Di masa-masa pengenalan lingkungan sekolah, sekolahku mengadakan kunjungan ke sebuah tempat wisata edukasi di tengah kota. Walau sudah bertemu dengan teman-teman sekelas, tetap saja aku tak mengenal mereka. Hanya satu sampai dua anak saja yang kutahu namanya. Aku masih belum bertemu Hana.
Hari kunjungan itu, aku benar-benar sendirian. Tak mengenal siapa pun. Sendirian di antara 218 murid sekolahku, guru-guru, dan pengunjung dari sekolah lain maupun bukan. Aku sempat berpapasan dengan teman SD-ku. Namun, hanya sebentar saja karena kami berbeda rombongan.
Aku berkeliling memasuki gedung itu. Benar-benar kehilangan arah. Aku bahkan tak tahu mana yang teman kelasku mana yang bukan. Aku berkeliling sebentar melihat pameran sebelum akhirnya memutuskan untuk segera keluar dan menunggu di depan gedung, sendirian.
Aku berkomunikasi dengan teman sekelasku di grup chat. Aku tahu mereka ada di sekelilingku. Akan tetapi, Kania terlalu takut untuk bertemu dengan mereka. Kania tak tahu harus memulai dengan sapaan apa.
Hingga ditengah hiruk pikuknya orang-orang bercakap, aku tak sengaja mendengar seseorang menanyakan sebuah nama. 'Kania' katanya. Berjarak satu meter dari lengan kananku.
"Eh, itu name tag-nya tulisannya Kania bukan, sih?" tanyanya sambil menunjuk ke arahku. Aku mendengar apa yang ia tanyakan. Dahiku mengernyit. Siapa, ya? Hana? Mirip sih, bedanya dia pake kacamata juga.
"Gatau, deh. Samperin aja coba," gadis tadi mulai mendekat ke arahku dan akhirnya berhenti tepat di depan wajahku.
"Haiii! Kania, ya?" sapanya dengan senyum sumringah.
"Ehm, iya," aku gugup.
"Coba tebak aku siapa?" gadis itu membentangkan tangannya. Rasanya aku sedang masuk acara kuis dadakan, tiba-tiba disuruh menebak nama seseorang.
"Hana, ya?" tanyaku penuh selidik. Jika benar, ini merupakan pertemuan pertama yang paling absurd sepanjang masa.
"Iya,"
Seketika ada anak lain yang menyerukan nama Hana dan mengajak Hana pergi berkeliling. Entah Hana lupa padaku atau bagaimana, ia langsung meninggalkanku sendirian begitu saja. Benar-benar pertemuan yang aneh, bukan? Agak menyedihkan untukku, tapi Hana sudah berhasil membuat senyumku merekah hari itu. Meski aku sendirian diantara kerumunan manusia bernyawa.
Hari itu aku pulang dengan wajah berseri-seri. Pertemuan singkat dengan Hana kala itu membuatku bahagia. Otakku terus memutar kejadian itu tanpa bosan. Mengingat setiap detail yang ada terasa menyenangkan bagiku.
Aku ingin Hana tahu, aku sangat beruntung bisa bertemu dengannya di hari itu.
Namun, ketika pembelajaran sudah dimulai seperti biasa, Hana selalu saja memiliki teman-teman disekitarnya. Seperti tak ada waktu untuk bersenda gurau denganku. Aku kembali iri. Iri mengapa aku tidak bisa membuka diri seperti yang Hana lakukan.
Kulampiaskan segalanya dengan menggambar di sketchbook A5 yang kubawa setiap hari. Hana yang melihat gambaranku langsung terpukau. Teman-teman yang lain pun ingin melihat juga. Diserahkannya buku gambarku itu kepada teman-teman yang lain. Mereka semua memuji gambaranku. Aku tak mengerti kondisi macam apa ini. Aku tak tahu respon apa yang harus kuberikan ketika mereka memuji. Aku hanya tersenyum.
Rasanya tak cukup. Aku butuh teman bukan butuh pujian. Walau aku takut, tapi aku ingin berteman. Mau tak mau harus begitu.
Aku mulai berbicara dengan anak lain. Kaku sekali. Sok dekat kesannya. Aku kehabisan ide untuk mendekatkan diri dengan yang lain. Teman-teman suka bertanya mengapa ketika di grup chat aku sangat cerewet, kalau bertemu sangat pendiam. Maka aku kan merubah itu. Memang kaku awalnya, tapi siapa sangka ternyata aku menjadi dekat dengan beberapa anak seperti Landa, Adina, Tari. Ah, jangan lupakan Aksara. Dia menjadi sahabat laki-lakiku juga.
Teman sebangku pertamaku adalah Landa. Hana yang menjadi teman sebangku kedua karena ternyata ia sudah mencari teman sebangku duluan pada hari pertama. Terima kasih, Hana. Kamu juga membuatku dekat dengan Landa secara tidak langsung. Landa terlihat judes awalnya. Dia jelas memiliki teman yang banyak karena termasuk lulusan SD yang dominan di SMP ini.
Setelah beberapa lama aku duduk dan mengenalnya, aku mengetahui bahwa kami memiliki beberapa kesamaan. Zaman-zaman bermain aplikasi musikeli, hahaha. Kami mengikuti orang-orang yang terkenal melalui aplikasi itu. Lalu, grup musik bergenre EDM baru asal Indonesia yang beranggotakan 3 orang, yang salah satunya adalah yucuber gaming. Yucuber gaming itu juga kami ikuti kisah cintanya. Benar-benar tidak ada kerjaan. Kelakuan kami itu menjadi memori yang membuat kami ingin kembali lagi ke masa itu.
Masa-masa awal sekolah diisi dengan Lomba Baris Berbaris. Selama beberapa hari, kami dilatih untuk bisa baris-berbaris. Sampai di penghujung hari, kami menampilkan hasil terbaik latihan kami. Kami diajar oleh anak tonti dari kelas 8 dan 9. Kelasku mendapat kakak kelas yang cukup baik? Yang santai, tidak suka menghukum. Berbeda dengan kelas lain, sering sekali mereka dihukum.
Sebenarnya, kakak kelas kami ramah sekali jika diluar waktu latihan. Seperti Mbak Nesa yang sewaktu istirahat bercanda ria dengan kelasku sementara kelas ajarannya sedang dihukum. Saat kelasku latihan lagi, Mbak Nesa suka menjahili Mas Ferdi yang satu angkatan dibawahnya. Aku ingat, Mbak Nesa mengatainya 'Hidung Besar' karena salah satu temanku pernah bilang begitu pada Mbak Nesa. Satu pleton pun tak mampu menahan tawa.
Menyenangkan bagi kelasku saat latihan. Namun, tidak saat lomba dimulai. Salah satu temanku melewati garis batas, danton juga sempat keluar dari garis batas. Tidak terlalu kompak. Akhirnya, kami juara satu. Dari bawah. Dari sepuluh kelas, kami juara kesepuluh. Kelas kami membanggakan hal itu. Aneh memang. Satu kelas rasanya tidak ada yang waras. Kania pun ikut merasa ketidakwarasan anak kelasnya membuat ia bahagia.
Aku sempat terkejut dengan sistem belajar di sekolah favorit ini. Ada semacam pembelajaran tambahan sepulang sekolah dan juga di pagi hari sebelum berdoa dan KBM. Biasa disebut 'Bina'. Tidak setiap hari, paling tidak tiga atau empat hari dengan empat mata pelajaran utama. Di SD-ku dulu juga ada yang semacam ini, khusus untuk anak kelas enam. Di SMP ini, 3 tahun diadakan terus-menerus? Aku akan semakin gila. Rasanya seperti dijebak. Tapi mau bagaimana lagi? Toh, aku sendiri yang memilih sekolah ini. Tak ada ruginya aku masuk sini.
Capek juga jika masih harus mengikuti ekstrakurikuler. Aku yang memilih basket rasanya semakin berat saja, setelah berpikir keras seharian, tubuh dibuat lelah dengan basket yang notabennya sebagai olahraga yang cukup berat karena banyak berlari. Rebahan di rumah merupakan pilihan yang tepat jika dilakukan setelah Bina. Walau begitu, tampaknya tekadku untuk bisa menjadi tim basket tak berhenti karena lelah belajar.
Ingat Mbak Nesa? Mbak Nesa merupakan kapten basket putri yang sekarang. Mbak Nesa juga aktif di tonti dan beberapa organisasi sekolah. Kakak kelasku yang satu ini benar-benar figur yang hebat dimataku. Sudah cantik, jago main basket, anak tonti, dan baiknya sampai penjuru dunia. Tak pernah sombong dan mau mengajarkanku basket serta banyak hal lain diluar itu.
Basket mempertemukanku dengan orang-orang yang terampil bermain basket, teman seperjuangan, dan pelatih-pelatih hebat, serta pengalaman berharga yang tidak bisa didapatkan dari kegiatan lain. Tak hanya itu, basket benar-benar mengajarkanku banyak hal. Aku tak ingin sekedar mendapat gelar populer hanya karena menjadi tim basket sekolah. Mimpi Kania tumbuh lebih besar daripada itu. Kania ingin bisa mengharumkan nama sekolah dengan prestasi basketnya bersama kawan seperjuangan.
Agustus 30
-Craxx.

KAMU SEDANG MEMBACA
AKU (Tidak) Bahagia.
Teen Fictionbroken inside. Aku ingin menghilang. Hatiku penuh luka. Mental rusak. Otakku mulai terpengaruh kegilaan ini. Aku akan membawamu melintasi ruang waktu, melihat betapa kejamnya dunia padaku dan manusia yang merasakan hal serupa. cerita ini mengandung...