βinar & βara - O1

239 10 167
                                    

Bel masuk sudah berbunyi sejak satu menit yang lalu, tapi koridor SMA Kusuma Bangsa masih ramai oleh para siswa yang berlarian menuju kelas mereka masing-masing.

Tak terkecuali Binar, cewek berambut sepunggung itu berlari menyusuri koridor dengan langkahnya yang pendek.

Binar hampir bernapas lega ketika melihat tangga yang harus ia lewati agar tiba di kelasnya sudah hampir habis. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menarik ujung ranselnya.

"Eh, eh, apaan ini?" Cewek itu berseru panik tapi langsung mendelik ketika mendengar suara yang familier di telinganya.

"Pagi, Binbin sayang." Disampingnya, seorang cowok jangkung menyengir tanpa dosa dengan wajah tengil. "Eh salah, sayangnya Bara mah hanya Ariana Grande seorang, bukan binbintitan pendek macam kamu," ledek cowok itu sambil menjawil hidung Binar dengan tangan beralih merangkul cewek itu.

"Aduh, Bar, lepasin dong! jam pertama Bu Apong, nih." Binar meringis berusaha membujuk Bara, namun percuma. Bara adalah spesies yang tidak akan melepaskan Binar dengan mudah tanpa syarat.

"Siapa suruh telat? Kan, udah gue bilang, berangkat tuh jangan terlalu siang biar ga telat." Alih-alih melepaskankan Binar, Bara justru malah berceloteh panjang lebar. "Tadi malem tidur jam berapa, coba? Kantung mata lo udah item kayak gorilla. Makin jelek aja, kan lo jadinya."

"Lo mau gue cekik, ya?" Binar berusaha berbalik dan memiting leher Bara dengan kedua tangannya, membuat Bara berseru kesakitan.

"Aduh, Binbin, engap tau! Tega banget sama Kakanda." Bara memasang raut terluka dengan kedua tangan memegang lehernya, membuat Binar berdecih karena tingkah lebay cowok itu.

Kekesalannya pada Bara membuat Binar lupa dengan masalah utamanya, Bu Apong. Ia bahkan tak menyadari ketika Bara terus merangkulnya sambil berjalan menaiki tangga.

"Lo bisa nggak, sih, normal sedikit? Temenan sama Luthfi nggak ketularan cool-nya dikit apa?"

"Eits, enak aja kamu, membandingkan pangeran tampan sama kanebo kering." Bara menggelengkan kepalanya. "Nggak level, lah yow!"

Binar mendelik dan mendesis. "Beneran deh lo, kebanyakan nyemil micin."

"Makanya Binbin, bikinin gue sarapan dong setiap pagi, empat sehat lima sempurna. Biar gue punya tenaga gede kayak Sumo!"

"Emang lo mau, punya badan super gede kayak buntelan?"

"Lo mau nggak, punya sahabat kayak gitu?"

"Ogah!" seru Binar membuat Bara mencebikkan bibirnya.

Setelah sampai di tangga terakhir, mereka berdua berbelok ke kanan. Sesekali Bara menyapa beberapa teman seangkatannya yang berpapasan, sementara Binar sedikit menundukan kepala. Ia merasa ada sesuatu yang janggal.

"Tapi, sumpah ya, Binbin, si Sumo itu makan apaan, sih? Sampe badannya segede gitu?" Bara mengetuk dagu dengan telunjuk, pura-pura berpikir.

Seperti tersadar sesuatu, tiba-tiba Bara menghentikan langkahnya, cowok itu menatap Binar dengan pandangan horor. "Binbin, gawat!" serunya panik. Bara memegang bahu Binar dengan wajah panik seperti baru menemukan seekor burung yang melahirkan bayi kucing.

Binar menatap Bara kebingungan. Belum sempat Binar mengajukan pertanyaan, Bara sudah melanjutkan perkatannya. "Lo jangan kebanyakan makan bakso! Soalnya, pipi lo udah gembil kayak bakso Mang Iyeh, dan badan lo juga udah gendut kayak Sumo!"

Mata Binar sontak memelotot. Ia nyaris tersandung ketika mendengar kalimat Bara. "Barongsai sinting!" Binar menjerit. Dengan sadis, Binar memukul lengan Bara membuat cowok itu mengaduh kesakitan di sela tawanya.

Binar & BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang