Kesalahan Fatal

5 3 0
                                    

Garsa masih dalam alunan mimpi. Merangkul sebuah permata dan arloji yang usang.

Arloji titipan dari keluarga marga atas.

Ayah tentunya masih diambang kebingungan. Tentang apa yang ia lakukan diluar sana.

"Duh arlojinya disana. Gimana buat ngasih alesan ke pusat?" Ayah merenung dalam keadaan sadar.

"Ibu dan anak anak sudah tidur. Kalo minta bantuan mereka apa gak terlalu dini ya?" Ayah gak karuan di atas ranjang.

Ayah menggoyangkan badan Ibu, isyarat minta Ibu untuk bangun.

"Bu?" Ayah membangunkan Ibu dengan perlahan.

Ibu menoleh perlahan dengan keadaan tak sepenuhnya bangun.

"Apa Yah?" Ibu masih sulit menangkat kelopak matanya.

"Ayah bisa curhat ga sama Ibu? Mau nanya juga. Kalo Ibu masih ngantuk gapapa." Ayah menawarkannya pada Ibu.

"Bentar Yah, mau cuci muka dulu biar gak ngelantur ngomongnya." Ibu bilang selerti itu.

Maka dari itu Ibu berjalan ke kamar mandi. Membasuh muka dengan air yang tersedia.

"Masih ngantuk sih, tapi yaudahlah ga mau Ayah kecewa." Ucap Ibu di kamar mandi.

Ibu pun kembali ke kamar, dan tak aneh Ayah masih memikirkan lamunannya.

"Gimana Yah? Udah ada jawaban?" Tanya Ibu.

"Jawaban gimana Ibuuu, nanya aja belom." Ayah menatap Ibu yang memasang wajah tanpa dosa.

"Hehee, Ibu cuma bercanda kok Yah." Ibu pun tertawa.

"Ayah masih kepikiran sama arloji Ayah. Planet Larey gak bahaya sih, cuma jauh. Kalo pun kesana pasti lama. Ayah harus gimana ya Bu?" Ayah menanyakan dengan berat kepala.

"Susah juga Yah, punya Ibu cuma liat masa depan sama masa lalu. Kalo pindah pindah gitu bukan milik Ibu." Ibu memberitahu sebenarnya.

"Ibu pernah bilang kan dua diantara tiga anak terpilih ada di rumah kita? Kira kira ada gak si pemilik permata dimensi itu." Ayah mengharapkannya ada.

"Gatau Yah. Coba cari permatanya ada dimana. Soalnya kalo ke kita ga bakal ada cahayanya." Ibu menyuruh Ayah untuk mencari.

Ayah berpikir kira kira tempat yang tepat dan memungkinkan ada dimana, "Di sebelah sana pasti ada."

Ayah menunjuk bagian yang bertumpuk tumpuk buku.

"Sudah sekian lama aku gak baca buku ini." Ayah berbicara dan merenungi dirinya sendiri.

Ayah tetap berusaha mencari di tumpukan buku tersebut. Ibu berinisiatif membantu Ayah di tempat lain. Dimana tepat bagian laci.

"Yah, Ibu nyari disini ya." Ibu menawarkan diri.

"Makasih loh Bu, iya. Ayah juga akan berusaha mencarinya." Ayah berbicara dengan semangat.

Terlalu lama mencarinya, Ayah dan Ibu mulai lelah.

"Hahh, hahh." Napas Ayah terengah engah.

"Ternyata Ayah juga cape ya. Terus gimana buat kedepannya Yah? Mau pasrah aja sesuai prosedurnya?" Ibu ikut dalam kebingungan.

"Ayah bingung Bu. Kalo ninggalin sesuatu aja saat kerja bakal ada hukumannya dan pasti itu bakal berat." Ayah sudah pasrah.

"Kalo kita nanyain ke mereka, kesian masih kecil. Tapi kalo kita yang pake permata sama arlojinya percuma. Ga bakal ngasih fungsi apa apa." Ibu menatap Ayah dengan penuh harap.

"Nanti pagi lagi aja Bu. Mari istirahat." Ayah langsung berbaring di kasurnya.

Ibu pun sama, mulai menutup selimutnya. Menghilangkan penat  dan lupakan sementara.

Kala saat Garsa ternyata sudah pagi. Hari mulai cerah.

"Huaaa dah pagi ternyata." Garsa meregangkan badannya.

"Ke kamar Kakak ah. Kalo belom bangun kan bisa dikagetin." Mulai pikiran usilnya.

Memang benar, Garsa mulai perlahan menangkut pikirannya menjadi kenyataan.

"Harus pelan ini jalannya." Garsa berbicara sendiri.

"Oh iya harus bawa benda biar ntar berisik di kamar hahaaaa." Garsa berputar arah.

Garsa mengambil alat masak, bersiap siap untuk memukul sekeras kerasnya.

"Bersiap siaplah kak Era hahaa." Garsa tertawa jahat.

Garsa mulai berjalan menuju kamar Era.

"Wahaahaa emang bakal berhasil ini." Girang Garsa.

Garsa membuka pintu kamar Era yang tidak dikunci.

"Satu duaa... TIINGG!!!!!!!" Garsa melancarkan rencananya.

"GARSAAAAAAA!!!" Teriak Era.

"Aduh apaan ini kok berisik banget." Ibu merasa risih.

"Lah iya, mereka ngapain sih malem malem gini." Ayah merasakan hal sama.

Ayah dan Ibu bergegas ke kamar Era. Mendengar sedikit kegaduhan yang masih berlangsung.

"KAMU ITU JANGAN BERISIK DEH AHHHH. BARU AJA MEREMIN MATA!" Era marah pada Garsa.

"Masa merem mata jam segini. Udah pagiii Kakakkk, mandi makanya tidur mulu." Garsa berceramah.

"Emang kamu udah mandi? Hah!!" Era pun membalikannya.

"Belomm, aku kan udah ganteng." Garsa dengan percaya dirinya.

Ayah dan Ibu membuka pintu.

"Ada apa sih kalian malem gini pada ribut." Ibu bertanya.

"Iya nih malem malem pada ribut." Ayah menambahkan.

"Ko pada malem sih. Ini udah pagi loh harus pada mandi." Garsa merasa dirinya paling benar.

"Belom pagiii!" Ayah, Ibu dan Era serempak.

"Hah?" Garsa terheran heran.

"Kok aku udah ngerasa pagi sih?" Tanya Garsa.

"Iya sih ya? Kok cuma kamu doang?" Era ikut heran.

"Sekarang waktunya tanyain Sa." Saran Era dengan berbisik.

"Oh iya bener Kak." Garsa menyetujuinya.

"Bu? Yah? Aku mau nanya. Kekuatan Permata Biru itu apa sih. Kok ga muncul muncul?" Tanya Garsa.

"Lah ada di kamu?" Tanya Ibu.

"Pantesan kami cape nyarinya." Ayah yang merasa lelah.

"Dari kemarin ada di aku, ini Permata ngeluarin cahayanya terus ke aku." Curahan dari Garsa.

"Kamu pernah merasa waktu kamu kadang cepat kadang lambat gak?" Tanya Ibu.

"Biasa aja Bu. Cuma aku heran yang tadi aja kok cuma aku yang merasa pagi. Terus waktu Ayah ke kamar, kok ga kedengeran sih Bu?" Tanya Garsa.

"Tepat. Itu kekuatanmu." Bilang Ibu.

Akan kah Ibu memberitahu Garsa yang masih berusia muda?

Ikuti akun ini dan vote ceritanya.

MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang