Hal yang paling Nana sukai adalah belajar dan mencari tahu banyak hal. Entah itu ekonomi, geografi, sosiologi, matematika, ia akan sukai semuanya.
Lalu apa yang sangat ia benci?
Apa yang membuatnya gemetar begitu hebat?Yaitu ketika ponselnya berdering dan menampilkan kontak '🙃'
Maka disaat itulah dia menarik nafas panjang serta menyiapkan hatinya. Memguatkan pundaknya untuk menerima segala beban setelah ini.
"Halo, Na! Kamu kok baru angkat telpon ibu? Kemarin kemana? Ibu ke kos kamu kemarin, terus juga kenapa kamu gak bilang ibu kalau kemarin ambil rapot? Kenapa kamu malah minta tolong ibu kos mu? Kamu udah gak anggap ibu lagi?"
Kamu udah gak anggap ibu lagi?
Nana tersenyum kecut, menahan segala air mata yang menggenang di dalam kantung air matanya. Ia tidak boleh menangis, tapi ia juga tidak berani melawan. Rasanya seperti ditikam berkali-kali dari belakang oleh orang yang paling kita sayang.
"Luna sibuk, bu. Maaf," Suaranya sedikit bergetar, namun ia masih bisa menutupi segalanya. Ia sanggup.
Atau bisa dibilang ia dipaksa sanggup.
"Luna, tolong. Tolong jangan begini, Na," Mendengar suara ibunya seperti ini, lutut Nana benar-benar lemas. Tidak tega, merasa durhaka tapi apakah yang ia lakukan salah?
Apakah yang ia lakukan sekarang sebanding dengan semua penghianatan wanita itu?
Salah kah Nana apabila ia juga merasa terluka?
"Tinggalah sama Ibu Luna! Kamu bahkan belum dapat KTP. Tolong jangan keras kepala," ucap Ibunya dengan nada putus asa.
"Tinggal sama selingkuhan ibu, maksudnya?" Baik lah. Kali ini Nana tidak bisa bertahan lagi. Setetes air mata jatuh, diikuti dengan rintik-rintik lainya yang semakin lama membuatnya deras.
"LUNA AVA! Dia suami ibu!" teriak seseorang disana yang membuat kaki Nana lemas, tak bisa lagi menyokong segala beban yang dipikulnya
"Suami yang ibu bangga-banggakan sampai tidak mengundang anak ibu saat menikah, maksudnya? Padahal katanya kambing guling-nya enak sekali." Ibunya kali ini membisu, senyap sekali disana.
"Akhh... Aku lupa. Emangnya ibu tau aku suka kambing guling? Kan tidak ya... Ibu tau gak bu? Saat pertama kali ibu memutuskan menghianati kami, maka disaat itu lah-" Nana menarik nafas panjang untuk mengucapkan kalimat terakhir pada orang yang telah membuatnya lahir ke dunia ini.
"Disaat itulah... aku rasa ibu bukan ibu aku lagi. Selamat tidur, semoga kamu selalu bahagia nyonya Bram,"
Nana terduduk lemas setelah menekan tombel merah lalu memeluk dirinya sendiri yang benar-benar hancur malam ini. Ia terisak begitu dasyat, menumpahkan segalanya tanpa peduli lagi dengan sabar, tabah, tegar atau kata apapun yang berusaha membuatnya tetap kokoh.
Hanya malam ini ... hanya malam ini ia ingin menyelamatkan bagian yang masih bisa ia selamatkan.
Malam ini, tolong izinkam Nana menangis sendirian.
Nana menatap selembaran kertas ini dengan tatapan kosong. Gege baru membagikanya edaran camp akhir tahun. Semuanya bersorak gembira, tertawa dan tersenyum lebar.
Tapi Nana? Bagaimana ia bisa mengikutinya? Apalagi camp memdadak ini. Ia tidak ada uang simpanan sepeserpun.
"Nah karena ini mau didata secepatmya, tolomg tunjuk tangan yang tidak ikut!" teriak Jesse sebagai wakil ketua kelas
Tunjuk tangan yang tidak ikut.
Ini sudah sangat sering terjadi saat ia berseragam merah putih. Tapi entah rasanya masih sama. Masih sangat menyakitkan.
Disaat Hani dan Disa sedang mendiskusikan dengan riang apa yang akan ia bawa, Nana disamping menarik nafas panjang.
"Aku... Gak ikut," Semua mata tertuju padanya, seperti yang dahulu. Hanya gadis itu yang tidak bisa ikut. Dan rasanya amat menyesakan.
"Na..." Hani disebelahnya tentu terkejut tapi Nana hanya membalasnya dengan senyuman seolah berkata ia tidak apa-apa
"Jess, tolong tulisin nama aku ya,"
"Alasanya? Disini harus pakai alasan," Sangat jelas alasanya. Ia tidak memiliki tabungan juga wali yang menafkahinya. Nana hidup untuk dirinya sendiri.
Gadis itu mengulum bibirnya, "Acaranya terlalu mendadak. Aku gak bisa maaf ya," ucap Nana lalu menyeret kakinya keluar kelas. Ia tidak tahan dengan semua ini, terlalu menyesakan.
Tempat satu-satunya yang ia bisa dapati saat ini hanyalah atap sekolah ini. Tempat yang paling menenangkan juga tak perlu membayar apapun untuk melihat langit biru di sana.
Pada saat ini lah Nana sadar. Sadar bahwa ternyata ia memiliki nasib yang berbeda dari remaja enam belas tahun kebanyakan. Jika yang lain menghabiskan uang untuk ke mall ataupun menonton film kesukaan, maka Nana harus berjuang mendapatkan uang untuk menyewa kos-nya. Jika yang lain memiliki uang saku setiap minggu, maka Nana harus memutar otak agar ia bisa makan setiap harinya.
Ya. Semesta memang se-menyebalkan itu.
"Oi!" Suara berat itu membuat Nana menengok ke sumber suara.
"Ini tempat gua," ucapnya setelah berjalan mendekati Nana.
"Aku enggak boleh disini? Apa engga ada tempat yang bisa aku tuju? Kenapa? Kenapa segala hal harus mempunyai pemiliknya! Kenapa alu gak bisa memiliki apapun bahkan untuk kenyamanan- hiks! Hiks!" Elios mengerutkan keningnya menatap gadis di depanya yang sedang terisak begitu hebat.
"Eh kok jadi nangis sih anjir?" ucao Elios kaget.
Nana dengan mata yang berair itu menatap Elios sinis, lalu berlari meninggalkan Elios yang masih kebingungan.
*****
Nana kembali ke kelas dengan wajah muramnya, sebelumnya ia sudah mencuci muka berkali-kali untuk menghilangkan jejak-jejak tangisanya tadi. Ia mendesah berat, kenapa tadi ia harus ketemu cowok itu dan marah-marah padanya? Padahal Elios tidak salah.
"Je, nama gua udah ditulis?" tanya Nana yang sudah lebih tenang.
"Na, kita bertiga tau kenapa lo gak ikut camp ini," ucap Jesse. Ya, dikelas ini hanya mereka bertiga yang tau kalau Luna Ava adalah anak rantau yang harus berkeja keras memenuhi kehidupanya. "Dan kita udah mutusin untuk ngebantu lo, lo gak boleh nolak!" seru Hani sambil merangkul bahu Nana.
"Gua gak mau ngerepotin siapapun,"
"Kita gak repot sama sekali Nana! Please jangan keras kepala! Kalau nolak gua marah!" Nana menunduk menutupi air mata yang rasanya ingin jatuh lagi.
Hani dan Disa membawa gadis itu kepelukan mereka. Membiarkan Nana menangis di dalam sana tanpa terlihat oleh siapapun.
"Makasih, gua gak tau gimana cara ngebalas kalian..." lirihnya pelan namun tetap terdengar.
"Uwuwu Nana mau peluk juga..." ujar Jesse sok imut yang langsung mendapat tamparan dari Dissa
"Diem deh Je! Jangan modus-modus!" Jesse cemberut kesal tapi cowok itu juga senang bisa membantu sahabatnya ini.
Disaat ini lah Nana bersyukur, walau keluarganya hancur dan ia tidak punya siapa-siapa lagi untuk bersandar, Gadis itu memiliki Hani, Disa juga Jesse yang merangkulnya dalam keadaan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saku Bintangku
Teen FictionPhilopobia; Ketakutan untuk mencintai dan dicintai. Disaat gadis lain tersipu malu dengan wajah memerah apabila Elios menggodanya, Luna Ava malah ketakutan disertai keringat dingin bila menyangkut soal perasaan. Sejak awal, Elios tahu gadis itu berb...