3

30 3 0
                                    

Aku ini dulunya adalah anak yang polos. Saking polosnya, aku ingin kedua orangtua kandungku kembali. Kembali dalam satu rumah dengan suasana hangat yang jujur saja tak pernah kurasakan. Alasan pekerjaan lalu cerai tidak pernah masuk akal diotakku.

Kupikir hidupku akan berlangsung dengan normal. Namun, fakta berkata lain. Hidupku jauh dari kata normal dan tidak baik-baik saja.

Aku tidak dekat dengan Kodok. Hanya sekali dua kali menanyakan soal matematika. Mau tidak mau kulakukan daripada nilaiku jelek. Lalu, sudah. Aku merasa dia ingin mendekatiku. Bagiku, risi rasanya untuk berdekatan dengannya. Aku pun selalu menghindarinya. Dia ini selalu mencampuri urusanku. Ketika aku masak, tiba-tiba dia mengambil alih masakanku yang padahal aku tahu betul caranya. Aku hanya ingin memasak dengan tenang dan memakan masakanku untuk memenuhi rasa lapar di perut, bukan untuk tampil pada acara lomba masak di sebuah stasiun televisi nasional sehingga harus dibimbing.

Ini hal yang cukup simpel. Bahkan konyol untuk dipermasalahkan. Aku tetap saja tidak terima dengan perlakuannya yang suka mecampuri kegiatanku.

Waktu itu, aku belum sarapan dan jam sudah menunjukkan waktu makan siang. Saat aku melihat ke meja makan, aku tidak terlalu suka dengan lauk yang ada. Ya, bocah ini cukup pemilih dalam makanan. Sesuai suasana hatiku. Kalau situasinya seperti ini, aku biasanya akan memasak. Kalau bukan mie instan, pasti hubungannya dengan telur. Entah didadar, mata sapi, maupun orak-arik. Yang paling kusuka adalah telur mata sapi setengah matang.

Kala itu, aku memasuki dapur dan menyiapkan segala bahan. Bahan-bahan yang sudah terkumpul pun aku olah menjadi telur mata sapi setengah matang.

Kalau aku ingin membuat masakan itu, yang kulakukan adalah membiarkan telurnya tanpa dibalik dan hanya ditutup. Akan tetapi, saat itu tidak kututup bagian atas teflon karena aku terlalu malas untuk mengambil tutup?

Sesaat kemudian, Kodok datang menghampiriku. Ia bertanya padaku apa yang sedang kumasak. Tak perlu kujawab seharusnya Kodok sudah bisa melihatnya. Awalnya kupikir dia hanya ingin mencuci piring atau melakukan sesuatu yang lain. Secara tiba-tiba, ia mengambil alih masakanku dan dia mengajariku caranya memasak. Aku tidak suka jika ada orang yang mencampuri urusanku. Niat awalku adalah membuat telur ini menjadi setengah matang. Namun, Kodok memasaknya hingga benar-benar matang. Selera makanku langsung hilang. Aku benar-benar pemilih. Telur mata sapi yang benar-benar matang bisa membuatku muntah. Aku ini benar-benar lapar. Sekalinya ingin makan, makanannya tidak bisa kunikmati. Mau bagaimana lagi? Kumakan telur itu. Ingin muntah, kutahan saja demi mengenyangkan perut.

Sepertinya ia benar-benar ingin menghancurkan hidupku. Percaya atau tidak, semakin lama semakin terlihat sikap aslinya. Aku akan menceritakan sebuah kisah hidupku yang mampu mengubah hubungan baikku dengan orang lain. Mari kembali ke beberapa tahun yang lalu.

***

Awalnya, Kodok sering menepuk bahuku ketika berpapasan di rumah. Tanpa alasan. Biasanya akan kutanggapi dengan biasa saja. Tentu itu terjadi secara berulang. Apa yang ia lakukan itu bukanlah persoalan yang besar. Aku terima perlakuannya yang satu itu. Meski aneh juga karena aku tidak pernah disentuh oleh laki-laki lain selain papa. Dengan papa saja jarang sebab aku  lebih sering tinggal bersama mama. 

Aku terus berpikir bahwa itu normal. Siapa pun seharusnya pernah diperlakukan seperti itu oleh orangtuanya. Keras kepala sekali otakku ini sampai-sampai berkata perlakuan itu tidaklah normal. Semakin sering kupikirkan, tumbuhlah rasa risi. Aku mulai menghindarinya. Entah apa alasannya, ia malah menjadi suka menggendongku di bahu. Aku adalah salah satu orang yang takut akan ketinggian. Gila saja aku mau merasakannya berulang kali.  Itu hanya berjalan sebentar karena aku benar-benar menghindar.

Seiring aku bertambah dewasa, tepukannya berpindah tempat. Mungkin untuk sebagian dari kalian biasa saja saat pinggang kalian disentuh oleh laki-laki. Bagiku tidak. Aku benar-benar risi. Ingin kupatahkan saja tangan-tangannya. Apa ia suka melakukan hal-hal seperti itu di tempat kerjanya? Kini aku tak bisa berpikir jernih akannya.

Kodok sering membawaku ke tempat fitness. Bukan sesuatu yang bisa kubanggakan. Ia seorang binaragawan. Aku tak akan bangga. Fakta itu membuatku semakin tak ingin dekat-dekat dengannya.

Tidak sampai disitu saja. Ada hal yang benar-benar membuatku trauma. Waktu itu aku masih berusia 9 tahun. Aku tak yakin kalian akan senang untuk membaca lebih lanjut. Aku sendiri pun sangat benci untuk menceritakannya.

Yah, sembilan tahun. Aku baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di kamar mama. Tiba-tiba saja Kodok berada tepat di depan pintu. Aku buru-buru keluar dari kamar mama. Mama pun belum pulang kala itu. Benar-benar hanya berdua dengannya. 

"Nia anak ayah udah gede ya sekarang," kata Kodok seraya memegang tubuhku bagian bawah. Apakah ini normal? Aku merasa aneh dengan perilakunya. 

Lagipula, aku tak pernah menganggapnya ayah. Jadi, jangan pernah menyebutku sebagai anakmu.

"Sini, ayah mau tunjukkan sesuatu" Hey, apa ini? Aku tak mengerti dan tak mau tahu juga. Namun, aku tidak bisa menolak, aku hanya menurut begitu saja. Siapapun bantu aku, aku tidak menyukai situasi seperti ini. Lalu, dengan polosnya aku bertanya, "Apa?"

Pertanyaan bodoh.

Hal yang tak ingin kurasakan pun terjadi. Kodok menyuruhku melihat ke bawah. Aku tak mengerti apapun. Sampai ia menurunkan celananya dan memperlihatkan alat kelaminnya. Aku membeku. Ia 'memperkenalkan' alat kelaminnya padaku. Kemudian,  Kodok menempelkan bagian bawahnya ke tubuhku. Aku juga disuruh memegangnya. Ia memaksaku dengan berusaha menarik tanganku menuju bagian bawahnya.

Aku membeku seketika. Ingin rasanya berteriak minta tolong. Namun, aku tahu, kalau pun berteriak, pasti takkan ada orang yang mendengar teriakanku. Aku terus-terusan berkata kalau aku tidak mau menyentuhnya. It is gross. Aku berusaha mendorong Kodok, tapi tenagaku pastinya kalah besar. Aku memukulnya dengan harapan ia akan melepasku. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tak suka.

Beruntungnya aku, mama sudah sampai di depan rumah. Aku cepat-cepat lari masuk ke kamar. Aku tak habis pikir apa yang ia lakukan padaku. Kejadian itu selalu terbayang-bayang dalam benakku. Jantungku berdegup kencang. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak tahu...

Wajahku pucat pasi. Apakah aku harus memberitahu mama? Atau papa? Kakak? Setelahnya apa? Apakah mereka percaya? Apakah aku akan dicap sebagai pembual? Aku yang kala itu tak tahu menahu tentang apa itu pelecehan seksual, memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat kejadian itu. Walaupun setiap saat aku terus dihantui kelakukan bejatnya padaku.

Aku tak habis pikir. Kodok bersikap seperti tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Sementara aku, masih saja terbayang.

Aku tersadar, semenjak saat itu diriku menjadi sensitif jika berdekatan dengan laki-laki secara fisik. Hanya dengan bersalaman bisa membuat memori itu kembali muncul ke permukaan sekuat apapun aku berusaha menguburnya.

Aku tetap berhubungan dengan teman laki-lakiku. Akan tetapi, aku memasang topeng yang membuat mereka berpikir aku ini singa. Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit mengamuk. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan demi melindungi diriku sendiri. Aku mulai suka menyakiti mereka.

Aku menjadi kejam, agar diriku tak tersentuh oleh tangan-tangan kotor.

Mei 15
-Craxx.

AKU (Tidak) Bahagia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang