Prolog

101 9 13
                                    

“Pergi!”

“Eng-gak ma-u.” Sosok itu tersenyum puas, membuat gadis pendek di depannya ini tampak menatapnya geram. Apakah menjahili manusia itu seenak ini? Kalau iya, pasti nanti ia akan lebih sering melakukannya.

Panggil saja gadis tadi Viola. Viola Tsundari.

Tangan Viola mengepal. Ia juga tidak tau kenapa akhir-akhir ini banyak sekali roh-roh yang tidak tau diri menghampirinya. Untung saja, ia memiliki aura pelindungnya sendiri. Sehingga para roh tersebut tidak bisa terlalu dekat dengannya.

Tetapi roh yang satu ini, bukan main jahilnya. Dari sejak pulang TK sampai mau jalan pulang ke rumah, sesuatu tersebut selalu membuntuti Viola, entah apa maksudnya.

Viola tidak bermaksud mengusir. Ada lebih lima hantu yang selalu mengintainya setiap hari, dan Viola tidak terlalu terganggu akan hal itu. Ia sudah terlalu terbiasa. Bahkan saat ia pertama kali membuka mata sewaktu masih kecil, bukan kerabat atau orang tua yang ia lihat duluan sekali. Melainkan sosok hantu berbadan kurus dengan jalan merangkak terbalik yang ia lihat. Sosok itu merangkak mengitari dinding rumah sakit. Darahnya yang bercucuran di lantai, terkadang mengundang bau amis yang sangat menyengat bagi siapa pun yang dapat menciumnya. Ajaib, Viola kecil tidak menangis sama sekali waktu itu.

Entah kenapa bayang-bayang sosok tersebut masih terekam jelas di pikiran Viola. Padahal kejadiannya sudah sangat lama sekali.

Roh di depannya ini sangat mengganggu. Kepalanya yang kadang lepas, lalu dipasang kembali membuat Viola jengkel. “Kenapa kamu ikutin Viola terus! Kepala kamu bau sambel terasi kayak buatan Nenek Viola deh. Udah pergi sana! Jangan ganggu manusia terus.”

Sosok itu terus berusaha mendekati Viola, berniat untuk merasuki gadis kecil itu. Tetapi pelindungnya terlalu kuat. Ia bahkan sampai berjarak sekitar tiga meter dari Viola.

Viola mempercepat jalannya, dengan satu tangan mungilnya sedang menutup hidung, menahan bau yang hanya ia seorang lah yang bisa menciumnya. “Viola harus cepet-cepet sampe rumah. Kata Kakek, hantu nggak bisa masuk rumah Viola.” Gadis itu bergumam sendiri.

Sosok itu mulai geram. Ia terbang, berusaha berdiri di depan Viola. Sosok itu tersenyum lebar di saat ia berhasil membuat langkah Viola terhenti.

Pupil Viola melebar seiring dengan bau menyengat yang terus bertambah. Viola kini menutup hidungnya dengan dua tangan sekaligus. Sosok itu semakin melebarkan seringaiannya. Ia membelah kepalanya sendiri menjadi dua bagian. Tampak jelas di sana ada otak yang bergelantungan bebas, dilengkapi dengan belatung-belatung menjijikkan.

Darah memenuhi jalanan, tetapi hanya Viola lah yang bisa melihatnya. Tidak ada kendaraan yang lewat, entah kenapa hantu itu seakan tau bahwa tidak akan ada yang bisa menolong Viola. Viola memundurkan langkahnya perlahan, dan berniat kembali lagi ke TK-nya lalu menemui siapa pun yang ada di sana untuk meminta pertolongan.

Tubuh kecil Viola gemetar. Ia perlahan-lahan mundur, berusaha untuk menjauhkan posisinya dengan si roh terlebih dahulu.

Viola mulai berlari sekencang yang ia bisa. Gadis itu berbalik arah ke arah TK-nya. Ia terus menutup hidung, agar mengurangi bau amis yang roh itu hasilkan. Sosok tadi menyatukan kembali kepalanya. Ia mulai kembali melayang, hendak mengejar Viola yang sedang melarikan diri.

Viola berfikir, ia tidak akan bisa lolos jika berlari seperti ini terus. Ia masih kecil, langkahnya pun tak seberapa. Pasti kalah sama roh yang bisa terbang dan hilang dalam satu kedipan mata saja.

Sembunyi. Pikir Viola. Viola menghadap ke belakang sejenak untuk melihat hantu tadi. Seringaian itu tak henti-hentinya terukir. Sepertinya hantu itu mau mempermainkan Viola dengan terus mengajaknya berlari, tanpa mau langsung menangkapnya.

Huh, That Devil! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang