Liana datang kepadaku di jam istirahat pertama, hari Rabu.
"Kania, aku mau ngomong sesuatu ke kamu. Tapi kamu jangan marah, ya?" Aku langsung berhenti berbicara dengan anak lainnya. Dahiku berkerut. Perasaanku tak enak. Jarang sekali Liana berbicara serius padaku.
"Ada apa?" jawabku.
"Janji, ya, kamu gak akan marah sama aku?" Liana yang memintaku berjanji ini semakin membuatku takut dengan apa yang ingin diberitahunya, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Tak menghiraukan pemikiranku yang sudah berjalan jauh ke luar kepala.
"Iya. Kenapa?"
Kini Liana mencengkram tanganku, "Aduh, aku nggak enak ngomongnya. Ini dari Raras, lho. Bukan aku yang ngada-ngada."
"Raras?"
"Sini aku bisikin," Liana mendekatkan bibirnya ke telingaku.
Raras tadi bilang sama aku, dia udah nggak mau sahabatan lagi sama kamu, Ni...
Deg.
"Raras?" aku tak mau percaya. Namun, pernyataan Liana pun tak bisa ku sanggah. Memang benar Raras menjauhiku. Dengan segala memori yang kami alami bersama, ia benar-benar ingin meninggalkanku?
"Iya. Aduh, aku nggak enak sama kamu. Kamu gak papa, kan?"
Aku tersenyum, "Gapapa, kok."
Bohong kalau aku tidak sakit hati. Bohong kalau aku bilang aku baik-baik saja. Raras sudah seperti saudaraku sendiri. Usahaku untuk mengembalikannya padaku sia-sia. Dua tahun terakhir saat aku senang, aku sedih, Raras selalu ada. Kini tidak.
Aku terus mengirimkan surat bersandi pada Raras. Bertanya-tanya atas apa ia menjauhiku. Ia tak pernah mau mengatakan alasannya. Raras hanya bilang, "Nanti aku kasih tau, ya," tanpa kutahu nanti itu kapan. Mataku hanya bisa memandang Raras bersama teman-teman barunya. Sementara otakku, terus menyalahkan diri atas alasan yang tak pernah kutahu. Pasti karena aku nggak lebih baik dari Tsabitha.
"Liana ngomong apa, Ni?"
"Bukan apa-apa. Nggak penting, kok!"
"Bener?"
"Yaudah, lanjut cerita tadi, yuk," ajakku.
Kesekian kali aku memendam perasaanku. Kesekian kali aku menahan sakit. Mereka tidak tahu hatiku sakit. Ingin menangis. Apakah aku harus?
Sesampainya di kamar, aku langsung menangis. Bocah ini mencari-cari alasan Raras menjauhinya. Bodoh memang. Sudah tau temannya yang meninggalkan, masih saja menyalahkan diri sendiri.
Karena Tsabitha, ya? Apa lebihnya Tsabitha dari aku? Tsabitha bilang apa ke kamu, Ras? Aku tahu. Tsabitha suka membicarakan yang tidak-tidak tentangku, kan? Aku hanya diam, tapi kenapa aku yang dijauhi? Kok Tuhan nggak adil sama aku? Kenapa harus temen sebaik kamu, sih, yang Tuhan hilangkan?
Aku tetap anggap kamu sebagai sahabat, Ras. Kapan pun kamu mau balik, aku tunggu. Aku mohon jangan pergi. Aku nggak pernah seseneng ini sebelum ketemu kamu. Aku mohon... Cukup keluargaku yang hancur.
Tanganku mulai menjambak rambutku sendiri seirama dengan bibir yang merutuki kesalahan di masa lalu. Lantai mulai dipenuhi helaian-helaian rambut. Aku berusaha menyalurkan emosi yang ada, tetapi masih saja aku tidak puas.
Entah bagaimana caranya, kepalaku dituntun ke dinding kamar. Memang awalnya pelan. Makin lama, benturan yang kubuat semakin kencang. Aku terkekeh. Bodohnya, aku merasa senang melakukan hal ini. Tidak akan ada yang peduli, kan? pikirku kala itu. Namun, rasa kesenangan itu sirna seketika dan digantikan rasa pusing yang menghujam kepala. Kutahan sakit itu hingga aku terlelap.

KAMU SEDANG MEMBACA
AKU (Tidak) Bahagia.
Fiksi Remajabroken inside. Aku ingin menghilang. Hatiku penuh luka. Mental rusak. Otakku mulai terpengaruh kegilaan ini. Aku akan membawamu melintasi ruang waktu, melihat betapa kejamnya dunia padaku dan manusia yang merasakan hal serupa. cerita ini mengandung...