembilan tahun lalu. Semuanya. Dan mungkin tak akan bisa diperbaiki lagi.

🌌


"Nana! Nanti ke mall yuk, beli bahan kelompok kita," Seruan Disa membuat  gadis itu tersadar dari lamunanya lalu tersenyum seperti biasa meng-iyakan.

"Sama siapa aja Dis?" tanya Hani yang baru saja bergabung bersama mereka.

"Kita bertiga ditambah Jesse!"


Sore ini, Hani, Disa dan Jesse mengajak Nana ke salah satu mall yang ada di Jakarta, sebenarnya ini lebih seperti memaksa sih. Ya, Gadis itu tidak terlalu suka dengan belanja-belanja tapi dia juga perempuan yang tidak tahan melihat benda-benda imut. "Sumpah, Na! Tas ini  banget sama lo," Nana tersenyum membenarkan ucapan Disa. Lucu dan cantik tapi harganya membuat Nana ingin mati saja. "Uwu banget ih! Kalau punya pacar bakal gua minta beliin gini-an!" seru Hani

"Dasar kalian perempuan matre! Wou kita kesini mau nyari bahan kerkom ibu-ibu!" Hani, Disa dan Nana menatap Jesse sinis hingga cowok itu hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Ya gini resiko ke mall bareng cewek-cewek.

"Yang pink lucu banget uwuuuuu!"

"Sumpah ada sale ini gais!"

"Ih! Yang ini aja Han! Cocok banget!"

"Mau yang ini, Dis, Han!"

Oke Jesse kapok. Bule ganteng itu menyesal mengusulkan mall sebagai tempat kerkom mereka. Dia jadi tersingkirkan gini di depan toko. "Untung gua gak diculik tante girang yang suka kayak bule imut kayak gua," gumamnya.

Setelah satu jam berlalu, mereka akhirnya duduk di Cafe dengan segala paper bag di tangan mereka. Kalau saja Jesse tidak menarik mereka dan mengancam akan pulang meninggalkan mereka naik mobilnya, mungkin tiga gadis itu masih berkutat pada tas yang katanya unyu-unyu.

"Disa, gila lo paling banyak belanjanya!" seru Jesse sambil menatap Disa tidak percaya. Disa tersenyum senang lalu mengambil alih laptop nya.

Makalah mereka berjalan lancar. Tentu saja mereka memiliki Luna Ava dalam kelompoknya. Sesulit apapun tugasnya, gadis itu memang selalu punya solusi.

"Jes, lo kenal sama Elios?" tanya Hani kaget setelah melihat notif WA cowok itu. 

"Eli-Siapa?" 

"Elios, Na. Lo gak tau? Anak IPA pindahan," jelas Hani

"Oh, oh gua tau! Si chaebol!"  

"El? Dia temen gua, Han. Anak basket juga," Hani mengangguk paham. Ketika cowok itu pindah ke sekolahnya semester ini, sekolah menjadi sangat heboh. Elios Zavien memang dari keluarga terpandang. Ayahnya anggota legislatif dan ibunya dulu penyanyi terkenal jaman 90-an. Seperti namanya Elios memang bagai matahari yang dicintai semua orang. cowok itu terlalu bersinar.

"Dia ganteng banget woi!" seru Disa saat men-stalk instagram cowok itu. 

"Masih gantengan gua, Dis!" sinis Jesse sambil mengerutkan bibirnya.

"Na, lo harus ngeliat dia secara langsung! Lo kan bilang ga ada cowok SMA kita yang menarik, gua yakin lo bakal terpana ngeliat dia, Na!" Dissa memberikan hp-nya yang berisikan pemotretan Elios di instagramnya. Ya seperti ibunya, Elios terkenal membintangi beberapa iklan tv juga suaraya yang indah.

Jesse menatap mereka dengan sinis, "Woi gua blasteran satu-satunya di sekolah kita, gak menarik gitu?!"

"Lo bukan crazy rich kayak dia Jess, jadi ya minggir heheh," jawab Disa sampai membuat Jesse ingin melemparnya dengan laptop.

Nana mengambil nafas panjang, meskipun beribu kali memandangi wajah cowok itu perspektif Nana tentang laki-lai masih sama.

Baginya semua laki-laki itu brengsek. 


****




To be continue.

Saku BintangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang