Binar mengunyah boba chatime dengan perlahan. Satu kunyahan di lanjutkan dengan kunyahan berikutnya. Samar, tapi ia masih bisa mendengar suara geliginya beradu.
Sesepi itu rumah yang di tinggalinya sejak lahir.
Rumah berlantai dua dengan gaya minimalis yang di kelilingi perabotan berkelas itu terlihat lenggang. Hanya suara kunyahan Binar dan obrolan Mang Didin bersama Bi Anih di halaman belakang yang terdengar sayup-sayup.
Selain Binar dan sang abang, hanya ada sepasang suami istri yang bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah ini. Jangan tanya dimana kedua orang tua Binar sekarang, ia tidak tahu. Entah sedang di negara mana mereka berada.
Sejak kecil, Binar hanya menghabiskan hari-hari berdua dengan sang abang di rumah ini. Beruntung mereka memiliki tetangga sebaik keluarga Haridra. Jadi terkadang mereka sering bermain bahkan menginap di kediaman keluarga Bara.
Kedua orang tua Binar selalu sibuk dengan urusan bisnis mereka. Jarang sekali mereka pulang ke Indonesia. Mungkin dalam kurun waktu satu tahun masih bisa di hitung jari mereka mengunjungi kedua anaknya.
Sejak Bima, abang semata wayangnya resmi berprofesi menjadi seorang dokter, rumah mereka menjadi semakin sepi. Abangnya hanya berada di rumah saat malam hari. Bahkan hari libur sekali pun Bima sangat jarang berada di rumah.
Binar kembali menyesap boba chatime, mengunyahnya sepelan mungkin. Minuman itu ia dapatkan dengan dua mangkuk bakso dari sahabatnya Bara atas permohonan maaf karena telah membuat kotak pensil cewek itu tercemari kotoran bekas permen karet.
Binar tentu tidak kembali marah dan menerima permohonan maaf sahabatnya ketika melihat apa yang di bawa oleh cowok itu tadi.
Saat ini Binar sedang duduk di karpet ruang keluarga dengan di temani suara televisi yang menayangkan sebuah film kartun. Binar tidak menontonnya. Ia menyalakan televisi semata-mata hanya agar dirinya tidak merasa terlalu sendirian di rumah yang besar ini.
Mata bulat Binar masih terfokus pada layar tablet yang menampilkan laman milik seorang ilmuwan terkenal. Ia membaca cepat, dan sesekali menandai informasi yang menurutnya penting.
Sekarang Binar memang masih duduk di kelas sebelas, tapi ia sudah mulai mempersiapkan semuanya.
Tangannya menggulir layar untuk menampilkan laman lain yang masih berkaitan dengan Ilmu Fisika.
Seusai shalat isya, cewek itu selalu memaksakan dirinya untuk membaca artikel yang berkaitan dengan jurusan kuliahnya nanti. Setidaknya, rutinitas itu membuat sepi tidak terlalu menggerogotinya.
Bercita-cita menjadi seorang ilmuwan memang sebuah keterpaksaan bagi Binar. Sama halnya dengan Bima yang sekarang berprofesi menjadi seorang dokter. Itu hanya sebuah keinginan dari kedua orang tua mereka.
Namun walau begitu, ia dan sang abang tetap menurutinya. Toh, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menurut.
Sampai sekarang Binar masih mempertanyakan kelahirannya ke dunia. Tidak banyak kasih sayang yang ia dapatkan. Kedua orang tuanya hanya menganggap Binar dan Bima tidak lebih dari rekening yang harus di isi setiap bulan, dan piala yang mereka banggakan setiap ada kesempatan.
Binar menghela napas panjang, berusaha kuat dengan kehidupan yang di jalaninya. Diam-diam hati kecilnya berbisik, berdo'a semoga di masa yang akan datang Papi dan Maminya segera sadar dengan fakta bahwa sebenarnya para anak akan selalu membutuhkan kasih sayang dari orang tua mereka.
Memakan suapan bakso terakhir, Binar mulai merasa kehausan. Chatime bobanya sudah habis. Dan ketika ia mengecek ke dalam kulkas, hanya ada minuman soda di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Binar & Bara
Teen FictionBinar dan Bara sudah bersahabat sejak kecil. Tapi bukannya terjebak dalam friendzone, keduanya malah seperti sahabat rasa pacar. Kalau sudah begini, bagaimana kisah kelanjutannya? Apakah mereka akan tetap menjadi sahabat, atau berubah status jadi p...