Chapter 8: Lost in you

11 1 0
                                    

Zach

Gue yang biasanya kalau hari libur gini selalu gue habiskan dengan berhibernasi. Tau kan hibernasi apa?. Itu loh, yang dilakukan para hewan saat musim dingin tiba.

Well, technically mereka bakalan tidur seperti makhluk mati selama musim dingin berlangung. Yep, itu yang gue lakukan kalau hari libur gini. Tidur sepanjang hari dan bakal bangun untuk memenuhi hal-hal pokok untuk menjaga gue agar gue tetap hidup. Makan misalnya.

Tapi entah kenapa ada angin darimana, gue yang biasanya jam segini masih tergeletak diatas kasur menghubungi perempuan yang nabrak gue tempo hari. Walau efek tabrakannya gak seberapa, cuman yaa.. gue iseng aja ngerjain dia. Beneran dateng atau gak itu perempuan setelah ini gue gatau.

Selama ini gue selalu hidup sendiri, bagi gue ya gak ada tempat yang bisa gue sebut sebagai "rumah". Kalau pun gue pulang ya cuman sekedar duduk,makan atau tidur doang gak lebih.

Sebisa mungkin kalau gak butuh-butuh amat gue juga gak bakalan pulang. Karena toh buat apa?, gak ada yang nanyain gue gimana gue melewati hari-hari, gak ada yang nanya perasaan gue, gak ada yang cemas kalau gue gak pulang atau gak ada yang menyambut dengan bahagia atas kedatangan gue kembali. It seems like cold winter. Dingin.

Mata gue secara tidak sengaja melihat sebuah piano yang terletak didepan full length window itu. Bukannya apa-apa, gue jujur aja gak bisa main piano. Gue bisa main semua instrumen musik kecuali piano.

Gak, bukannya gak mau belajar hanya saja piano itu instrumen kesukaan mama dan akan sangat menyakitkan buat gue kalau melihat tuts tuts piano itu berbunyi.

Masih segar diingatan gue kalau mama terlihat cantik banget dan kelihatan tanpa beban jika beliau memainkan jemari lentiknya diatas tuts-tuts kesayangannya.

Zach kecil kala itu senangnya bukan main menemani sang mama memainkan melodi-melodi indah disampingnya.

Memori indah yang kami ciptakan akan gue kenang, wajah cantik mama hingga kasih sayang mama terhadap gue selalu gue rindukan.

Gue memang sengaja meletakkan piano itu didepan full length window, supaya mama yang telah tiada bisa melihat instrumen kesukaannya diatas sana.

Disela-sela pikiran gue yang melalang buana dan sunyinya apartemen gue, gue mendengar bunyi ketukan kecil dan bunyi bel apartemen gue berbunyi. Siapa deh yang pagi-pagi gini dateng ke apartemen gue?, ganggu aja.

Setelah gue buka pintu apartemen gue, mood gue yang tadinya gak baik tiba-tiba lebih ke anjlok jadi jungkir balik. Seringai dibibir gue buktinya. Gue kira ini perempuan gak bakalan dateng. Ternyata nyalinya gede juga.

"Bagus lo dateng, gak main-main lo ya ternyata." Ucap gue.

"Aku gak mungkin lupa." Cicitnya.

Kontras banget gak sih dia sama gue?.

"Great, jadi lo udah bawa apa yang gue mau?." Tanya gue, setelah mendengar jawabannya gue mempersilahkan dirinya masuk.

"Gue mandi dulu." ucap gue kembali. Ya kali gue kedatangan tamu tapi tampilan gue dekil kayak gini, cowok ganteng harus tampil paripurna mau pagi atau malem gak ada alasan walaupun dia gak lihat juga sih.

Selesai mandi, sayup-sayup gue mendengar alunan-alunan piano. Ini apartemen gue gak sedang berhantu kan?, secara gue gak bisa main piano dan gak menyalakan stereo dengan musik piano sekalipun.

Penasaran dengan sumber suara gue, gue berjalan menghampiri lokasi piano gue berada. Dan pemandangan yang gue lihat buat gue tertegun.

Tau gak, adegan yang sering atau wajib ada didrama atau film-film romansa konyol?, adegan dimana saat si pria sedang tertegun layaknya orang bodoh memandangi sang perempuan. Itu yang terjadi sama gue sekarang, persis.

Disitu gue melihat sosok Adora yang sedang mengayunkan tangannya dengan lincahnya diatas tuts-tuts piano sambil sesekali memejamkan matanya menghayati alunan-alunan melodi yang dia mainkan.

Adora memainkan jemarinya seakan-akan dirinya memang ditakdirkan telahir untuk memaikan tuts piano itu, Gue gak tau ini efek pencahayaan atau gimana. Tapi dimata gue, Adora kini terlihat berkilauan, sinar matahari yang lembut pagi itu terlihat seperti memeluk tubuh mungilnya.

Adora yang gue lihat sekarang bukan sosok perempuan ringkih yang selalu terlihat gugup dan takut jika berhadapan dengan gue. Adora yang gue lihat ini adalah sosok yang sangat percaya diri memainkan pianonya.

Saat memandang dirinya, dalam diri gue terasa ada yang bergejolak begitu hebohnya. Mata gue benar-benar gak bisa lepas memandangi dirinya. Seakan-akan gue terserap akan manefistasi keindahaan semesta yang ada didepan gue.

Gue tau banget di lihat dari segi mana pun terlepas dari kekurangannya Adora itu cantik, tapi secantik apapun dia disekitar gue juga masih banyak yang lebih cantik dari pada dia.

Tapi kali ini gue bisa mendengar lagi-lagi debaran jantung gue yang berdegub dengan kencang. Sebelum-sebelumnya belum ada perempuan yang bisa membuat gue merasakan sensasi ini. Sesuatu yang belum pernah gue rasakan.

Dan kali ini gue merasakan sisi keraguan dalam lubuk hati gue, gue bukannya pura-pura gak mengerti sama tanda-tanda ini.

Gue tahu, walau pun belum pernah merasakannya tapi orang-orang sekitar gue sering banget bilang hal seperti ini sebagai tanda-tanda jatuh cinta.

Gue gak tau gue harus menerima atau membuang jauh-jauh semua pikiran gue ini. Bisa aja kan ini hanya sekedar euforia karena melihat Adora lagi cantik banget dimomen kali ini. Jadi sebelum ini bertambah parah gue harus mengehentikan ini sekarang juga.

"Siapa yang nyuruh lo buat main piano disini?." Ucap gue mengacaukan semuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOVE YOURSELF [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang