2.) About Me

109 9 4
                                    

Kamu itu ngggak beda jauh sama es krim. Manis iya, dingin iya.

° ° °

“Kamu imut. Jadiin aku pengantin kamu!” Viola berkata seakan sudah tidak mempunyai urat malunya lagi. Lelaki itu mengernyit heran. Baru saja ia masuk ke sekolah ini, kini ia malah sudah dipertemukan dengan manusia yang se-aneh dan se-menyebalkan Viola.

The hoodie boy tidak menyaut sama sekali, seakan ia tidak peduli dengan keberadaan dan semua ucapan Viola saat ini. Dan itu membuat Viola sedikit kecewa. Raut senangnya berubah menjadi murung seketika. Apa begini rasanya ditolak seperti yang Jia pernah katakan?

Kalo benar, kok sakit ya?

Tetapi seakan ada suara yang menyemangati Viola dari dalam hatinya. Mungkin ia harus menegur sekali lagi. “Kenapa kamu diem aja? jangan kacangin Viola dong!”

“Hm.”

Woi, singkat sekali. Viola juga baru kali ini merasa tertolak. Bahkan semua lelaki yang ada di sekolah, hampir sebagian dari mereka pasti mengganggu dan menggoda Viola di setiap harinya.

Viola hanya diam. Tetapi ia tidak akan pernah menyerah untuk mengambil hati the hoodie boy. Mereka berdua terus berjalan dalam hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Lebih tepatnya, tidak ada yang ingin bicara.

Hingga Viola dan the hoodie boy sampai di ruang UKS. Pintunya terbuka, tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam. Viola masuk duluan, dan lelaki itu mengekorinya dari belakang.

Ruang UKS ini, panas. Hawanya terlalu gelap, Viola dapat merasakan hal itu. Makanya setiap ia merasa tidak enak badan, ia akan lebih memilih istirahat di kelas atau langsung pulang ke rumah jika sudah tidak tahan.

“Kamu duduk aja, terserah kamu mau di mana. Aku saranin jangan terlalu jauh dari pintu masuk.” Viola sedikit tersenyum kecil. Seperti biasa, lelaki itu hanya memasang wajah yang sangattt datar dan menunjukkan aura yang sangattt dingin. Persis seperti lantai rumah gadis itu.

Viola memilih untuk segera mencari antiseptik yang ada di salah satu rak di sana. Viola mencari obat merah, kapas, dan minyak kayu putih yang barang kali perlu. Mungkin sekalian perban juga. Dan entah mengapa, semakin jauh Viola berjalan masuk ke UKS, semakin terasa pula hawa gelap yang ada. Tengkuknya merinding sendiri, tetapi ia masih bisa mengontrol diri.

Ia kembali berjalan menghampiri the hoodie boy yang tengah duduk di salah satu kursi UKS. Lelaki itu menarik topi hoodienya semakin dalam saja. Bahkan sebagian mukanya sampai tertutup.

“Ayo aku obati lu-”

“Gue mau pulang aja.” Cowok itu dengan cepat memotong pembicaraan Viola.

Viola menarik nafas dalam, lalu tak lama ia mengukir senyum terpaksa. Kalau saja cowok yang ada di depan nya ini bukan cowok yang ia suka, Viola jamin cowok ini akan ia kurung di ruang UKS sampai besok pagi. Atau bahkan Viola tidak akan pernah berniat untuk membebaskannya.

Viola melirik sebentar ke arah obat-obatan yang tadi sudah ia ambil. Ia lalu kembali menatap the hoodie boy yang sedang menundukkan kepala. “Tapi, luka kamu gimana?”

“Gak usah pikirin,” sengit lelaki itu.

“Kalo aku kena marah guru gimana? ‘Kan mereka nyuruh aku buat ngobatin kamu di sini. Emang ada yang salah, ya?”

Lelaki itu tampak menghela nafas jengkel. Gadis ini----benar-benar berhasil membuatnya kesal.

The hoodie boy beranjak dari tempat duduknya. Ia lalu menatap Viola dengan sorot dingin dan datar. “Taruh aja obat itu, kita keluar dari sini.”

Huh, That Devil! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang